LIMABELAS

83 12 5
                                    

Begitu memasuki ruang ICU, pandangan Kia langsung tertuju pada tubuh lemas yang terbaring di atas ranjang rumah sakit dengan banyak selang dan kabel yang menempel pada tubuh pria itu, hidungnya terpasang oksigen dan Kia memerhatikan napas pria itu juga begitu pelan seperti menahan sesuatu, mungkin di sana letak rasa sakitnya selain di kepalanya yang diperban dan tangan kanannya yang di gips.

Kemudian, Kia berjalan mendekat dan berdiri di samping ranjang. Matanya tak lepas memandangi wajah Kafa yang tertidur tak cukup pulas itu, sebab Kia bisa melihat bola matanya sesekali bergerak, mungkin pria itu ingin membuka matanya tapi tidak bisa. Lalu, Kia duduk di bangku yang ada di samping ranjang. Dari mulut pria itu tak pernah absen nama Kia, seperti yang dijelaskan oleh Rafa dan Tante Anna, meski suaranya terdengar sangat lirih dan pelan, Kafa terus saja memanggil namanya, Kia tidak tahu kenapa pria ini selalu menyebut namanya. Mungkin sesaat sebelum terjadinya kecelakaan itu, dia sedang memikirkan Kia sehingga hanya ingatan terakhirnya itulah yang tersisa dan itu menyebabkan dia terus memanggil Kia.

Kia menggenggam tangan Kafa yang tak terinfus, tidak ada respon. Kemudian Kia mendekat ke arah telinga Kafa dan berbisik di sana.

"Iya ini Kia, gue di sini, Kaf." bisik Kia, dan saat itu juga Kafa berhenti memanggil namanya dan Kia merasakan tangannya ikut mengenggam tangan Kia juga meski tidak kencang, setidaknya Kafa merespon dan tahu kalau dirinya sekarang ada di sini, di samping Kafa.

Kia tersenyum getir, ada rasa sesak di dalam dadanya sekarang sebab dia merasa seperti dejavu berada di ruangan yang sama seperti saat ayah sakit dulu. Ada ketakutan yang sama juga seperti apa yang terjadi pada ayah, iya. Kia takut kehilangan Kafa.

"Dimana yang sakit, Kaf? Di sini, ya?" Kia bertanya sendiri sambil mengusap kepala Kafa yang diperban.

"Di sini juga?" lagi-lagi Kia kembali bertanya sendiri sambil kini beralih mengusap dada Kafa dengan sangat pelan sebab napas pria itu terlihat sesak.

"Ini juga, ya? Banyak yang sakit ya, Kaf?" kini dia beralih pada bahu kanan Kafa, sebab tangan pria itu sepertinya patah karena harus di gips.

Pandangan matanya tiba-tiba jadi buram sebab tanpa di sadari, airmatanya sudah menggenang di pelupuk matanya. Kia sedih melihat keadaan Kafa yang seperti ini. Kemudian, Kia melihat airmata Kafa jatuh di sudut mata pria itu, mungkin itu sebagai jawaban iya. Jawaban kalau benar seluruh tubuhnya terasa sakit sampai-sampai dia hanya bisa merespon ucapan Kia dengan menangis, dan tentu saja itu membuat Kia ikutan menangis, sudah tidak bisa lagi dia tahan airmatanya. Tapi, buru-buru dia hapus seolah dia takut Kafa melihatnya padahal mata pria itu sama sekali tak terbuka sejak tadi.

"Kenapa bisa kecelakaan sih, Kaf? Emangnya lo dari mana? Lo lagi kenapa pas kecelakaan itu? Ada masalah, ya? Kenapa ga cerita sama gue, sih?" Kia masih bicara sendiri, dia tahu Kafa pasti mendengarnya meski responnya hanya menangis atau gerakan jari tangannya yang pelan di genggaman Kia.

Gue abis nungguin elo, Ki. Batin Kafa.

"Kan kalau lo cerita, gue bisa tenangin lo seenggaknya dengan satu pelukan tapi kalau gue peluk lo dengan keadaan di badan lo banyak kabel gini gimana bisa, Kaf?" Kia masih berdialog sendiri.

"Nanti kalau udah sembuh aja kali ya, gue peluk yang lama ya." kali ini Kia berjanji sendiri, dan lagi-lagi dia melihat setitik airmata kembali jatuh di sudut mata pria itu.

Setelah mengucapkan itu Kia diam beberapa saat, hanya memandangi Kafa dari kepala hingga kaki. Bahkan di saat seperti ini, kedua orangtua Kafa sama sekali tidak ada. Lebih tepatnya tidak bisa datang dan melihat keadaan Kafa barang sedikit saja. Kemudian, dia mengambil ponsel dari tasnya dan membuka aplikasi Al-Qur'an di sana lalu mulai mengaji, membaca ayat-ayat suci itu. Dia, melakukan hal yang sama seperti apa yang ibu lakukan dulu saat menjaga ayah, meski lantunan ayat suci itu tak semerdu ibu, setidaknya mungkin ini bisa membuat Kafa jauh lebih tenang, terlihat dari genggaman tangan pria itu yang jadi sedikit lebih erat. Kia tersenyum melihat respon Kafa itu.

Heavy RainfallWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu