Tanpa membuang lebih banyak waktu, ia mencari kontak bernama "Bedak Bayi", dan menghubunginya. Setahunya, jam segini Rara biasanya sudah selesai berlatih bola voli.

Jadi, kemungkinan besar cewek itu sudah memegang telepon seluler yang tak pernah dibawa kala ke sekolah tersebut. Terbukti, tak butuh waktu lama untuk mendengar suara cewek itu mengucapkan salam dan sedikit berbasa-basi.

"Capeknya pasti langsung ilang, pas denger suara gue," tebak Drian percaya diri, lalu dibalas cibiran dari seseorang di seberang. "Nggak apa-apa. Cuma kangen. Sekalian ngingetin, Sabtu belajar bareng kayak biasa."

Cewek itu mengiyakan ucapannya, sebelum akhirnya sambungan telepon benar-benar terputus.

Begitulah, sekarang. Rara telah jinak, sesuai bagaimana ia memperlakukan cewek itu. Juga jauh lebih manis. Tak seketus saat awal-awal mereka 'jadian'. Menampilkan sisi yang sebenarnya, meski tetap sering mencibir hal-hal yang sekiranya berlebihan. Lebih perhatian pula, walaupun kadang-kadang.

Sering mengingatkannya untuk menjaga pola makan. Membangunkannya setiap pagi, melalui telepon. Bahkan, saat ia merasa sudah bangun amat pagi, Rara bisa bangun lebih awal. Ini, yang masih menjadi misteri. Dan ia yakin, jam segitu pacarnya bukan hanya sekadar minum.

"Emangnya sering salat sunah malam, Ra? Kok jam tiga udah bangun?" tanya Drian heran, melampiaskan rasa penasaran yang sudah ia tahan sejak jauh-jauh hari.

Jika jawabannya memang iya, cowok itu akan mengikuti jejak sang pacar. Melaksanakan niat yang sampai saat ini belum terealisasikan tersebut.

"Yang pasti, gue bangun jam segitu buat buka Wattpad, sih. Setelahnya mau ngapain, ya belum tentu."

"Wattpad apaan?"

"Itu lho, yang kata orang 'komunitas pembaca dan penulis online terbesar di dunia'. Masa, nggak tahu?"

Masa bodoh dengan Wattpad! Drian tak ingin terkecoh oleh jawaban tersebut. "Jadi, bangun jam segitu cuma buat itu? Bukan buat salat malam?"

"Suka-suka gue, dong. Kan yang harusnya salat sunah malam itu Kak Al, yang udah kelas tiga."

Drian tersentak. Tersindir secara tak langsung akan kejujuran yang baru saja ia dapati. Seolah ia mendekatkan diri kepada Tuhan hanya saat ada maunya saja. "Terus Rara mau bangunin gue doang, kalau gue mau mulai salat sunah malam?"

"Iya gitu, deh. Kan lumayan, gue udah dapet pahala karena bangunin Kakak. Gue kan bisa nitip doa, kalau Kakak ketemu Allah lewat salat tahajud. Kalau gue salat tahajud juga, pahala gue berlipat-lipat, dong? Gue kan mau bagi-bagi pahala buat orang lain juga." Rara menampilkan cengiran andalannya. "Sombong banget, kan, gue?"

Sombong saja bangga! Bangga saja tak sombong.

Drian geleng-geleng. Kekagumannya pun buyar seketika. Ia sebenarnya berharap bahwa jawaban gadis itu tak seperti yang baru saja ia dengar, meski pencitraan semata. Hal yang akan semakin menambah kadar kekagumannya.

Namun, ia harus ingat satu hal ini: Rara itu terlalu jujur. Memaksanya mengalihkan perhatian, daripada senewen apabila obrolan tetap berlanjut.

Hening mendominasi kegiatan belajar keduanya di tengah suasana taman rumah Drian yang memang tak kalah sunyi. Rara kini fokus mengerjakan soal hitung-hitungan. Sementara Drian, fokus mengerjakan soal-soal ilmu pengetahuan sosial. Sesekali cowok itu melirik Rara yang sering menampakkan wajah frustrasi, yang justru menjadi hiburan tersendiri baginya.

Cewek di sebelahnya ini memang benar-benar telah jinak --bahkan terlalu mudah jinak-- selama ia tak salah langkah dalam bertindak. Pun selama ia tak mengungkit status mereka, maupun bersikap berlebihan.

Garis InteraksiDonde viven las historias. Descúbrelo ahora