ENAM

166 28 1
                                    

Seminggu setelah kepergian Harmono, rumahnya masih diselimuti kesedihan. Tiga wanita yang begitu menyayanginya masih dalam suasana yang berkabung entah kapan akan berakhir, satu dari mereka bahkan tak ada yang tahu pastinya. Yang mereka tahu hanya satu, hatinya masih terasa begitu sakit.

Gia berjalan menuju dapur untuk membantu Ibu menyiapkan beberapa kue yang akan disuguhkan nanti malam untuk para tamu, karena malam ini akan diadakan pengajian tujuh harian Ayah. Walaupun rumah cukup ramai dengan beberapa kerabat yang datang bahkan menyempatkan waktu untuk menginap tapi tetap saja Gia dan Ibu masih merasa begitu kehilangan Ayah dan air mata mereka rasanya tak pernah habis sejak seminggu yang lalu karena masih saja terus menangis jika mengingat Ayah.

Gia mengambil sekotak kue lapis, kemudian mengambil pisau yang tak jauh darinya dan mulai memotong kue itu kecil-kecil untuk kemudian akan dia pindahkan ke piring.

"Kamu masih ga mau ngomong sama Kia?" tanya Ibu sambil tangannya membantu Gia memindahkan kue-kue yang sudah dipotongnya ke piring.

Memang sejak hari itu, Gia sama sekali tak bicara pada Kia. Rasanya masih tidak percaya bahwa saudara kembarnya itu bisa melupakan orangtuanya yang sedang kritis dan lagi soal pria yang tiba-tiba memakai baju Ayah, Gia menaruh kecurigaan pada Kia tapi dia enggan bertanya apapun dan enggan juga mendengarkan penjelasan Kia, rasa-rasanya dia masih begitu kesal dengan saudara kembarnya itu.

Gia menghela napas, "enggak, Bu." sahutnya singkat.

"Kenapa? Kasian dia dari kemarin ngajak kamu bicara tapi kamu selalu menghindar ga mau dengerin dia."

Gia menghentikan aktifitasnya dan berbalik badan menghadap Ibu yang berdiri di sampingnya.

"Aku cuma ga habis pikir aja, Bu. Kenapa bisa-bisanya dia lupa kalau Ayah lagi kritis di rumah sakit?"

"Kamu udah dengerin penjelasan dia?

Gia menggeleng.

Ibu memegang bahu Gia, "sejak Ayah ga ada, Ibu udah ngerasa begitu kehilangan lalu apa Ibu harus kehilangan keceriaan kalian juga? Kalau Ayah lihat kalian seperti ini, Ibu yakin Ayah akan sedih, sama seperti yang Ibu rasakan. Kalau Ibu sekarang jelasin alasan Kia waktu itu, Ibu yakin kamu pasti bakal mengira kalau Ibu lebih bela Kia. Jadi, Ibu minta tolong sekali, nak. Dengarkan penjelasan Kia dan kembali baik-baik saja."

Ibu menarik napas sebelum kembali bicara lagi, suaranya sudah sedikit bergetar karena menahan tangis. "Kalau Ibu masih nangis akhir-akhir ini, itu bukan karena Ibu masih belum bisa ikhlasin Ayah, Ibu ikhlas Ayah pergi dan sudah ga nangisin Ayah lagi tapi nangisin kalian yang ga saling bicara lagi."

Melihat Ibu yang kini mulai menangis, Gia memeluk Ibu, berusaha menenangkan satu-satunya orang tua yang dia punya sekarang. "Nanti Gia coba dengerin penjelasan Kia, Bu. Maaf kalau sikap Gia ke Kia bikin Ibu sedih. Gia cuma ga habis pikir dan ga bisa terima, setelah Gia udah ngalah soal banyak hal cuma biar Ayah seneng sebab Ayah selalu ngeduluin Kia soal apapun, tapi dengan teganya Kia malah lupa kalau Ayah sakit."

Ibu hanya mengeratkan pelukannya dan mengelus punggung Gia, dia sangat mengerti perasaan Gia.

☔☔☔

Rafa memarkirkan motornya di depan rumah Gia, sudah seminggu berturut-turut dia selalu datang ke sini untuk sekadar bantu-bantu atau menemani Gia agar tidak terlalu sedih, saat dia meninggalkan Gia di rumah sakit sebab harus mengantarkan Risa waktu itu. Dia segera kembali ke rumah sakit, berusaha mencari Gia dan dia menemukan Gia sedang menangis di lorong rumah sakit, saat itu katanya Ayahnya kembali kritis setelah sebelumnya sempat sadarkan diri dan terus memanggil nama Kia--saudara kembarnya, Gia saat itu menelepon Kia puluhan bahkan ratusan kali, Rafa ada di sana saat panggilan entah yang keberapa tiba-tiba Ibunya keluar dari kamar dan mengatakan kalau Ayah sudah tidak ada.

Heavy RainfallWhere stories live. Discover now