3

6.6K 1.2K 202
                                    

Jennie dan Hanbin berjalan bersebelahan. Sesekali, satu-dua orang mencuri-curi pandang ke arah Hanbin dan beberapa menyapa Jennie.




'Dasar gatel.' batinnya.





"Kok diem aja sih lo, Jen? Sebelas tahun berlalu lo berubah ya ternyata. Gue kira lo masih cerewet kayak biasanya." ujar Hanbin sambil melempar senyum ke beberapa siswi yang melambaikan tangan ke arahnya.





'Ya jelas lah gue diem. Gue takut sama lo, bego.' batinnya lagi.




Jennie tertawa palsu, "Hahaha, masa sih, Bin? Perasaan gue masih sama-sama cerewet kayak dulu."




"Tapi sekarang lo malah dingin gitu ke gue." papar Hanbin.

Jennie menggeleng, "Perasaan lo doang kok, Bin. Gue enggak dingin, anget kok. Kalo gak percaya pegang aja tangan gue."

Hanbin terkekeh, "Masih sama aja ya lo ternyata. Gue kira udah beda."






Dddrt.

Jennie mengambil ponsel dari saku bajunya. Satu pesan masuk ternyata.


1 new message

[open] | [delete]

"Jen ada sms tuh. Gak lo buka? Barangkali dari nyokap lo." cetus Hanbin yang entah sejak kapan sudah merapat kepadanya.



Jennie memilih membuka. Benar juga sih, barangkali aja emang maminya yang sms.



unknown number

[call] | [more]

wrong, jennie.
i ain't kim hanbin.






"Itu siapa? Kok nyebut nama gue?" tanya Hanbin heran. Gimana gak heran, dia baru pindah dari Melbourne tiba-tiba namanya disebut dalam sms.

Jennie menatap Hanbin horor, "Terus kalo bukan lo, terus siapa?"




"Hah? Apaan? Kok gue? Gue aja baru balik ke sini dua hari yang lalu jir."



Dua hari yang lalu. Jennie buat vlog tiga hari yang lalu. Tidak mungkin Kim Hanbin. Dia dari Melbourne, gak mungkin dia tau Jennie lagi ngapain waktu dia bikin video vlog. Gak mungkin.

Jennie menggigit bibir bawahnya, "Gue mau cerita. Tapi gue gak yakin aman kalo gue cerita di sini."

Ddrt.

unknown number

[call] | [more]

gak ada tempat yang aman, jen.
the safest place for you is hell.














Jennie gemetar sendiri baca smsnya. Ya Tuhan. Berarti dia dimana-mana juga gak akan aman.





"Ke rumah gue aja, Jen. Menurut gue di rumah gue aman."




Jennie menimbang-nimbang sejenak. Kalau benar rumah Hanbin aman, mungkin ada baiknya dia menceritakan ini semua pada laki-laki yang sudah menjadi teman kecilnya itu.

Tapi itu kan sebelas tahun yang lalu. Hanbin mungkin aja udah berubah. Hanbin juga bisa dicurigaiㅡkarena suaranya yang hampir sama persis dengan orang yang diteleponnya waktu itu.

"Jen kenapa? Nggak percaya ya sama gue?"

Jennie buru-buru menggeleng. "Nggak, nggak gitu kok, Bin. Nggak tahu deh bisa apa enggak kalau pulang sekolah. Soalnya biasanya gue pulang bareng sama Joy, hehe."

Hanbin mengangguk-angguk. "Gitu, ya? Ya udah kabarin aja, oke? Lo punya nomor hape gue gak?"

Jennie menggeleng.

"Sini," Hanbin menengadahkan tangan tepat di depannya, meminta ponselnya, "mau gue masukin nomor gue. Jadi kalau ada apa-apa lo kan bisa hubungin gue."

Jennie memberikan hapenya pada laki-laki itu. Meski hatinya sendiri ragu. Haruskah dia percaya dengan laki-laki ini?

Kedua jempol Hanbin terlihat sibuk menekan beberapa angka.

"Nih," Hanbin mengembalikan ponselnya, "kalau ada apa-apa tinggal telfon aja. Anggep aja gue one call away atau kalau kayak di film luar negeri gue layanan darurat 911." kata Hanbin sambil tertawa.

Jennie tertawa hambar, belum sepenuhnya percaya dengan laki-laki ini.






Dan mereka tak menyadari, bahwa ada seseorang yang mengamati mereka dari kejauhan.








"There's no way out,















Jennie Kim."
























3 AM CHALLENGE / JENNIE ✔Where stories live. Discover now