TIGA

167 30 4
                                    

Pagi yang cukup membuat semua penghuni rumah terserang panik yang serentak, sebab Ayah tiba-tiba saja ditemui tergeletak pingsan di dapur oleh Ibu yang langsung berteriak memanggil dua gadis kembarnya dan itu sontak membuat Gia serta Kia langsung keluar dari kamar mencari sumber suara Ibu dan mereka mendapati Ayah terbaring lemas tak sadarkan diri di atas pangkuan Ibu.

"Ayah!" pekik mereka berdua bersamaan.

Mereka berdua langsung berlutut di depan tubuh Ayah, Kia langsung menarik tangan Ayah dan memeriksa denyut nadinya. Masih berdetak berarti Ayah masih bisa tertolong.

"Gimana, Ki? Ayah gapapa kan?" tanya Ibu panik.

Kia mengangguk cepat, "telepon ambulance, Gi. Buruan!"

Gia dengan segera bangun, dia langsung berlari kecil menuju kamarnya, mencari ponsel yang sialnya lupa dia taruh dimana. Matanya menyusuri seluruh sudut kamar, mencari benda persegi itu dan saat melihat ponsel Kia tergeletak di atas kasur, dia langsung meraihnya. Membuka kunci layar dengan sandi yang sudah sangat dia hafal walaupun itu bukan ponsel miliknya.

Gia menelepon ambulance dengan cemas, menunggu suara sambungan telepon berubah menjadi suara manusia yang mengangkatnya. Sementara tangisan kekhawatiran terdengar semakin jelas dari Ibu dan Kia yang berusaha menenangkannya.

Sudah seminggu Ayahnya memang sedang sakit sampai dia harus libur dari pekerjaannya sebagai PNS di salah satu daerah yang ada di Jakarta. Penyakit yang sering menyerang orangtua seperti darah tinggi serta asam lambung sedang Ayah rasakan, mungkin pagi ini darah Ayah naik lagi sebab kemarin malam Ayah makan makanan yang tidak seharusnya dia makan walaupun Ibu sudah mengomel, dari yang Gia tahu, tekanan darah tinggi bisa menyebabkan kematian secara mendadak dan itu yang kini sangat Gia takutkan, tapi saat tadi melihat Kia memeriksa Ayah serta sikapnya yang tidak sepanik dirinya dan Ibu, membuat Gia sedikit tenang, setidaknya Kia lebih tahu sebab dia kuliah di jurusan kedokteran walaupun baru semester awal.

Berada di ruangan bercat putih bersih serta bau obat yang tercium cukup menyengat, Ibu duduk di bangku yang ada di samping ranjang dengan dua gadis kembarnya berdiri di samping kiri dan kanannya, mereka sedih sebab Ayah tak juga sadar sejak beberapa jam yang lalu di bawa ke rumah sakit, dokter bilang pembuluh darah di kepalanya pecah akibat tekanan darahnya terlalu tinggi dan kemungkinan terburuknya adalah Ayah tidak akan bangun lagi, Ayah akan meninggal. Mendengar penjelasan itu saja sudah membuat dada ketiga wanita ini sakit dan sesak, apalagi saat melihat saturasi napas Ayah lama-lama melemah, tubuhnya sudah dipasangkan alat-alat entah apa. Gia dan Ibu tidak mengerti, tapi Kia cukup mengerti, semua alat yang menempel di tubuh Ayah untuk membantunya bernapas.

Ibu terus saja menggenggam tangan Ayah yang sama sekali tak merespon, sambil menangis dan sesekali menciumi punggung tangga Ayah. Melihat kondisi Ibu seperti itu membuat dua hati gadis kembar itu terasa semakin sakit. Rasanya tangan Tuhan bekerja dengan sangat cepat pagi ini sampai-sampai seperti baru saja berkedip tapi Tuhan tanpa aba-aba mencoba mengambil Ayah.

"Ibu, makan dulu ya?" ujar Gia pelan, tangisnya sudah dipaksa berhenti sebab jika dia terus saja menangis, rasanya itu tak akan membuat Ayah sadar.

Yang ditanya hanya menggeleng lemah, bagaimana bisa dia makan sedangkan suaminya sedang dalam masa kritis seperti ini? Sangat tidak bisa masuk di akalnya.

Melihat respon Ibu, Gia menoleh ke arah Kia menatap dan seolah bicara dari pancar mata.

"Udah gapapa. Lo temenin Ibu dulu di sini, gue balik ke rumah ambil baju ganti ya." ujar Kia, suaranya serak akibat menangis.

Heavy RainfallTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang