KETIGA PULUH DUA

862 53 1
                                    

Silau cahaya lampu ruangan yang sedikit remang. Aku tak mengenali atas putih polos yang ku lihat sekarang ini. Ku edarkan pandanganku ke sekeliling. Mama sedang ngobrol dengan Tante Wanda di sofa yang ada di sudut ruangan, dan ada Alva yang tidur dengan memeluk tangan kiriku yang sedang infus.

"Maa.." Kataku lemah.

Mama seperti kaget dengan suara parau ku, dan dengan cepat mendekat. Rupanya suara langkah Mama mengagetkan Alva, dia langsung terbangun dan membenarkan letak kacamatanya.

"Hai sayang.." Sapa Alva pelan.

"Aku mau minum." Kataku.

Alva dengan sigap mengambilkan gelas yang berisi air diatas meja, lalu membantuku untuk minum.

"Mama panggil dokter dulu ya dek."

Aku tersenyum kepada Tante Wanda yang masih berdiri disebelah kanan ku.

"Adek Asia mana, tan?" Tanyaku pelan.

Tante Wanda membelai kepalaku lembut, "dia baik kok. Nanti kalo kamu udah sembuh, tante ajak adek kamu main." Jawabnya.

Seperti mengerti situasi, Tante Wanda kembali duduk di sofa. 

Wajah Alva begitu lelah. Dan tentunya khawatir.

"Maafin aku ya, bikin repot kamu lagi." Kataku.

Matanya berair, seolah ingin menjatuhkan air mata sebagi bentuk kelelahannya. "Nggak usah minta maaf, sayang." Katanya.

"Aku pingsan udah berapa lama ya?" Tanya ku begitu polos.

Alva kembali duduk dan membuat dirinya nyaman di tempat duduk. "Lima jam mungkin." Jawab ALva.

Ku lirik jam dinding yang bergantung manis di sudut dinding lain di ruangan ini. Jam menunjukkan pukul sepuluh malam.

"Alva udah malem banget, kamu harus pulang." Kataku. 

"Aku mau nemenin kamu disini." Sahutnya.

"Kamu harus pulang, kemaren kamu udah nginep di rumah sakit. Hari ini kamu harus pulang. Besok kamu kesini lagi." Kataku.

Alva seperti menunjukkan wajah tidak setuju dengan apa yang aku minta, tapi aku tau sebenarnya dia juga kelelahan.

"Ya sudah, besok pagi aku kesini lagi. Dan kamu harus janji kalo besok kamu harus sudah sembuh." Ujar Alva.

Dia mencium keningku lalu memelukku sejenak sebelum pergi dari ruang rawat ini, Tak lupa pamit kepada Tante Wanda.

Laki-laki ku begitu hebat.

***

"Besok sudah boleh pulang." kata dokter setelah memeriksa keadaanku.

Alva tersenyum mendengar penjelasan dokter. Setelah selesai dengan pekerjaannya, dokter tersebut keluar dari ruangan.

"Mama nggak mau kamu pingsan kayak gini lagi ya, dek." kata Mama.

"Kamu itu harus sadar kalo punya darah rendah yang bisa kumat kalo kamu kecapean." sambung Papa yang hari ini menyempatkan untuk datang.

"Sebenernya aku sengaj sih, biar di jagain kalian semua." celotehku.

Mama mencubit tangan bekas infus yang baru saja di lepas oleh suster.

"Aduh mama, sakit tau."

"Biarin aja, kamu nggak tau gimana paniknya mama waktu Alva telpon, ngasih tau kalo kamu pingsan. Untung Tante Wanda bisa nemenin mama kesini." jelas mama.

Entah kenapa lucu sekali melihat ekspresi mama saat bercerita. Saat itulah aku tau kalau mama begitu menyayangiku.

Semua ibi di dunia ini akan sangat khawatir kepada keadaan anaknya.

"Pokoknya jangan gini lagi." Kata mama.

"Alva tolong ya Ayma di kontrol." Ujar papa.

Alva mengangguk mantap sambil mengacungkan ibu jari kepada papa.

