16. Jangan Ditunda

Start from the beginning
                                    

"Gue masih inget banget ekspresinya Rara pas tadi disuruh baca ayat. Udah pakai acara dehem-dehem segala. Eh, ternyata dikerjain," tambah Ikha, seraya tergelak.

"Pak Judika kan emang nggak mau kalah sama Rara. So, nggak mau ngelewatin kesempatan emas yang tadi. Biasanya kan Rara pas disuruh baca ayat Al-Qur'an, belum tentu dibaca sampai selesai."

"Enak aja," sahut Rara tak terima. "Kalau disuruh baca, pasti gue baca sampai selesai. Kalau hafalan, gue belum tentu hafal. Jadi, gue bacanya sepotong, terus ...."

"Ila akhirihi alias dan seterusnya sampai akhir!" lanjut keempat sahabat itu secara bersamaan, juga terkikik.

"Oh, iya. Nenek lo gimana, Ra?" tanya Ikha penasaran.

"Nenek langsung sembuh, begitu ketemu cucunya yang paling manis dan cantik ini," jawab Rara cengengesan, seraya mengibaskan rambut yang ia kucir.

"Sejak kapan sih lo jadi centil gini!?" tanggap Bia sebal. Rara, Yuna, serta Ikha terkekeh-kekeh. "Terus, pulangnya kapan?"

Rara menjelaskan bahwasanya ia baru sampai di rumah, tadi pagi. Ayahnya pula yang mengantar, sekaligus meminta surat izin tak masuk satu jam pelajaran.

Sampailah mereka di tempat yang dituju. Lalu memilih meja yang sekiranya nyaman untuk ditempati, sebelum kantin penuh dengan siswa-siswi lain.

Ikha, Yuna, serta Bia mengutarakan rasa rindunya pada Rara. Dan bukan Rara namanya, jika tak menyangsikan kerinduan yang tertuju padanya. Terlebih, ia tak masuk sekolah hanya selama beberapa hari. Melewatkan banyak hal yang terjadi, meski sudah diceritakan melalui sambungan telepon seluler. Akan tetapi, Bia mengatakan bahwa itu belum apa-apanya.

Rara menggeser kursi kantin. "Ada lagi?" tanyanya. Lalu ia duduk, mengikuti jejak ketiga sahabatnya yang sudah terlebih dahulu menduduki kursi masing-masing.

"He-eh," sahut Bia. "Pertama dan yang paling utama sekaligus terpenting, Aya juara pertama lomba kaligrafi tingkat regional, dan otomatis lolos ke tingkat provinsi."

Rara berdecak kagum. Sudah lama ia mengagumi salah satu teman satu kelasnya itu. Kini, kadar kekagumannya kian bertambah.

Bia menceritakan perihal Abdi yang menjadi pendiam, karena tak memiliki lawan sepadan yang bisa diajak ribut. Lalu Dito, kehilangan sosok perayu para pengurus OSIS untuk menyapu. "Tapi yang paling bikin gue melongo itu Kak Nando, Ra."

"Kenapa, sama Kak Nando?"

Tatapan Bia menerawang, mengingat peristiwa hari kemarin saat Nando menegur. Ia lalu menceritakannya pada cewek di sebelahnya, pun tersenyum bangga. Sama sekali tak menyangka jika salah satu kakak kelasnya itu diam-diam memperhatikan, hingga hafal bahwa mereka memang sering jalan berempat.

Sementara itu, dari lantai tiga blok sebelah, posisi yang strategis bagi pengintai, tampak sepasang mata mengawasi gerak-gerik empat cewek itu menggunakan teropong.

Nando.

Senyumnya mengembang tatkala mendapati satu sosok yang selama beberapa hari ini tak terlihat. Setelahnya, memungkasi pengawasan yang sudah dilakukan semenjak sepuluh menit lalu, sebelum ada yang memergoki seperti yang sudah-sudah.

"Kok cuma bertiga?"

Secara refleks; Bia, Yuna, serta Ikha menoleh ke arah sumber suara, begitu mendengar pertanyaan itu.

"Biasanya berempat, kan?" Pertanyaan disertai senyum ini, seketika membuat tiga cewek itu terbengong. "Yang satunya mana?"

"Emang yang satunya siapa, sih?" tanya salah satu teman Nando pada cowok di sebelahnya. Ekspresinya dibuat sepolos mungkin. "Kok nggak disebutin, namanya?"

"Nggak perlu disebutin, lagi. Nama orang yang disayang itu cuma sampai di lidah doang. Kalau disebutin, takutnya ntar otak dan hati nggak sinkron. Otak maunya biasa aja, eh nggak tahunya jantung jadi balapan. Maksud hati emang nggak bisa diterka. Maunya memiliki, tapi terhalang oleh ragu nan mengganjal ini. Hohoho. Lo nggak ngerti juga, kan?"

Meski hari kemarin tatapan penjawab nan cengengesan itu bukan tertuju padanya, tetap saja Nando merasa bahwa itu jelas-jelas sindiran untuknya. Dan ia akan berkilah, setiap digoda semacam itu. Sebab, belum memiliki keberanian untuk mengambil tindakan. Dampak bagi pemilik hatinya itu, yang ia pikirkan.

Cowok itu mulai menuruni anak tangga, menuju lantai di bawahnya.

Kalau cinta, ya bilang cinta

Kalau sayang bilang-bilang sayang

Jangan ditunda-tunda

Nanti diambil orang

Kalau cinta, ya bilang cinta

Kalau sayang bilang-bilang sayang

Jangan berpura-pura

Nanti kau kesepian.

Belum juga kakinya menapaki anak tangga terakhir, penggalan lirik sebuah lagu yang sangat familier baginya itu, menggema. Ia paham, juga sudah hafal akan kebiasaan jahil dari para temannya ini. Tanggapannya santai, terkesan mengabaikan.

Sebab, ia ingin hanya dirinya saja yang tahu bahwa hatinya masih meragu. Hanya dirinya saja yang tahu besarnya rasa ingin memiliki itu. Dan hanya dirinya saja yang tahu, seberapa besar keinginannya untuk melindungi dan memastikan keamanan pemilik hatinya. Lebih tepatnya, inilah alasan untuk menutupi rasa takut saat nanti perasaannya tak bersambut.

Sampailah ia di kantin yang dituju. Lalu membaur dengan para temannya selepas mengembalikan teropong milik adik angkatannya. Ekor mata cowok itu kini mengamati segerombolan cewek yang sepertinya hendak menuju kantin di blok sebelah.

Perhatiannya kini teralihkan saat seorang teman menepuk bahunya, pelan. Memaksanya untuk membiarkan gerombolan itu menghilang dari pandangan.

Garis InteraksiWhere stories live. Discover now