_÷_

"Jika Brie dan Jessie bukan peneror itu, lalu siapa?" Alrian bertanya.

Mereka; Alrian, Reza, dan Kara. Sedang berkumpul dikolam berenang belakang villa tadi. Masalah teror ini harus diselesaikan karena peneror itu pastinya sangat licik tidak akan membuat Alrine tenang.

"Orang terdekat Alrine," Kara menyeletuk, "antara keluarga dan teman-temannya."

"Nggak mungkin, Kar." Alrian tidak setuju. Atas dasar mana Kara menuduh keluarganyalah yang meneror adiknya.

Kara menatap Alrian lekat-lekat, "pernah dengar, musuh yang paling licik adalah orang terdekat?"

_÷_

Alrine POV

Aku mengerjap-ngerjapkan kedua mataku. Kepalaku terasa sedikit pusing. Itulah rasanya saat kepribadianku berganti bangun denganku. Rasa lelah atas hal yang telah dilakukan mereka terasa jelas olehku.

"Kar?" Kak Ian menepuk pelan pipiku. Aku pun menepis tangannya.

Kara? Tumben sekali dia muncul.

"Gue Rin, kak." Kak Ian menghembus nafas lega. Ia mengacak rambutku pelan.

"Udah sampe, ayo turun." ajak kak Ian. Aku melihat keluar mobil, kami berada didalam hutan dan didepan mobilk ada sebuah gubuk kosong. Tak hanya itu, ada juga 3 orang berseragam polisi dengan pistol masing-masing di tangan mereka. Ada apa ini?

Kilasan ingatan menyerbu pikiranku,

"Kar, Ren hilang! Dan ini surat teror dari peneror itu lagi!" Kulihat raut wajah panik kak Ian. Dan aku membaca surat itu,

Selamatkan dia!

Tak hanya ada surat, ada juga foto-foto Ren dengan tangan yang di gantung menggunakan rantai. Wajahnya pucat, bibirnya membiru, ada memar di bawah matanya.

Siapa yang tega berbuat seperti itu? Ren bahkan tidak tahu apa-apa tentang teror itu.

Siapapun dia, tak akan pernah ku ampuni! Tidak akan!

_÷_

"Baiklah, kita berpencar, saya bersama kedua remaja ini, akan memasuki gubuk itu. Dan kalian masuk ke dalam hutan, sepertinya pelaku itu sudah kabur ke arah hutan." Arahan om Reza diangguki oleh aku, kak Ian, dan ketiga pria berseragam polisi yang merupakan anak buahnya.

Ketiga polisi itu bergerak masuk ke dalam hutan.

Brak

Kak Ian dan om Reza mendobrak pintu gubuk itu. Pintu itu ternyata dipaku dengan balok sehingga susah untuk dibuka ataupun didobrak oleh seorang saja.

Mataku melotot melihat seorang gadis terduduk sambil terikat, gadis itu adalah Sofie, sahabatku. Dia berteriak minta tolong namun mulutnya tertutup lakban.

Segera aku melepas ikatan dan lakban dimulutnya. Ia tiba-tiba memelukku erat, aku sedikit tergelak kebelakang.

"Gue takut, Rin." ucapnya bergetar di bahuku. Aku mengusap bahunya agar ia tenang.

"Udah lo tenang aja, ada gue disini," aku menenangkannya.

"JAUHIN DIA!!" Teriak seseorang dengan nada cempreng mirip suara Ren. Spontan aku menoleh ke samping.

Tiba-tiba kurasakan benda tajam menusuk bagian perut bawahku. Rasa perih itu sangat terasa. Kulihat darah mulai merembes di baju yang kukenakan.

Aku mendongakkan kepalaku kembali, aku melihat Sofie menyeringai didepanku. Aku menggeleng tak percaya. Bagaimana orang yang ku percaya selama ini menghianatiku?

Kak Ian dan om Reza menangkap Sofie yang ingin kabur.

Tubuhku merosot kebawah karena perih yang tak tertahankan diperutku.

"Rin, tetap sadar!" Ren menepuk perlahan pipiku. Wajahnya terlihat lemas. Ujung bibirnya mengeluarkan sedikit darah.

Amarah mulai menyulutiku. Jika dia melukaiku, aku dapat menerimanya. Karena dia pasti dendam padaku.

Tetapi dia telah melukai keluargaku yang tidak bersalah, aku tidak terima!

Dengan susah payah aku berdiri, aku mencabut pisau diperutku walaupun sangat perih namun kebencianku padanya lebih dari rasa sakit ini.

Aku berjalan maju ke arahnya dengan tatapan tajam, aku menggenggam erat pisau yang baru ku cabut tadi.

"Rin?" panggil Ren dari belakang. Kak Ian dan om Reza menatapku lekat-lekat.

Aku mengangkat ujung bibirku. Tatapanku tak lepas dari iris matanya.

Sofie tersenyum licik, uh, aku sangat muak dengan wajah munafiknya!

"Wah wah, sepertinya sang malaikat maut telah terbangun, benar, Sierra?" ia tertawa licik. Aku pun berdecih sinis.

Sebodoh inikah dia? Tahu segala tentangku darimananya? Stalker payah!

"Kau kira hanya Sierra yang bisa membunuh?" Seketika senyum licik diwajahnya luntur, sedangkan kedua laki-laki yang menahannya, terkejut.

Sofie, mantan sahabatku. Kau akan melihat sisi gelap dari Alrine yang sebenarnya!

Alrine (End)Where stories live. Discover now