KEEMPAT PULUH EMPAT

1.3K 61 2
                                    

Semua ini terlalu menyakitkan untuk aku hadapi sendiri. Menjadi satu-satunya orang yang menyesali keadaan bukanlah hal yang mudah untuk aku hadapi sendiri. Keadaan fisik ku semakin membaik tapi tidak dengan batinku. Aku masih sangat terpukul dengan kepergian Alva yang bahkan aku tidak tau. Tak sempat mengucapkan selamat tinggal. Tak sempat mengucapkan terima kasih sudah menyayangiku sedalam ini.

Satu tahun sudah kepergian Alva tapi rasanya masih begitu sakit. Sebelumnya aku tak pernah merasakan kehilangan orang terdekatku. Orang yang sebelumnya selalu menemani hari-hariku. Menanyakan bagaimana kabarku. Menanyakan apakah aku sudah minum obat atau belum.

Entah sudah berapa banyak air mata yang aku keluarkan selama ini. Tak sehari pun aku tidak merindukan sosol Alva. Sekarang aku hanya bisa memandangi wajahnya lewat foto-foto kenangan kami berdua. Semakin aku lihat. Semakin sakit hatiku.

Aku kembali bekerja setelah satu bulan kepergian Alva. ku coba melanjutkan hidupku sewajar yang seharusnya. Aku mencoba melupakan semua yang terjadi. Bagaimana pun aku harus memaksa diriku untuk bangkit dari semua ini.

"Butuh bantuan?" Tanya seseorang ketika aku masih sibuk memasukkan barang bawaanku.

Aku mengangguk pelan melihat dirinya di depan pintu. Dia yang sudah menemaniku selama satu tahun ini. Membantuku bangkit di saat-saat sulit menerima keadaan jika Alva sudah pergi untuk selamanya. Orang yang sudah membuatku sadar jika kematian memang akan datang kepada semua orang dan tugasku hanya menerima semuanya.

Dia mendekat lalu membawakan berkas-berkas yang akan aku bawa pulang kerumah.

"Makasih ya, Pratama Candra." Kataku.

"Sama-sama Ayma Putri." Jawabnya.

Kami berjalan keluar dari kantor. Sebelum melangkah keluar, Tama tiba-tiba berhenti.

"Ada apa, Tam?" tanyaku.

"AKu punya kejutan buat kamu." Katanya.

Ku angkat sebelah alisku, lalu memandangnya penuh minat.

"Tunggu disini." Tama berlari keluar lobby dan menungguku untuk tetap disini dan tidak menyusulinya.

Lima menit berlalu, tiba-tiba datang sebuah mobil sedang berwarna hitam. Tama keluar dari sana dan memanggilku. Ku ingat-ingat lagi, sepertinya ini bukan mobil yang biasa di tumpangi oleh Tama.

"Mobil siapa ini?" Tanyaku.

"Mobilku. Akhirnya tabungan aku cukup buat beli mobil, Im." Jawabnya.

Ku kembangkan senyumku mendengar hal tersebut. Menjadi illustrator pada jaman sekarang ini memang cukup sukses. Apalagi perusahaan yang diikuti oleh Tama itu termasuk perusahaan besar dan memberikan gaji yang lumayan cukup untuk Tama.

"Selamat ya." Kataku.

"Ayo masuk, kita makan. Aku yang traktir." Katanya.

Aku langsung masuk ke bangku penumpang. Mobil sedang keluaran baru yang pastinya berharga cukup mahal berhasil di beli oleh Tama dengan hasil keringatnya sendiri. Sejak SMA Tama memang suka sekali dengan otomotif termasuk mobil. Dia juga sempat memberitahuku tentang mobil apa saja yang dia suka dan ingin dia beli.

Aku masih ingat semua itu. Selalu.

Hampir satu tahun kembali bersama Tama bukan lah hal yang mudah untuk menahan agar rasa yang aku punya untuknya tidak bangkit lagi. Semakin hari bersama dengan Tama, semakin hari juga rasaku ini muncul kembali.

Dunia abu-abu ku terasa kembali seiring dengan kehadiran dia.

***

"Tempatnya niat banget ya, pak." Kataku sesaat setelah menyelesaikan makan malam ku.

Kami sedang berada di restoran yang bisa dibilang cukup mewah di tengah kota. Restoran yang tidak cukup ramai, namun sangat nyaman untuk digunakan makan malam seperti ini.

"Iya, mumpung aku lagi baik." Jawab Tama.

"Tiap hari juga baik kok." Kataku.

Tama terkekeh, dia menyeruput kopi yang dia pesan. Selalu kopi. Hangat. Dan tidak terlalu manis. Aku hampir hafal dengan kebiasaan barunya.

Ku buka ponsel dan membaca pesan singkat dari papa yang mengatakan jika hari ini mama menginap dirumahnya. Aku boleh menyusul sepulang kerja nanti. Semakin lama mama semakin menua dan membutuhkan teman untuk mengobrol. Bibi sudah lama pensiun karena menderita sakit dan harus kembali ke desanya. Memaksa mama untuk dirumah sendirian. Mama sering bolak-balik ke rumah Papa, karena disana lebih ramai dengan adanya Tante Wanda dan Aysa.

"Ayma." Panggil Tama lirih.

"Iya?" tanyaku sambil menoleh kearah Tama yang duduk tepat di depanku.

"Will you marry me?"

Nafasku berhenti. Jantungku berdebar kecang. Disodorkannya sebuah kotak berisi cincin emas dengan beberapa Kristal cantik diatasnya.

"Tam, apa ini?" Tanyaku bergetar.

"Will you marry me?" kembali dia katakan kalimat yang sama.

Air mataku menetes. Tak menyangka dengan apa yang aku alami malam ini. Seseorang yang dulu begitu menyakiti hatiku. Meninggalkan aku dengan memilih wanita lain yang dia anggap lebih sempurna dari pada aku. Laki-laki yang tanpa permisi datang kembali seolah memberi harapan lalu pergi lagi bersama wanitanya. Mempermainkan perasaanku dan membuatku ragu disaat ada laki-laki yang begitu menyayangiku sepenuh hatinya.

"Aku tau apa yang aku lakuin sekarang ini nggak pantes buat kamu terima. Aku udah nyakitin kamu berkali-kali. Aku udah ninggalin kamu berkali-kali. Buat kamu malu dimata banyak orang. Buat kamu bertengkar sama Alva waktu itu. Tapi aku sekarang sadar kalo Cuma kamu orang yang pas buat aku." Kata Tama.

Aku hanya bisa menatap wajahnya. Otakku terlalu bisuk mencari kalimat yang tepat untuk menjawab Tama. Tak sanggup mengeluarkan kata-kata.

"Satu tahun adalah waktu yang cukup buat aku yakin kalo kamu orang yang selama ini aku cari." Lanjut Tama.

"Tam, kamu nggak lagi bercanda kan?" Tanyaku.

Tama menatapku dalam, seolah tidak percaya dengan apa yang aku tanyakan. Semua ini terlalu cepat untuk aku terima. Laki-laki yang sudah lama sekali aku cintai sekarang ada di depanku, menawarkan sebuah cincin untuk mengikatku ke jenjang yang lebih serius.

Tak ada komitmen apapun sebelumnya antara kami. Aku sadari jika kami kembali dengar satu tahun setelah kepergian Alva. Tak ada komitmen apapun tentang hubungan kami selama satu tahun lalu. Tama tak mengajakku untuk kembali menjalin kasih atau semacamnya.

Dan tiba-tiba hari ini. Malam ini. Detik ini. Dia menawarkan cincin ini. Untuk mengikatku lebih dari seorang kekasih.

"Will you marry me, Ayma Putri?"

Jantungku terus berdegub kencang. Mataku terus mengeluarkan air mata. Tatapan mata Tama mengintimidasiku. Jika aku tak mencintainya. Aku tak akan sebingung ini. Tapi bukankah itu juga berlaku apabila aku menyayanginya.


Dunia abu-abu ku perlahan mulai berwarna. Pelukisnya kembali datang, merentangkan tangannya lebar. Menawarkan pelangi untuk dunia ku yang terlalu abu-abu. Siapkah aku? Entahlah..

Setelah Aku Tau |✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang