"Makanya gue pengen ngajak jalan, biar itu anak tahu siapa Drian. Kali aja gue jadi ngerti isi otak dia yang sebenernya itu kayak gimana. Biar ketahuan normal apa enggaknya juga."

Bia mengangguk sambil terkekeh-kekeh karena Yuna jarang berkata semacam itu. Panjang, pula. "Tapi kayaknya normal, Na. Soalnya gue pernah nemu kontak namanya Kak Al di hapenya, pas gue ke rumah dia. Gue curiga Rara ada hubungan sama itu orang. Tapi Al siapa, gue juga nggak tahu. Tiap mau nanyain juga lupa mulu."

"Al-Ghazali, mungkin? Atau Aliando?" Ikha menambahi, geli.

"Nggak mungkin, Kha." Bia tertawa. "Bisa geger seantero Indonesia, kalau mereka berdua deket sama Rara."

"Atau jangan-jangan Aldrian Setya Ramadhan?" Kali ini Yuna ikut menebak.

"Kapan, ketemunya? Besok? Kalaupun pernah ketemu, mereka ketemu di mana? Orang jalan dari SMA Semesta sama rumah Rara aja, setahu gue beda jalur. Bisa aja sih ketemu di mana gitu, kalau Rara hobi jalan-jalan. Tapi kan dia jarang ke mana-mana."

"Iya juga, sih. Kok makin lama Rara makin aneh ya, Bi? Haha."

"Kalau nggak aneh, nggak mungkinlah dia minum jus pare sama roti basi sampai pingsan? Biarpun dapet bonus digendong Kak Nando, tapi kan tetep aja kelakuan dia itu konyol. Sampai bikin yang lain pada mau ikut pingsan."

Hal itu disetujui oleh Yuna. Akan tetapi, meski terasa konyol, kejadian lebih dari setahun lalu termaksud adalah sebuah tindakan heroik. Karena Rara telah menyelamatkan tiga korban lain dari hukuman yang memihak tersebut, agar tak jatuh lebih banyak korban.

Menurutnya, seandainya hukuman tak memilah dan memilih berdasarkan fisik peserta dan keakraban antara panitia dan peserta MOS, tak akan ada kenekatan semacam itu, meski hukuman tersebut sama sekali tak merugikan Rara. Inilah yang membuatnya salut, meski titel aneh tetap tersemat untuk satu sahabatnya itu.

Bia tersenyum geli. "Tapi seaneh-anehnya dia, kenapa ya, kalau cerita ke dia enak aja rasanya? Biarpun kalau ngasih saran juga jarang bener, rasanya plong banget pas udah cerita ke dia. Heran, gue."

Yuna mengangguk membenarkan, lalu menambahkan, "Kalau diinget-inget emang konyol, sih. Jangan-jangan kita ketularan dia, Bi?"

Yuna dan Bia sama-sama tertawa.

"Tapi sekonyol-konyolnya Rara, dia tetep keren. Udah kayak tokoh novel yang pernah gue baca," tambah Ikha, setelah meletakkan gelas es teh yang baru saja ia seruput isinya.

"Novel mulu," cibir Yuna geli.

"Kapan sih, Ikha nggak ngomongin novel? Nggak lihat, ini anak mukanya udah mirip banget sama lembaran-lembaran novel? Nggak Ikha, nggak Kina, nggak Tiar. Tiap hari ngomongin noveeel, mulu. Kalau digabungin, klop banget, tuh!" kekeh Bia.

"Haha, tadi kita ngomongin apa ya, jadi ngelantur ngomongin Rara sama novel-novel yang nggak berdosa itu?"

"Ya udah, mending bayar makanan aja, daripada ngurangin dosanya Rara. Terus langsung ke kelas." Ikha mengingatkan keduanya, saat menyadari bahwa sebentar lagi jam istirahat akan usai. "Gue nitip sekalian, Bi, kalau mau bayar."

