BDP-15

6.5K 564 26
                                    

Secangkir Cappucino panas cukup menghangatkan tubuh Prilly di pagi hari yang sangat dingin karena rintik hujan mulai turun membasahi bumi. Duduk di balkon kamarnya dengan mata terfokus pada kanvas yang terjepit di Easel di hadapannya. Tangannya pun dengan lincah berpindah dari Palet yang sudah berisi cat air ke Kanvas yang hampir sempurna lukisannya.

Prilly meletakkan kuas di atas Palet setelah lukisannya selesai. Dia tersenyum menatap hasil lukisannya namun seketika wajahnya berubah sendu saat bayangan wajah Ricko berkelebat di fikirannya. Bukan tak bisa melupakan, tapi memang tak ingin melupakan. Bukan juga tak menghargai Ali yang kini bersamanya, tapi Prilly juga tak bisa menghilangkan Ricko dalam hidupnya. Bukankah Prilly pernah mengatakan bahwa tak ada yang mengganti atau terganti? Lagipula Ali tak mungkin cemburu pada yang sudah tak ada.

"Cintaan sama aku atau sama dia?"

Memasuki bulan ke lima hubungan mereka, Ali pernah bertanya seperti itu. Sontak pertanyaan Ali itu membuat Prilly merasa bahwa Ali masih meragukan cintanya yang mungkin di anggap hanya pelarian. Dan pada bulan ke enam lah Prilly membuktikan bahwa ia benar-benar mencintai Ali dengan membawa pria itu ke Galery yang Ricko bangun. Dan kini Ali sadar tak mungkin cemburu pada yang tak ada, ia juga dapat memaklumi kalau Ricko tak dapat sepenuhnya hilang dari hati Prilly.

Prilly mendongak menatap langit mendung.

"Suatu saat bukan wajah aku lagi yang kamu lukis." Ricko merebahkan kepalanya di paha Prilly yang baru saja selesai melukis wajahnya. Prilly mengerutkan dahinya heran.

"Kenapa begitu?" Tanya Prilly sambil mengusap lembut rambut Ricko. Ricko tersenyum dan menggeleng. Ia meraih tangan Prilly yang masih mengusap rambutnya kemudian menempelkan di pipi kirinya.

"Aku cinta kamu. Berharap kamu selalu bahagia dengan atau tanpa aku..."

Prilly semakin mengerutkan dahinya mendengar ucapan Ricko yang kini memejamkan mata.

"Aku bahagia sama kamu..." Ucap Prilly tulus membuat Ricko tersenyum.

"Kamu tau ngga kenapa aku selalu ngga mau berjanji untuk ngga nyakitin kamu?" Ricko membuka matanya menatap mata hazel Prilly yang kini menunduk. Tatapan itu... kenapa rasanya ada yang berbeda? Prilly menggeleng pelan.

"Karena aku takut suatu saat akan bikin kamu nangis. Tapi kamu harus tau, kalau nanti kamu nangis karena aku pasti itu ngga di sengaja...!" Ricko mengusap lembut pipi Prilly yang tiba-tiba menatapnya sendu.

Tak menyangka ucapan Ricko waktu itu ternyata seperti memberi tanda bahwa pria itu akan pergi. Bahkan Prilly tak menyadari itu karena membayangkan kehilangan Ricko saja tak pernah. Yang Prilly bayangkan hanya yang bahagia-bahagia. Seperti menikah dan mempunyai anak. Prilly sadar bahwa ia sudah sangat jauh mendahului takdir yang ternyata tak berpihak padanya dan Ricko.

Kini Prilly menyerahkan kisah cintanya bersama Ali pada yang Maha Kuasa. Restu orang tua sudah di dapat saat minggu lalu Ali dan Prilly berkunjung ke rumah orang tua Prilly dan mereka sangat bersyukur karena yang Maha Kuasa tak mempersulitnya. Kebetulan juga papanya Prilly dan papanya Ali adalah teman semasa SD.

"Semoga ini semua jalan yang sudah di tentukan Allah ya sayang...!"

Prilly berdoa setelah mendapat restu dari dua keluarga inti dan Ali langsung mengamininya.

"Neng Prilly, ada Den Ali..." Bik Imah sedikit berteriak sambil mengetuk pintu membuat Prilly tersadar dari lamunannya tentang Ricko dan kunjungan ke orang tuanya.

"Iya Bik, sebentar...!" Prilly balas berteriak. Ia melirik jam di dinding kamarnya.

"Masih jam 10, tumben udah ke sini. Biasanya kalau weekend jam 12 baru bangun..." Prilly menggumam sambil membereskan bahan-bahan melukisnya. Setelah selesai, dia langsung keluar dan berlari menuruni anak tangga.

Bangkit Dan Percaya (END)Where stories live. Discover now