KEEMPAT PULUH TIGA

1.1K 64 2
                                    

Sudah hampir satu minggu aku berada di rumah sakit. Pemandanganku hanya beberapa orang yang sama sakitnya denganku dan Tama. Tama terus menemaniku. Dia benar-benar membuktikan kalimatnya jika akan terus berada disini selama 24 jam. Beberapa teman kantor dan juga Tata sempat datang untuk menjenguk. Pika dan Vanessa tak kalah khawatirnya, hanya saja aku bilang jika tak perlu datang kemari karena aku tau mereka kini sibuk dengan pekerjaan mereka.

Satu minggu berlalu dan selama itu juga tak ku temui sosok Alva muncul. Kata mama, Alva sedang pergi. Dan aku akan segera menemuinya jika aku pulih nanti. Itu lah yang membuatku semangat untuk cepat sembuh. Semakin hari aku semakin khawatir dengan Alva. Tak ada jawaban saat aku mencoba menghubungi Alva lewat ponsel Tama karena ponselku ternyata rusak parah. Ponsel Alva tidak bisa dihubungi.

Alva bersamaku saat kecelakaan terjadi. Aku membayangkan bagaimana keadaannya sekarang. Aku saja seperti ini, bagaimana dengannya. Tapi aku bersyukur jika memang dia baik-baik saja. Pengganjal leher juga sudah dilepas kemarin, aku sudah tidak perlu tergangu olehnya.

“Kalo gini kan kamu bisa cepet sembut terus pulang.” Kata Tama setelah meletakkan botol obat kembali diatas meja.

“Kamu nggak kerja, Tam?” Tanyaku.

“Kerja.” Jawabnya.

“Kapan? Perasaan kamu disini terus nemenin aku.” Kataku.

Tama tersenyum, “aku sekarang jadi illustrator. Ada perusahaan komik yang kerjasama sama aku. Udah dua tahun belakangan ini sih sebenernya.” Jelas Tama.

“Wah keren.. Kok aku baru tau ya.” Kataku.

Tama terkekeh mendengarnya. Tatapan Tama terasa begitu dalam. Sangat bahaya untuk batinku. Ku alihkan pandangan selain kedua matanya.

Aku mengangguk. “Pacar kamu nggak marah kalo kamu disini terus?” Tanyaku.

Tama terdiam, lalu menatapku dalam. Gugup.

“Aku udah nggak sama dia.” Jawabnya.

Aku terbelalak kaget dengan apa yang baru saja aku dengar.

“Kenapa? Sejak kapan?” Tanyaku.

Tama meletakkan kembali gelas bekas aku minum ke atas meja.

“Udah lama. Malah sebelum kamu dilamar Alva waktu itu.” Jawab Tama.

Ku sentuh tangannya pelan, “sabar ya.” kataku.

Tama menatapku dalam, seolah ada sesuatu yang ingin dia sampaikan. Tapi juga bisa ku lihat jika dia tak ingin membaginya. Tak apa aku bisa memaklumi.

Alva dimana.

***

“Ma, Alva kemana sih?” Tanyaku pada mama yang sedang membereskan baju-baju ku bersama dengan Tante Wanda.

“Habis ini kita ketemu sama Alva.” sahut Tama.

“Kamu mau nganterin aku ketemu Alva?” Tanyaku.

Tama mengangguk.

Akhirnya setelah sekian lama aku bisa kembali bertemu dengan calon suami ku. Tak pernah sebelumnya aku berjauhan seperti ini dengannya tanpa alasan yang jelas.

“Tapi nanti kamu harus tutup mata.” Kata Tama.

Aku mengerutkan dahiku, bingung.

“Soalnya ini kejutan.” Lanjut Tama.

“Awas ya kalo aneh aneh.” Jawabku.

Setelah semua selesai di bereskan, Tama mendorong kursi roda yang aku naiki. Kakiku masih terlalu sakit untuk berjalan jauh. Dokter juga menyarankan untuk sementara aku menggunakan kursi roda untuk bantuan berjalan.

Perjalanan terasa begitu lama, mataku sudah ditutup oleh Tama. Mama, Papa dan Tante Wanda memutuskan untuk tidak ikut dan menitipkan aku kepada Tama. Awalnya aku was-was karena harus Tama yang mengantarkan aku bertemu dengan Alva. Akhir-akhir ini Alva memang tak ada masalah dengan kehadiran Tama. Tapi rasanya ada perasaan ragu dihatiku.

Aku bisa merasakan Tama menghentikan laju mobilnya.

“Udah sampe, Tam?” Tanyaku.

“Iya, bentar ya aku bukain pintunya.” Jawab Tama.

Aku bisa mendengar dia membuka pintu lalu menutupnya kembali. Ku kembangkan senyuman, membayangkan setelah ini aku bertemu kembali dengan Alva.

“Aku gendong aja ya, kursi rodanya bakal susah jalan nanti disini.” Kata Tama.

Aku terdiam sejenak.

“Emangnya kenapa nggak bisa jalan kursi rodanya?” Tanyaku.

Tanpa menjawab, Tama mengarahkan aku naik ke atas punggungnya untuk di gendong. Aku tak lanjut bertanya. Beberapa pertanyaanku tak dijawab olehnya. Dia hanya diam sambil terus berjalan. Ingin ku buka penutup mataku sekarang untuk melihat dimana lokasi kami sebenarnya.

Tama menurunkan aku, dia terus memegangi tubuhku, seolah takut jika aku akan jatuh.

“Aku buka ya.” Katanya.

Ku anggukkan pelan. Tama membuka penutup mata yang entah sudah berapa lama menutupi mataku. Ku buka perlahan mataku, mencoba mengadaptasikan mataku dengan cahaya di alam luar ini.

Tubuhku begitu kaku. Mataku memerah. Badanku bergetar hebat. Ku tatap Tama yang sudah menangis tipis terlebih dahulu.

“Ini bercandaan, kan Tam.” Kataku.

Tama menggeleng. Ku baca berkali-kali nisan yang ada tepat di bawah ku ini.

Alva Marhendra

Aku menangis sekeras yang aku bisa. Memukuli tanah kuburan yang berani-beraninya menimbun laki-laki yang sebentar lagi akan menjadi kekasihku selamanya. Tak ada kata yang bisa aku katakan. Aku hanya bisa menangis.

Ku ingat terakhir kali aku memandang wajahnya. Mengingat setiap detail wajahnya ketika tersenyum. Mengingat bagaimana dia menyayangiku lebih dari dia menyayangi dirinya sendiri. sekarang, aku tak akan bisa lagi bertemu dengan sosok laki-laki paling baik yang pernah aku temui di dunia.

Tama memelukku erat. Tapi usahanya untuk membuatku tenang tak akan berpengaruh apapun saat ini. Ku panggil nama Alva sekeras yang aku bisa. Berharap ketika aku memanggilnya, dia bisa datang dan mengatakan jika semua ini hanya lelucon yang akan diakhiri setelah aku menangis.

Ini tidak mungkin.

Kenyataan paling buruk adalah ketika kita harus berpisah dunia dengan orang yang sangat menyayangi kita. Karena perpisahan paling menyakitkan adalah kematian….

Setelah Aku Tau |✔Where stories live. Discover now