KEDUA PULUH TUJUH

922 54 0
                                    

Semuanya berubah sejak hari ulang tahun kemaren. Dua bulan berlalu tapi keadaan masih tetap sama.

Alva masih mendiamkan aku.

Aku sudah berusaha mengajaknya berbicara, tapi Alva terus menolak.

Begitu juga dengan persahabatan ku dengan Isa. Mungkin dia juga masih marah padaku. Semenjak aku mengusirnya, tak lagi pernah Isa mengirim pesan padaku untuk menanyakan kabar.

Angin sore di pantai ini menemani aku. Sudah satu jam aku duduk di sisi pinggir pantai.

Ku pandangi kotak kado pemberian Tama waktu itu. Isinya sebuah buku bergambarkan seorang anak kecil yang sedang memegang kembang gula di tangannya sambil tersenyum lebar. Aku yakin Tama pasti menggambarnya sendiri.

Dihalaman pertama terdapat sebuah kalimat 'I hope someday you will create your own novel'.

Ku pandang beberapa orang yang aedang bercanda dengan pasangan mereka menikmati pantai sore ini.

Entah kenapa aku selalu menyalahkan keberadaan kado pemberian Tama. Karena kado ini semuanya menjadi berantakan.

"Udah lama disini?"

Suara serak seorang mengacaukan lamunanku. Lelaki dengan perawakan layaknya laki-laki kebanyakan dengan kacamata klasik khasnya sudah berdiri di samping bangku yang aku duduki.

Alva

Aku bangkit dan langsung memeluk laki-laki ini. Ku luapkan semua yang aku rasakan. Meluapkan semua rasa bersalah ku padanya. Mencoba mengatakan betapa aku kehilangan lewat air mataku.

Alva melepaskan pelukannya lalu menuntunku untuk duduk kembali, dia mengambil kotak kado yang jatuh berantakan di pasir.

"Kamu boleh buang kalo itu yang buat semuanya kayak gini." kataku semampunya.

Alva tersenyum padaku, menghapus sebagian air mata yang tersisa di pipiku.

"Kalo kamu buang ini, kado dari aku juga harus kamu buang." katanya.

Aku menggeleng sekuat tenaga.

"Aku baru sadar kalau sebanyak apapun cinta yang aku kasih ke kamu nggak bakal pernah cukup kalau hati kamu belum siap buat nerima aku." Katanya lagi.

Senyuman Alva menggambarkan begitu banyak pertanyaan untuk ku. Aku tak bisa mengartikan apakah senyumannya itu adalah bentu kebahagiaannya atau hanya untuk terlihat bahagia.

"Aku nerima kamu, Va. Selalu nerima kamu." Jawabku.

Aku mulai membenci pembicaraan ini.

Alva meraih pundak ku, menatapku dalam dan lembut.

"Aku ngebebasin kamu mulai sekarang. Kamu bisa pilih ninggalin aku atau apapun yang kamu mau." Katanya.

Sesak dada ku mendengar ucapan Alva. Apakah kalimat itu sama hal nya dengan dia memutuskan hubungan ini?

"Maksud kamu? Kamu mau ninggalin aku?" suara ku bergetar hebat.

Matanya melemah, kilauan mulai terlihat di bola matanya. Aku bisa melihatnya walau terhalang kacamata klasik miliknya.

"Aku nggak mau menyiksa kamu." Katanya pelan.

Aku bisa melihat air mata jatuh perlahan. Alva mengalihkan pandangan selain aku. Dia menegakkan posisi duduknya, menarik nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan. Seolah menguatkan diri dan menahan agar tak lagi air matanya keluar.

Terakhir kali aku melihat laki-laki menangis adalah ketika Tama bercerita jika hubungannya dengan Raya kandas.

Malam mulai mengampiri. Lampu sekitar pantai juga sudah mulai menyala terang, membuat pandanganku pada Alva menjadi sedikit terhalang.

Alva memelukku erat. Aku pun tak sungkan untuk membalas pelukan sama eratnya.

Semua kenangan tentang kami berdua mulai muncul bergantian.

"Aku sayang sama kamu." Bisiknya.

Belum sempat aku membalas kalimatnya, Alva melepaskan pelukannya. Dia menatapku begitu dalam.

"Pikir kan semuanya. Aku mau kali ini kamu yang memutuskan. Kamu bebas memilih. Termasuk pilihan meninggalkan aku. Karena aku sayang sama kamu, kamu pergi pun tidak apa." Katanya.

Alva berdiri lalu berjalan perlahan meninggalkan aku yang masih disana.

"Oh iya, Isa juga selalu khawatir sama kamu. Jangan lupa ngehubungi dia lagi, ya." Katanya.

Alva mempercepat langkahnya, lalu menghilang.

Kini aku tau harus kemana aku pergi.

***

Deru detak jantung menemaniku duduk di kursi yang ada di teras rumah seseorang. Tiga menit yang lalu Mamanya menyuruhku menunggu disini karena laki-laki itu sedang mandi. Isi otakku bercampur campur, berusaha menemukan kalimat yang pas untuk berbicara padanya nanti.

"Ayma.."

Laki-laki bertubuh semampai dengan rambut yang sedikit basah karena memang baru selesai mandi berdiri di depan pintu.

Inginku menangis sekarang juga.

Aku memeluknya erat. Menangis sejadinya. Menyesali semua yang sudah aku lakukan padanya.

"Kamu kenapa lagi? Siapa yang buat kamu nangis? Tama lagi? Atau Alva?" Tanya Isa.

Aku tetap memeluk Isa erat, menangis sekeras yang aku bisa. Aku tak tahu mengapa Isa masih bisa bertanya seperti itu setelah aku usir dirinya dari rumahku beberapa waktu yang lalu.

"Isa aku minta maaf. Aku yang salah. Aku malah nyalahin kamu, padahal kamu nggak salah." Kataku sesenggukan.

Isa menuntunku duduk di kursi yang semula aku duduki.

Dia menghapus air mataku, dan menepuk pundakku pelan. Mencoba menenangkan aku yang sudah menangis tidak karuan.

"Kamu nggak perlu minta maaf kayak gini, pake nangis segala lagi." Katanya sambil terus mengapus air mataku yang mengalir tanpa henti.

Ku tarik nafas dalam untuk menenangkan sedikit diriku. "Aku ngerasa kehilangan semuanya waktu kamu diemin aku." Kataku pelan.

Isa tersenyum manis, "aku biarin kamu sendiri. Semua yang sedang terpukul, butuh waktu sendiri untuk berpikir." Katanya.

"Mau kamu marah kayak gimana pun sama aku, aku bakal tetep jadi sahabat kamu. Aku diemin kamu bukan berarti aku benci sama kamu. Aku diemin kamu supaya kamu bisa mikir kalo aku ini sahabat kamu. Yang bakal selalu bantu kamu, tanpa kamu harus minta." Lanjut Isa.

Ku peluk Isa erat, aku begitu beruntung memiliki sahabat seperti Isa.


Mereka yang tanpa meminta kita selalu ada, tapi selalu ada tanpa kita meminta. Itulah sahabat sesungguhnya....

Setelah Aku Tau |✔Where stories live. Discover now