41. Kehangatan di Musim Dingin

3.4K 737 119
                                    


Sabtu, 24 Desember

Aku naik ke genteng rumah Nana. Duduk, memandang sekeliling, membiarkan pikiranku melantur. Libur akhir semester baru dimulai. Tidak ada kegiatan khusus yang harus kukerjakan. Hya pergi ke luar kota dengan orangtuanya, semalam menelepon untuk pamitan. Master Chen meliburkan kursus musik, tentu saja, karena besok Natal. Aku tidak merayakan Natal. Kenanganku tentang Desember melulu berisi musim dingin, salju ... dan ulang tahun.

Aku bohong kalau bilang tidak pernah memikirkan ulang tahunku. Paling tidak, aku mengingat 29 Desember sejak seminggu sebelum hingga seminggu sesudahnya. Bukan, bukan memikirkan yang berat-berat semacam, apa tujuan hidup di dunia dan sudah bermanfaatkah umurku sejauh ini. Paling yang kupikirkan praktis saja: adakah yang ingat, apakah mereka akan memberiku hadiah. Kekanakan? Biarin!

Perayaan ultahku bersama Mum dulu sering tidak tepat tanggalnya. Mundur hingga Januari tahun depannya, atau dua tahun berikutnya, alias kelewat. Sekarang, setelah tahu kondisi Mum, kukira aku bisa mengerti alasannya.

Bersama Dad dan Mama Olive, ulang tahunku dirayakan sesekali dengan "sangat sederhana," nyaris sambil lalu.

"Hei, son, besok kamu ultah. Aku transfer uang ke Nana. Belilah sendiri hadiahmu. Jangan boros."

"Wynter, kamu ke Jakarta ya akhir pekan ini. Mama sudah pesan meja di restoran untuk merayakan ultahmu."

Dengan Nana, perayaan ultahku menjadi rutinitas tahunan yang lebih berkesan. Nana mengajakku memasak makanan kesukaan, dan kami makan bersama sesudahnya.

Tahun ini, 29 Desember menjadi sangat istimewa karena kehadiran Wynn dengan tanggal lahir yang sama. Tapi 29 Desember menjadi berbeda juga karena kemudian Wynn pergi sebelum ultah kami tiba.

Sekarang, empat hari menjelang 29 Desember, aku sudah menerima, tidak ada yang namanya perayaan double 2912. Kembali seperti semula. Aku dan Nana.

Aku merebahkan diri. Memejamkan mata. Membiarkan kulitku terpapar sinar matahari pagi. Kehangatan yang sewaktu di London hanya bisa kurasakan di musim panas.

"Wynter! Kamu di atas? Turun sini! Kita perlu bicara."

"Jangan-jangan ketiduran lagi di genteng."

Suara Mama Olive dan Nana. Ditingkahi rengekan Asha dan Shea yang meminta Dad membantu mereka naik ke genteng. Seperti biasa, mereka datang begitu saja tanpa pemberitahuan. Mungkin sekadar mampir untuk pergi lagi ke tujuan utama. Aku pun turun.

Dad dan Mama Olive menunggu di ruang duduk. Nana mengajak Asha dan Shea pergi ke warung. Aku langsung waspada. Semester baru, apakah Dad ingat lagi niatnya memindahkan sekolahku ke Jakarta? Karena Wynn yang jadi alasanku tinggal di sini sudah tiada?

"Wynter ...." Mama Olive menepuk tempat duduk di sampingnya.

Dengan kaku, aku mendekat tapi memilih duduk di depan mereka.

Mama Olive menghela napas, sedih. Dad hendak menegurku tapi Mama Olive menahan tangannya. "Tidak apa-apa. Aku yang salah."

"Aku juga salah," kata Dad, merengkuh bahu istrinya.

"Oke, sebelum semua orang di dunia ini mengaku salah, dan enggak ada lagi yang ingat perbuatan yang benar, tolong bilang ada apa?" Aku tidak terbiasa berbasa-basi dengan mereka.

Dad menggeleng-geleng. "You enjoy giving us a hard time, don't you?"

"No." Aku merapatkan bibir. Mulai jengkel. Gampang sekali orangtua menuduh anak senang bikin susah, padahal mereka sendiri yang susah bikin anak senang.

"Sudah. Sudah." Mama Olive melerai. "Wynter, Collin menghubungi kami semalam. Ada berita bagus tentang ibumu –"

Aku melompat, pindah duduk ke dekatnya. Kenapa tidak bilang dari tadi, sih?

Write Me His Story (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang