KESEPULUH

1.1K 67 0
                                    

Jantungku berdegup tak karuan, tanganku bergetar hebat, mata ku terus berlinangan air mata. Aku terus berusaha sesadar mungkin untuk tetap bisa mengikuti Ari yang sengaja menjalankan sepeda motornya dengan pelan agar aku bisa mengikutinya. Ari tidak mau naik mobil bersamaku karena katanya setelah ini dia ingin mengurus sesuatu yang lain. Setelah memarkirkan mobil dengan benar, aku segera mengikuti Ari masuk kedalam rumah sakit yang di tunjukkan oleh Putra kepada Ari semalam. Sebisa mungkin Ari mencoba menenangkan diriku yang terus saja sesenggukan. Terlihat beberapa orang yang sempat aku kenali wajahnya sedang duduk diluar ruang rawat.

"Put, gimana keadaan Tama?" Tanya Ari pada Putra yang menyambut kedatangan kami.

"Dia udah baikan kok, tapi kata dokter kalo mau jenguk satu-satu aja." Jawab Putra.

Aku menatap Ari, entah kenapa aku tak sanggup mengatakan apapun saat itu. Ku lihat sosok wanita paruh baya mendekatiku. Wajahnya tak asing, tapi sepertinya baru kali ini aku bertemu dengannya.

"Kayaknya ibu nggak asing sama mbak, ya." Kata wanita itu. Refleks ku jabat tangannya yang mencoba menjabat tanganku terlebih dahulu. Ku usap air mata yang sudah memenuhi seluruh wajahku. Ku atur nafas agar dapat menjawab pertanyaannya.

"Saya Ayma, tante." Jawabku singkat. Dada ku terlalu sakit untuk mengatakan kalimat yang lebih panjang dari itu.

"Oh iya, mari tante antar masuk kalo mbak Ayma mau jenguk Tama." Kata wanita itu.

Wanita ini begitu ramah, dia menuntun tubuhku yang terus saja bergetar karena terus menangis sepanjang perjalanan ke rumah sakit. Wanita itu membukakan pintu ruang rawat untukku, mulai lah terlihat sosok jangkung yang sedang terbaring tak berdaya di kasur rumah sakit. Badannya penuh dengan balutan perban putih dan sebelah tangannya di tancap sebuah infus. Air mata ku pecah begitu saja melihat sosok yang selalu terlihat sangat kuat tanpa pernah sakit sedang berbaring lemah tak berdaya seperti ini. Wanita yang aku ingat adalah ibu dari Tama membantu ku duduk di kursi yang terletak tepat di sebelah tempat tidur Tama.

"Tama kecelakaan kemarin sore, waktu mau jemput adiknya kerja kelompok di daerah Hassanudin." Jelas Ibu Tama dengan logat medok jawa.

Ingatanku melayang pada kejadian yang menyebabkan jalanan macet kemarin sore saat sedang perjalanan menjemput Mama. Aku mengingat motor merah dan helm abu-abu yang ternyata milik Tama. Hatiku begitu hancur dan sangat merasa bersalah. Seharusnya aku menolongnya.

"Tama nggak papa kok, mbak. Dia cuma tidur karena obat yang dikasih sama dokter satu jam yang lalu. Tenang ya." Lanjutnya sambil menepuk pundakku yang terguncang hebat.

Hening setelahnya, hanya suara sesenggukkan yang disebabkan oleh ku yang terdengar di ruangan ini. Tama terus saja menutup matanya, entah kenapa aku ingin sekali dia membuka mata dan melihat kehadiranku disini.

"Maaf ya, tante, saja terkesan berlebihan menangis seperti ini." Kataku pada Ibu Tama yang sudah duduk di sebelahku.

Dia tersenyum begitu manis dan lembut padaku, "tante mengerti perasaan kamu. Kemarin tante sudah berusaha menasehati Tama sebelum dia mengambil semua keputusan ini. Tante dan Tama sempat berdebat keras tentang masalah kalian. Tapi bagaimana pun tante hanya bisa mengikuti kemauan Tama. Tama itu orang yang susah di kalahkan jika sedang adu argumen." Jelasnya.

Aku mencoba mengerti setiap kata yang di ucapkan oleh Ibu ini. Ingatan pahit yang berusaha keras ku lupakan, kembali menghiasi otak bagian ingatanku. Aku tersenyum tipis saat mendengar jika Ibunya saja mengakui kalau Tama memang orang yang susah di kalahkan jika sedang beradu argumen. Mungkin aku adalah sebagian sangat kecil orang yang selalu kalah jika sedang berbicara dengannya.

"Yang bisa ngalahin aku itu cuma satu orang, kamu tau siapa? Raya."

Sebaris kalimat terngiang di kepalaku seketika. Tiba-tiba saja aku mengingat ucapan Tama ketika masih bersama dengan Raya. Aku selalu berhasil di buatnya diam ketika kalimat itu di ucapkannya. Andai saja mereka masih bersama, mungkin tidak akan serumit ini.

"Iya tante." jawabku.

"Kalau nanti emang jodohnya, nggak bakal kemana kok, Ayma." Kata Ibu Tama lagi.

Aku memegang tangan Tama yang tergeletak pucat di kasur rumah sakit. Suhu tangannya lebih dingin dibanding terakhir kali aku memegangnya. Aku masih ingat saat itu. Waktu itu kami sedang menonton salah satu film action favoritnya. Seperti biasa dia selalu menggandeng tanganku dengan erat. Aku masih sangat ingat rasanya.

"Tante tinggal aja, ya. Tante tunggu di luar sama yang lain." Kata Ibu Tama.

"Oh jangan tante, saya ikut keluar saja. Sudah cukup kok ketemu sama Tama. Lagian Tama juga butuh waktu istirahat lebih banyak." Sahutku.

Seperti mengerti yang aku maksud, Ibu Tama ini kembali menuntunku keluar dari ruang rawat Tama. Sebelum benar-benar keluar dari sana, ku sempatnya berbalik kepada Tama yang masih saja menutup kedua matanya.

Putra dan Ari menyambut kedatanganku dan Ibu Tama. "Gimana, Im?" Tanya Ari.

"Dia masih tidur." Jawabku singkat.

"Aku udah harus balik sekarang, kamu mau disini aja atau gimana?" Tanya Ari.

"Ikut pulang aja, Ri. Aku juga ada janji sama Mama." Jawabku.

Segera aku menjabat tangan Ibu Tama dengan hangat, wanita ini begitu ramah dan baik padaku. Entah tau atau tidak tentang apa yang sudah Tama lakukan padaku selama ini. Setauku Tama selalu bercerita kepada Ibunya tentang apa saja itu.

"Tante kalau sempat, nanti sampaikan salam saya buat Tama. Saya berdoa supaya Tama cepet sembuh." Mataku kembali terasa panas , tetapi sebuah sentuhan hangat di pundakku membuatku kembali kuat.

"InshaAllah. Sudah ya, jangan nangis." katanya.

Aku dan Ari segera meninggalkan rumah sakit setelah selesai berpamitan dengan semua yang ada disana. Dengan berat hati dan perasaan yang bercampur aduk aku meninggalkan rumah sakit. Ada perasaan takut, khawatir, sedih tapi lega bertemu dengan Tama hari ini. Hanya saja aku pikir waktunya sangat tidak tepat.



Ternyata aku masih sangat menyayanginya.....

Setelah Aku Tau |✔Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt