KEDUA PULUH DUA

895 53 0
                                    

Suasana sedang bersahabat hari ini, sepoian angin membuat hawa siang menjelang sore ini semakin nyaman saja. Aku sedang bermalas-malas dirumah menunggu kedatangan Alva yang katanya sedang perjalanan menuju kemari. Alva adalah salah satu anggota himpunan di kampus kami, dia menjadi sangat penting karena mengikuti beberapa program kerja milik himpunan. Tadi pagi dia mengatakan jika ada rapat tentang acara yang akan dilaksanakan tak lama lagi.

"Ayma.." 

Suara lembut khas mama terdengar halus di telingaku. Aku tersenyum padanya yang membawa dua cangkir berisi minuman lalu menaruhnya di atas meja. 

"Ngelamun aja kerjaannya." Katanya.

Aku tersenyum lembut, "mama kok tumben udah pulang?" Tanyaku.

"Iya. Kerjaan lagi nggak banyak-banak banget." Jawabnya.

Suara sepoian angin kembali terdengar. Hening. Mama menikmati susu hangat yang dia buat untuknya dan untukku. Mama sepertinya belum mengganti pakaian, karena masih menggenakan blazer berwarna biru tua yang senada dengan rok biru tua juga.

"Kok kamu di rumah juga? Tumben biasa jam segini masih di kampus." Kata Mama.

Aku menghela nafas panjang. "Hari ini aku nggak ada kelas, Ma. Dan lagi males juga keluar." Jawabku datar.

"Alva juga mau kesini katanya." Lanjutku.

Mata mama berbinar mendengar nama Alva aku sebut. "Mama bisa dong ngobrol sama dia." Kata Mama.

Aku hanya tersenyum tipis padanya, ku ambil cangkir berisi susu coklat lalu menyeruputnya perlahan.

"Kok lemes gitu sih bahas pacarnya. Biasanya nih ya kalo ngebahas pacar itu semangat." Kata Mama.

Entah harus ku jawab dengan apa pernyataan mama barusan. Aku tak mempunai jawaban yang tepat untuk menjawabnya. Aku hanya mengedikkan mataku sebentar. Seperti mengerti apa yang aku maksudkan, mama menggenggam tanganku erat.

"Cintai orang yang bisa buat kamu jatuh cinta sama dia tanpa dia harus minta untuk di cintai." 

Aku memeluk mama erat. Apa yang di katakan mama benar. Lalu aku harus apa.

***

Mendekati ujian akhir semester membuat ku memaksakan untuk menambah jam belajar bersama teman-temanku. Mengingat aku lemah dalam beberapa mata kuliah wajib jurusanku. Waktu setelah kuliah berakhirlah satu-satunya waktu yang bisa aku gunakan untuk belajar bersama teman-teman. Kadang rumah Tata, atau kos Vanessa dan Pika bergantian. Rumahku paling jauh diantara yang lainn dan memaksa ku untuk mengalah. Mama mengijinkan aku menambah jam belajar selama apa yang aku lakukan masih positif, dan aku rasa semua orang tua akan melakukan hal yang sama seperti Mama. 

Bibi membantu membukakan pagar. Jam menunjukkan pukul 7 malam. Aku tersenyum kepada bibi yang terlihat sama lelahnya seperti aku. Seharian dirumah sendirian memang bukan pilihan yang baik untuk di pilih. Mengingat usia bibi yang sudah tidak muda lagi kadang membuatku iba jika membutuhkan bantuannya.

"Mama tadi telpon katanya bakal agak telat pulangnya." Kata bibi sambil memberikan aku segelas air mineral. 

Ku seruput air tersebut, mama juga mengirim pesan padaku tadi siang jika dirinya ada beberapa rapat dan pekerjaan yang harus dikerjakan, tapi karena terlalu sibuk juga aku tidak sempat membalas pesannya. Aku menganggukkan kepala sambil tersenyum manis pada bibi yang mulai kembali menyiapkan makanan untukku.

"Non, tadi siang mas Tama mampir kesini."

Mataku melebar mendengar nama yang diucapkan bibi. "Ngapain dia kesini, Bi?" Tanyaku.

"Dia nanya non ada di rumah apa enggak, ya bibi jawab non lagi kuliah, pulangnya sorean." Jawab Bibi.

Aku mengingat pesan yang dikirimkan Tama kemarin malam, sudah lama aku tidak bertemu dengannya. terakhir hanya bertatap mata di ulangtahun Maya dan aku sengaja menghindarinya. Pesan terakhir Tama pun tidak aku balas, entah kenapa aku bingung dengan hatiku sendiri.

Suara dering ponselku terdengar sama-samar karena terpendam beberapa barang di tas, aku segera mengangkat telpon tersebut.

"Sudah sampe rumah bu bos?" Suara nyaring Alva menyambutku dari seberang telpon sana.

Senyumku mengembang mendengar suaranya. Satu hari ini aku hanya satu kali bertemu dengannya karena jadwal kami yang berbeda.

"Sudah kok Alva, kamu lagi dimana kok rame?" Jawabku.

"Lagi di jalan mau pulang. Yaudah ya nanti aku kabari lagi." Katanya.

Aku mengangkat sebelah alisku, walau sering sekali dia melakukan hal ini, menelpon sebentar untuk memastikan dimana keberadaanku.

"Hati-hati." Kataku sebelum Alva memutus sambungannya.

Terlihat bibi yang ikut tersenyum kecil sambil menatapku yang tersenyum sendiri. Sepertinya dia sudah terbiasa dengan senyuman kecilku setiap kali Alva menelpon. 

"Mas Alva kayaknya sayang banget ya sama non." kata Bibi.

Aku mengangguk sambil menyuapkan sendok kedalam mulut. Bibi benar, dia begitu menyayangiku. Selalu melakukan hal hal yang membuatku nyaman berada di dekatnya. Selalu menjaga aku agar tetap tersenyum. Hampir tidak pernah dia membuat aku bersedih. Hidupku lebih berwarna satu tahun terakhir ini, dengannya aku seperti memiliki dunia baru yang sepertinya tak pernah aku punya sebelumnya. Hanya saja selalu ada yang kurang diantara kita.

"Bibi lebih suka non sama Mas Alva daripada Mas Tama." Kata Bibi lagi.

"Kenapa, Bi?" Tanyaku.

"Mas Alva lebih bisa buat non bahagia." Jawaban singkat dari Bibi membuatku mengingat apa saja kejadian kelam yang aku alami bersama Tama.

"Beda orang kan emang selalu beda rasa, Bi. Dulu Tama juga sempet bikin aku bahagia." Kataku.

Bibi tersenyum menatapku, "tapi cinta itu bahagia non, kalau tidak bahagia berarti itu bukan cinta." katanya.

Aku hanya tersenyum tipis pada Bibi. Selain mama, bibi adaah pengamatku di rumah. Hampir masalah yang aku punya bibi selalu tau. Terlebih semua kisah cintaku.

Setelah menyelesaikan makan, aku segera naik ke kamar untuk membersihkan diri. Pesan dari Alva hanya aku baca, sama seperti pesan dari mama. Aku duduk di meja yang biasa aku gunakan untuk belajar, melihat satu persatu barang yang ada di atasnya. Entah kenapa pembicaraan singkatku bersama bibi terus terngiang di kepala. Aku merasa apa yang dikatakan Bibi ada benarnya, tapi jauh di dalam hatiku ingin aku membantahnya. Ku raih satu buku berwarna kuning dengan beberapa gambaran di sampulnya. Buku yang sengaja aku simpan saat membongkar isi kamar ini. Aku buka lembar demi lembar. Aku masih terus mengagumi gambar Aze dan Putra walaupun sudah beberapa kali aku membaca buku ini. Sampai aku berhenti di satu halaman dengan gambar yang begitu indah, yang selalu aku kagumi.

"Mungkin aku yang bodoh." Aku menutup dengan kasar buku kuning ini lalu segera masuk kedalam kamar mandi untuk membersihkan diri. 




....'kalau tidak bahagia, itu bukan cinta'. Tapi bukan kah, cinta itu butuh rasa sakit agar bisa kita hargai keberadaannya.

Setelah Aku Tau |✔Where stories live. Discover now