KEEMPAT PULUH SATU

Start from the beginning
                                    

“Pacar aku Alva sekarang, Pa.” jawaban yang aku tau tidak menjawab pertanyaan Papa.

“Papa tau. Tapi papa nggak liat tatapan setulus kamu menatap Tama kemarin.” Kata Papa.

Kalimat papa memaksaku mengingat kejadian kemarin. Dimana Tama yang memasangkan cincin pemberian dari Alva. Dimana Tama kembali melihatku menangis sendu. Dimana aku melihat mata Tama yang seolah ingin menangis.

“Itu mungkin karena aku lagi nangis aja, terharu.” Jawabku sekenanya.

Papa tersenyum. Menyisir rambut Aysa dengan jarinya. Aysa selalu suka siapapun menyisirinya seperti itu. Katanya dia merasa sangat disayangi.

“Kalo kamu memang cinta sama Alva, kamu nggak mungkin sebingung ini. Coba rasakan, apa memang benar Alva adalah orang yang bisa buat kamu bahagia, sumur hidup kamu.” Kata Papa begitu dalam.

Ku tatap langit yang mulai berubah warna menjadi hitam. Angin semakin terasa dingin seiring dengan bergantinya warna langit ini. Aroma masakan mama dan Tante Wanda juga sudah sangat tercium.

“Papa, Ayma, Aysa. Ayo sini, makanannya sudah selesai. Kita makan dulu.” Teriakan mama memaksa kami untuk masuk.

“Pikirkan apa yang baru aja papa bilang ya.” papa mengusap kepalaku pelan. Lalu menggendong Aysa dan masuk kedalam.

Papa benar.

***

Alva memberhentikan mobilnya di depan pagar rumah. Aku sudah menunggu kedatangannya sekitar lima belas menit yang lalu. Tadi dia menelpon dan menyuruhku untuk bersiap pergi.

Aku menghampirinya yang sudah membukakan pintu mobil untukku.

“Kita mau kemana sih?” Tanyaku saat kami sudah berada di dalam mobil.

“Makan.” Jawabnya singkat.

Ku putuskan untuk tidak lagi bertanya. Karena sepertinya dia akan memberiku kejutan. Sepanjang perjalanan Alva bercerita tentang bagaimana mamanya begitu bersemangat menyiapkan pernikahan Mas Rizky yang akan berlangsung tak lama lagi. Mama Alva sudah menyiapkan baju untukku juga. Dan di saat itulah aku akan di perkenalkan kepada seluruh keluarga besar Alva.

Aku hanya tersenyum untuk menanggapi ceritanya. Sedikit banyak aku sudah mendengar hal itu dari Mbak Putri beberapa hari yang lalu. Ku pandangi jalanan yang lumayan sepi hari ini. Tidak semacet biasanya.

Alva menghentikan mobilnya di sebuah restoran daging yang lumayan terkenal. Aku tak banyak bertanya. Aku kira dia akan mengajakku kemana.

Di gandengnya tanganku saat kami melangkah masuk kedalam. Restoran ini tak begitu ramai. Suasanya yang nyaman dan hangat membuat siapapun betah berlama-lama berada disini. Rupanya Alva menyiapkan malam malam untuk kami berdua.

Setelah mengatakan meja pesanannya, kami diantarkan menuju sebuah meja di pojok ruangan. Ku lihat seorang lelaki sedang duduk disana.

“Silahkan.” Kata pramusaji itu.

Laki-laki yang duduk di kursi yang sepertinya sudah di pesan oleh Alva menoleh.

“Isaa..”

Ku peluk sahabat yang akhir-akhir ini sedang sibuk sekali berlayar. Ku nanti kan saat bertemu dengannya. Ku tumpahkan seluruh kerinduanku padanya. Terakhir kali aku bertemu dengan Isa saat pernikahan Shania. Itu pun hanya sebentar karena dia harus kembali dengan pekerjaannya.

“Jangan nangis dong. Udah dandan gini kok nangis.” Kata Isa.

“Alva ini kamu yang  ngerencanain?” Tanyaku pada Alva.

“Seminggu yang lalu kan kamu bilang kalo kangen banget sama Isa. Yaudah aku datengin Isa buat kamu.” Jawab Alva.

Ku peluk Alva tak kalah eratnya. Tak peduli jika orang yang ada di dekat sana memandang aneh kearahku. Diciumnya keningku. Lalu dia menuntunku untuk duduk di kursi. Ku ceritakan segala hal yang terjadi. Ku Tanya kabar Isa, kabar tentang pekerjaannya dan keluarganya. Isa tampak lebih baik sekarang. Penampilannya pun tak sekacau dulu.

“Kalian kapan nikah?” Tanya Isa.

Ku tatap Alva yang tersenyum mendengar pertanyaan itu.

“InshaAllah 3 bulan lagi. Lo harus dateng ya.” Jawab Alva.

Aku tersenyum tipis.

“Kenapa, Im?” Tanya isa padaku.

Ku gelengkan kepala sambil tersenyum, menajamkan senyuman yang sebelumnya terasa terlalu tipis.

Alva kembali menceritakan betapa bahagianya dia menyambut hari pernikahan kami yang berlangsung sebentar lagi. Alva juga menceritakan tentang dimana dan kapan tepatnya pernikahan kami yang sudah mulai di urus oleh keluarga.

“Kamu kayak nggak seneng gitu sih?” Tanya Isa saat Alva melangkah menuju toilet.

Ku angkat kembali senyumanku untuk menjawab pertanyaannya. “Seneng kok.”

“Kita temenan udah selama ini, kamu nggak bisa bohongin aku.” Kata Isa. Di raihnya tanganku yang tergelut ragu diatas meja.

“Aku kayak belum yakin. Tapi aku pasti yakin seiring berjalanannya waktu.” Jawabku.

Isa menatapku dalam, membuatku ingin menangis. “Seharusnya kalo kamu nggak yakin sama Alva, kamu bilang. Pernikahan itu bukan hal yang main-main, Ayma. Selamanya kamu bakal terikat sama dia setelah ini. Sebelum semua ini terjadi, kamu harus yakin kalo emang Alva adalah orang yang bisa buat kamu bahagia seumur hidup kamu.” Kata Isa.

Untuk kesekian kalinya untuk malam ini aku mengangguk. Dan kembali tersenyum seindah yang aku bisa.

“Aku yakin kok kalo Alva adalah orang yang bisa buat aku bahagia seumur hidup aku.” Jawabku.

Genggaman Isa terasa begitu hangat. Setelah semua yang terjadi, membuatku merasa tak perlu lagi menceritakan hal yang tidak patut aku ceritakan. Ini semua hanya keraguan sementara yang aku yakini akan hilang seiring berjalannya waktu.

Sebuah lubang kebahagiaan yang kamu gali khusus untukku sudah di depan mata, saat itu juga aku semakin takut untuk masuk. Orang bilang setelah ini aku akan menghabiskan hidupku bersama mu. Aku yakin kamulah orang yang bisa membuatku bahagia seumur hidupku, tapi aku tak yakin jika aku lah orang yang bisa membuat mu bahagia, seumur hidupmu…

Setelah Aku Tau |✔Where stories live. Discover now