"Siap om." katanya.

"Besok kalo Asia udah gede, semoga dapet pacar kayak Alva, ya. Baik banget." celetuk Tante Wanda.

Aku tersenyum pada Alva yang sudah lebih dulu tersenyum manis padaku.

Aku mendengar dari Tante Wanda jika Alva selalu berusaha terjaga selama aku pingsan kemarin. Baru beberapa menit Alva berhasil tertidur, aku siuman dan membuatnya kembali bangun.

Dua hari ini dia juga selalu menemaniku di rumah sakit. Mengerjakan semua tugas di ruang rawatku. Hingga tertidur sejenak.

"Kesehatan kamu itu penting buat aku."

Itu katanya saat aku mulai mengkhawatirkan keadaannya karena harus bolak balik ke rumah sakit untuk memastikan aku baik-baik saja.

Aku menatap Alva yang asik mengerjakan tugas di sebelahku. Tangannya begitu lihai menekan nekan tombol kalkulator hitam kesayangannya.

"Vaa.."

Alva menoleh kearahku dengan cepat.
"Kenapa sayang?" tanya Alva.

"Masih banyak?"

Alva melirik ke kertas folio bergarisnya, "udah kok, tinggal dikit lagi. Butuh apa?" jawabnya.

"Naik sini bentar." kataku sambil menepuk kasur yang sudah 3hari ini aku tiduri.

Kamar VIP yang dipilih mama ini memiliki fasilitas kasur yang sedikit lebih besar dari ruang rawat biasa.

Alva menaikan sebelah alisnya, lalu membereskan tumpukan kertas yang tadi dia geluti.

Ragu awalnya, takut kasuf ini tidak cukup untuk kami berdua.

"Ini nanti kalo mama sama Tante Wanda masuk, malu aku." kata Alva saat sudah mendapatkan posisi nyaman disebelahku.

Ku peluk tubuh Alva sebisaku, menghirup lembut aroma tubuhnya yang selalu membuatku merasa aman dan nyaman.

"Mama sama Tante Wanda udah aku bilangin nggak boleh masuk. Soalnya mau pacaran." bisikku.

Alva terkekeh mendengar kalimat tidak biasaku. Aku juga tidak mengerti darimana datangnya kosa kata seperti itu. Seolah datang dengan sendirinya di otak ku.

Kami berhadapan saat ini, aku bisa melihat mata Alva yang sedikit sipit dan terlindungi oleh kaca mata klasik yang hampir dua tahun ini belum dia ganti.

Aku bisa melihat setiap sudut wajahnya yang selalu membuatku tau betapa dia menyayangiku.

"Makasih ya." kataku pelan.

Bibirnya kembali mengembang. Matanya ikut terangkat. Hal yang selalu aku sadari. Alva begitu tampan jika sedang tersenyum seperti ini.

"Aku sayang sama kamu." jawabnya pelan. Hampir berbisik.

Aku membalasnya dengan senyuman termanisku. Di sentuhnya pipi ku yang mulai berair karena air mata yang perlahan meluncur dari kelopak mataku.

Di hapusnya seluruh air mata itu sampai tak tersisa.

Inikah rasanya bahagia hingga menangis?

Alva mendekat sampai aku bisa merasakan hembusan nafasnya. Bibirnya terus tersenyum. Lalu mencium lembut bibirku yang juga sedang tersenyum.

Alva menciumku begitu lembut. Tidak bernafsu. Hanya ciuman sederhana. Sambil tersenyum tipis. Aku bisa merasakan senyumannya dalam ciuman ini.

Alva memelukku erat untuk mengakhiri ciuman itu. Ku tenggelamkan wajahku diantara bahunya. Mencium dalam dalam aroma tubuhnya.

"Aku cinta kamu, sayangku.." bisiknya lembut di telingaku.

"Aku juga cinta kamu." bisikku.


Sudah waktunya aku melawan kesakitan lama ku. Tidak menjadi Ayma yang baru. Hanya memilih jalan baru, bersama orang baru, menjalani hidup baru.....

Setelah Aku Tau |✔Where stories live. Discover now