Bia membayar makanan, setelah menerima uang titipan dari kedua sahabatnya. Lalu ia berbalik menuju pintu kantin, di mana Yuna dan Ikha menunggu. Serta mendapati kedua sahabatnya itu tengah membicarakan perihal pencalonan kapten bola voli generasi berikutnya, di mana nama Rara dan Yuna diikutsertakan.

Ketiganya berada tepat di belakang guru bahasa Inggris. Langkah mereka begitu pelan, bahkan mengendap agar tak ketahuan. Namun, guru muda itu berbalik, mendapati ketiganya sedang menyengir di depan pintu, lalu geleng-geleng.

"Kalian ini, kebiasaan!"

Hanya seperti itu yang dikatakan Miss Indana, namun sudah membuat ketiganya berlari menuju meja masing-masing, disertai dua jari mereka yang membentuk huruf V. Juga Miss Indana yang melangkah ke meja guru berada dengan mantap.

"Ini Rara belum masuk?" tanyanya heran.

"Rara izin pulang, Miss." Salah satu murid menjawab.

Tampak Miss Indana menghela napas lega. "Lumayan, nggak bakal ada yang bikin keributan," gumamnya. Lalu menatap para murid yang tengah menunggu kelanjutan pernyataannya. "Tema hari ini pidato. Dan saya ingin, minggu depan kalian berpidato di depan kelas. Harus hafalan! Nanti akan ada contoh teksnya. Kalian juga harus membuat teks yang akan dipidatokan, dalam bahasa Inggris!"

Miss Indana sengaja memberi penekanan pada setiap suku kata "bahasa Inggris". Karena jika hal itu tidak dilakukan, maka para muridnya akan bertanya dengan bodohnya mengenai bahasa apa yang harus digunakan, seperti yang sudah-sudah.

"Mengerti?" tambahnya bertanya.

"Iya, Miss."

"Seperti biasa, nanti biar Rara yang menerjemahkan contoh soalnya."

"Rara-nya kan nggak ada, Miss." Yuna mengingatkan.

"Ya sudah. Aya, tolong catatkan contohnya di papan tulis, ya?" pinta Miss Indana kepada Aya, selaku sekretaris kelas.

Aya mengangguk, lalu menuju sekitar papan tulis, selepas mengambil buku dari tangan guru bahasa Inggris tersebut.

"Permisi." Suara seseorang menginterupsi, membuka pintu yang sedari tadi tak tertutup rapat.

Seketika beberapa pasang mata cewek berbinar, mendapati sesosok cowok bertubuh tinggi, kian memesona dengan senyumnya. Yang lainnya tetap serius mencatat.

"Ini, Miss. Saya mau ...." Nando celingukan di tempat, seolah mencari sesuatu di dalam kelas.

Miss Indana mendekat. "Iya?"

Cowok itu sepertinya tak menyadari pertanyaan yang ditujukan untuknya. Ia masih celingukan, tak pula menyahut. Lalu menyadari bahwa ia datang di saat yang tak tepat.

"Ada keperluan apa?" tanya Miss Indana kembali.

Nando tersentak. "E, ini. Anu." Cowok itu tampak bingung hendak menjawab apa. Membuat beberapa cewek yang memperhatikannya jadi semakin gemas. "Duh, saya lupa. Nanti saya ke sini lagi deh, kalau udah inget."

Dahi Miss Indana mengernyit. Lalu mengangguk mempersilakan, selepas tamu tak diundangnya itu pamit serta meminta maaf karena telah mengganggu. Menyisakan tatapan bingung serta gelengan pelan untuk siswa yang kian menjauh tersebut. Lalu berkeliling ruangan, mengamati para siswa yang sedang mengerjakan tugas darinya.

"Jangan lupa, teksnya dalam bahasa Inggris!" Miss Indana mengingatkan dengan tajam.

***

Garis InteraksiWhere stories live. Discover now