KEDUA PULUH EMPAT

886 54 0
                                    

Setelah pertengkaranku dengan Alva aku merasa ada jarak antara aku dengannya. Entah aku atau dia yang membangun jarak tersebut. Aku merasa aneh. Banyak yang berubah dari hubungan kami. Entah aku yang berubah atau memang semuanya sudah berbeda. Sejak pertengkaran itu Alva terus mengungkit tentang siapa yang lebih peduli dengan siapa dan siapa yang lebih mengerti dibanding siapa. Aku merasa terintimidasi dengan semua sikap protes Alva yang seakan menyudutkan aku.

"Im, kamu kenapa sih diem aja?" Tanya Pika padaku.

Siang ini Tata mengajak kami untuk makan siang di kafe yang biasa kami datangi. Aku tak banyak makan, hanya memesan satu minuman dan satu cemilan yang hanya aku lihati saja keberadaannya.

Aku mengangkat sebelah alisku dan tersenyum tipis kearahnya. "Kenapa, Im? Cerita dong." Kata Vanessa.

"Kapan hari aku berantem sama Alva, dia mempermasalahkan sikap ku yang kesannya terlalu cuek buat dia. Dia ngerasa aku nggak pernah memprioritaskan dia, kayak dia yang selalu memprioritaskan aku." Jelasku.

Tata, Pika dan Vanessa menatapku dalam.

"Dan sekarang Alva kayak menjauh dari aku." Lanjutku.

Ku seruput milkshake coklat pesananku tadi, "pertanyaan wajib di jawab. Kamu sayang nggak sih sama Alva?" Tanya Tata.

Ku tatap ketiga temanku ini secara bergantian, mencoba memperlihatkan betapa kebingungannya aku mengerti diri sendiri.

"Ya sayang.." Jawabku pelan.

"Sama halnya kayak cewek, cowok juga butuh pembuktian. Kalo kamu emang sayang sama Alva, buktiin ke dia kalo kamu punya gaya sendiri buat sayang sama dia." Kata Pika.

"Aku udah nyoba, tapi dia selalu ngungkit kalo aku nggak pernah mengerti sedangkan dia selalu mengerti aku. Aku nggak pernah minta buat dingertiin." Jawabku.

"Kalian udah pacaran hampir dua tahun dan nggak pantes dong baru sekarang kalian ngeribut tentang siapa yang lebih mengerti dibanding siapa." Kata Vanessa.

Aku menghela nafas putus asa, benar apa yang di katakan Vanessa. Tapi nyatanya setelah dua tahun aku dan Alva pacaran, sepertinya kami belum benar-benar mengenal satu sama lain. Hanya sekedar tau.

"Lamanya hubungan nggak menjamin kita bener-bener kenal sama pasangan kita, Van." Jawabku lirih.

***

Ku rebahkan diriku diatas kasur, akhir-akhir ini aku terasa begitu melelahkan. Ku ambil ponsel dan membuka layarnya, tak ada notifikasi apapun. Biasanya Alva sudah mengirimkan banyak pesan untuk sekedar bertanya apakah aku sudah sampai rumah atau belum. Berbeda memang, tapi jika memang ini keinginannya, aku akan mengikuti. Sebelum pulang, aku bertemu dengan Alva di lobby kampus, dia sempat mengatakan jika malam ini akan ada banyak urusan yang akan dia kerjakan bersama dengan teman-teman pengurus himpunan. Aku tak perlu menunggunya. Setelah itu dia pergi bersama dengan yang lain keluar kampus. Aku tak mengeluarkan ekspresi berlebih karena Alva terasa begitu kaku saat itu, di tambah dengan kalimat 'kalo kamu nggak mau nungguin aku pulang juga nggak papa, nggak maksa' terasa seperti sindiran. Tata, Pika dan Vanessa akhirnya bisa merasakan ketegangan diantara kami saat melihat sikap Alva tadi padaku. Mereka hanya mengatakan jika aku butuh berbicara serius dengan Alva.

"Ayma." Suara lembut mama memecahkan keheningan di kamar ini.

"Hei, Ma." Jawabku sambil memamerkan senyuman manis padanya.

Mama duduk di sebelahku, menatapku sebentar lalu tersenyum. "Kamu kenapa? Kata bibi tadi kok kamu kayak murung gitu." Tanya mama.

Aku memang tidak bisa menyembunyikan apapun dari mama. "Nggak papa, Ma. Cuma ada masalah dikit sama Alva." Jawabku.

Mama mengelus kepalaku lembut, mencoba mentransfer energi positif yang dia punya. Aku tersipu dengan apa yang dia lakukan. Selalu berhasil membuatku merasa lebih baik, walaupun hanya sedikit.

"Masalah itu harus diselesaikan, sayang." Kata Mama.

Aku mengangguk mengerti, "aku udah berusaha, tapi kayaknya Alva tetep marah. Ya, mungkin lagi lagi aku yang salah." Jawabku.

"Yaudah, sekarang kamu turun. Kamu minta maaf ke Alva kalo emang kamu ngerasa salah." Kata Mama.

Aku mengerutkan dahiku, "Maksud mama?"

"Alva udah nungguin kamu di ruang tamu. Dia dateng nyariin kamu katanya." Jawab Mama.

Mataku melebar mendengarnya, dengan cepat aku turun menuju ruang tamu. Alva sudah duduk di kursi sofa dengan baju setelan yang sama saat ada di kampus tadi. Dia menoleh kearahku saat sadar aku mendekatinya. Kamu hanya bertatapan, aku tak berani berkat-kata begitu juga dia.

"Hai." Sapanya.

Masih canggung. Sangat canggung. Padahal hanya satu minggu kami bersitegang tapi rasa canggung ini terasa seperti lama sekali kami tidak bertemu.

"Alva aku minta maaf kalo kamu ngerasa aku nggak pernah ada buat kamu. Aku nggak pernah selama ini berhubungan sama orang, dan kayaknya aku masih sangat trauma." Kataku.

Perlahan air mata turun menghiasi pipiku, Alva memelukku erat, lagi-lagi aku bisa mendengarkan detak jantungnya. Tapi iramanya kali ini lebih normal dari biasanya. Wangi parfum khasnya tercium begitu dekat olehku. Ku lingkarkan tanganku untuk membalas pelukan Alva yang terasa begitu dekat.

"Aku juga minta maaf." Bisiknya.

Alva menghapus air mata yang sudah memenuhi wajahku, menuntunku untuk duduk di sofa bersamanya.

"Aku yang gagal mengerti kamu." Katanya. Tatapan Alva begitu dalam, namun lembut.

"Aku sayang sama kamu, Ayma." Katanya lagi.

Hatiku terasa begitu sakit. Selalu sakit jika mendengar Alva mengatakan jika dia mencintaiku. Sepertinya aku tidak pantas mendapatkan kalimat itu dari laki-laki ini.

Mungkin sekarang aku merasakan bagaimana rasanya jadi Tama dulu. Aku harus berjuang selalu bahagia dan selalu terlihat mencontai seseorang yang memiliki cinta yang besar untukku. Semua orang selalu bilang jika aku beruntung memiliki Alva, beruntung bisa dicintai oleh laki-laki seperti Alva. Dan aku mengakui itu benar, aku merasa sangat beruntung bisa dicintai setulus Alva mencintai aku. Dia memberiku semua hal yang aku butuhkan tanpa pernah aku memintanya terlebih dahulu.

Alva berhasil membuat aku merasa jika aku sedang jatuh cinta padanya. Padahal sesungguhnya tidak.

Alva membuatku jatuh kedalam wilayah yang aku kira bisa berkembang menjadi cinta. 

Alva berhasil melakukan semuanya.

Hanya saja aku yang gagal.

Jangan kan untuk mengerti dirimu, untuk mengerti diriku sendiri saja aku gagal...

Setelah Aku Tau |✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang