BDP-17

6K 591 20
                                    

"Kita sendiri-sendiri aja dulu!"

Kata-kata itu terus terngiang di telinga Ali. Seperti kaset rusak yang sangat tak enak di dengar. Hidupnya kembali hampa. Hati dan pikiranya penuh oleh satu nama tapi semua terasa sepi karena gadis tercintanya tak lagi hangat padanya. Datar dan dingin, sama seperti pertama kali bertemu.

Ali memijat pelipisnya yang terasa sangat pening. Menghembuskan nafasnya dengan kasar kemudian menyandarkan punggung di kursi kebesaranya sambil memejamkan mata.

"Selamat pagi Pak, maaf saya terlambat, tadi ban mobil saya bocor,"

Ali tersentak kemudian menegakkan tubuhnya seraya membuka mata. Seketika matanya membulat saat melihat gadis yang sedaritadi mengganggu fikirannya kini ada di hadapannya.

Sementara Prilly juga merasa kaget, tadinya ia berfikir Ali belum datang. Semalaman berfikir sikap seperti apa yang akan ia tunjukkan pada Ali. Hubungannya sangat memburuk. Tidak putus tidak juga lanjut. Prilly memutuskan untuk mengakhiri tapi Ali tetap ingin melanjutkan. Prilly lelah sementara Ali merasa sangat bersalah. Tak tau status mereka seperti apa sekarang. Menggantung setelah semalam Ali pergi dari rumah Prilly tanpa mau mengakhiri semuanya.

"Prilly..." Ali memanggil nama gadisnya itu sangat lirih.

"Apa Bapak mau di buatkan teh?" Prilly menawarkan teh seperti biasa meski di hatinya menahan perih karena harus berpura-pura tersenyum seolah tak terjadi apa-apa. Professional. Prilly menguatkan hatinya. Pekerjaan dan masalahnya saat ini tak ada kaitannya.

Ali menggeleng. Hatinya sakit melihat senyum Prilly, apalagi gadis itu bersikap sangat formal.

Prilly mengangguk sopan kemudian duduk di kursinya yang masih berada di dalam ruangan Ali. Ia mulai fokus menatap jadwal bos-nya itu.

"Jadwal hari ini apa saja Prill?"

"Nanti siang ada pertemuan dengan PT. Jaya Utama di Caffe Mentari untuk membicarakan kelanjutan kerja sama dengan mereka, lalu jam tiga ada meeting para pemilik saham Pak." Prilly mendongak dan langsung menatap mata teduh Ali yang sedang menatapnya dalam. Seketika matanya memanas melihat tatapan yang sangat ia rindukan itu. Tatapan yang selalu membuatnya luluh. Sesaat kemudian Prilly menggeleng dan langsung mengalihkan pandangannya. Kali ini ia tak boleh luluh. Sudah cukup memberi kesempatan tapi Ali malah menyia-nyiakan.

Hening!
Tak ada candaan, tak ada rengekan. Tak semangat meski penyemangat kini ada di hadapannya, tapi sikap dan tatapannya berubah, tak lagi membuatnya semangat.

Sementara Prilly juga merasa kosong, tak ada yang menjaili lagi. Sedaritadi hanya menyibukkan diri padahal hanya membolak-balikkan jadwal Ali yang sudah ia hafal di luar kepala.

"Eh," Prilly tersentak saat merasakan sentuhan di kepalanya. Ia mendongak dan menatap Ali yang entah sejak kapan berdiri di samping meja kerjanya.

"Ada yang bisa saya bantu Pak?" Prilly langsung berdiri ketika tangan Ali turun mengusap pipinya. Ia menunduk menghindari tatapan Ali. Tak terduga Ali malah memeluknya erat, kata maaf terus keluar dari bibirnya.

"Maaf Pak..." Prilly melepaskan pelukannya dan merapikan rambutnya yang sedikit berantakan.

"Aku mohon jangan begini sayang," Ali menggenggam tangan Prilly, menatapnya penuh harap. Namun Prilly hanya terdiam dan langsung melepaskan genggaman tangan Ali.

"Aku..."

"Saya permisi ke toilet," Dengan tergesa Prilly berlari keluar meninggalkan Ali yang menatapnya nanar. Sesampainya di toilet, Prilly menumpahkan air mata yang sejak tadi ia tahan. Melihat tatapannya, terlihat ada luka di sana. Ia pun sama terlukanya saat di bohongi. Ucapan lirihnya terdengar sangat menyayat hati, tapi kekecewaan membuat dirinya tak ingin lagi bertahan. Takut jika memaafkan, Ali semakin menyepelekan.

Bangkit Dan Percaya (END)Where stories live. Discover now