-Zwei : Impromptu-

1.1K 174 28
                                    

[Name] menghela napasnya lelah. Untung tadi diperjalanan tak berpapasan dengan Gilbert, sang ketua Osis nakal yang kemarin menjahilinya dengan seember air.

Map kemarinnya basah, kertas di dalamnya belum kering. Nanti saja kalau sudah kering aku datang kembali ke Senior Gilbert. Batin [Name]. Ia segera menarik kursi dan mendudukinya. Pelajaran pertama bahasa Inggris, [Name] pun mengeluarkan buku paket dari dalam tas dan membacanya dengan sesekali membenarkan letak kacamata. Hitung-hitung belajar menunggu bel masuk kelas berdering.

Tanpa [Name] sadari ada yang mengamatinya di balik pintu kelas.

Ohh, orang kemarin yang kena emberku itu temen sekelasnya Ludwig? Ehh, mudah, nih. Batin si orang yang mengamati [Name] sambil tersenyum masam, sukar diartikan.

.
.
.

[Senior]

.
.
.

Jika saat bel berdering, semua murid di kelas pasti akan berbondong-bondong ke kantin, bagai narapidana yang lepas dari jeruji besi. Namun, tidak dengan [Name]. Ia membereskan mejanya yang bertumpukan buku, hingga hanya ada dua buku dan kotak pensil yang tersisa di sana. Ia menolak ajakan Emma ke kantin dengan begitu gugup. [Name] tak begitu suka keramaian, ia takut memulai interaksi. Setelah membereskan meja, gadis berkacamata frame hitam itupun mengambil sejumlah buku dari tas dan meraih kartu perpus juga. Ini dia ... Ia akan mengembalikan buku, bahkan tak jarang kembali ke kelas dengan sejumlah buku. [Name] pun beranjak dan pergi.

"Ludwig~" Di lain tempat, lelaki manis dengan tingkah laku konyol yang duduk di belakang [Name] segera menghampiri temannya di bangku seberang.

"Hm?" Ludwig, menengok.

"[Name] itu rajin sekali ya, ve."

Ludwig menghela napas. "Harusnya kau belajar dari [Last Name]. Dia rajin, tak sepertimu."

"Ehehe. Gitu, ya?" Si teman Ludwig malah tertawa, ia pikir ini pujian.

"Oiii! Ludwig!" Di tengah obrolan Ludwig dan temannya yang menyangkut paut dengan sikap pendiam [Name], tiba-tiba hadir teriakan panggilan dari arah pintu kelas.

Refleks Ludwig dan temannya menengok ke sumber suara.

"Kakak?" Gilbert pun berpamitan pada temannya—Feliciano—dan bergegas mendekati kakaknya di ambang pintu.

"Ada apa, Kak? Tumben sekali ke sini." Ludwig telah sampai di ambang pintu.

"Kau kenal gadis dengan ... rambut panjang, kacamata ...." Kakak Ludwig—Gilbert—bingung sendiri. Apa lagi ya ciri-ciri khusus gadis kemarin?

"Ah, itu [Last Name]." Ludwig langsung menjawab.

"Eh? Hebat, Ludwig! Kau langsung tahu maksud pertanyaan kakakmu ini!" Gilbert merasa bangga pada adiknya.

"Itu karena di kelas ini tak ada yang memakai kacamata selain dia."

"Nama depannya apa?" Gilbert bersemangat.

"Untuk apa?" Ludwig mulai curiga.

"Ayolah~ untuk data di Osis, kesesese." Gilbert berbohong.

Dan Ludwig tahu itu. Ia mencoba mengalihkan pandangan dengan memainkan manik biru mudanya menyusuri pemandangan di luar kelas. Hm? Ada gadis yang mendekat.

"Itu dia, Kak. [Last Name]." Ludwig menunjuk pada gadis yang menunduk dan memerhatikan kartu perpusnya.

"Ah, iya itu gadis kemarin!" Gilbert berbalik dan segera berteriak.

[Name] yang terfokus pada pikirannya tersentak dan sangat kaget dengan ketua Osis yang tiba-tiba lari kecil ke arahnya. Ingatan [Name] saat melihat senyum lebar ketos itu, ia langsung mengingat hari kemarin yang memalukan disiram air. [Name] dengan takut berbalik dan berlari kencang.

"Woooii! Jangan lariii!" Gilbert tampaknya mengejar.

[Name] berlari terus hingga tak tahu ada dua orang yang berbelok ke arahnya. Alhasil, [Name] menabrak salah satu dari kedua orang tersebut dan terpental ke belakang. [Name] jatuh tapi bersandar pada seseorang yang ikut terjatuh pula.

"Aduh. Kau ini. Jatuh sendiri, dong! Jangan bawa aku yang keren ini, dong!" Gilbert menggerutu hebat karena dadanya kini disandari oleh [Name].

Kedua pipi [Name] langsung memerah. Ia menjauhkan kepalanya dari dada Gilbert. Masih dalam posisi terduduk, [Name] mencoba mengatur pernapasannya.

"Eh ... Kau rupanya, Gilbert. Lagi-lagi bikin masalah." Suara gadis terdengar. [Name] dan Gilbert sama-sama mendongkakkan kepalanya. Menatap gadis berambut cokelat muda panjang yang berwajah setengah kesal. [Name] langsung takut saat menyadari bordiran nama di baju gadis itu, Elizabeth. Kapten judo wanita di sekolah.

"Eh, kau, Elizabeth. Dan ...." Gilbert menangkap satu lelaki yang berdiri di samping Elizabeth, lelaki dengan kacamata dan tahi lalat di dagu. Gilbert langsung tersenyum jahil.

"Ada apa sih, Elizabeth? Mengganggu waktuku kejar-kejaran sama my girlfriend." Gilbert tiba-tiba berujar manja dan memeluk [Name] dari belakang. Alamak! Betapa kagetnya [Name].

"Hah?!" Elizabeth langsung menumpahkan semua ekspresi kekesalannya.

"Kita berdua friends zone dulu, sih. Benar begitu, Roderich?" Gilbert agak berteriak. Roderich hanya memandang bingung Gilbert.

"Gilbeeeeeeeert!" Pipi Elizabeth memerah, ia langsung meraih kerah Gilbert dan ... sisanya bayangkan sendiri, karena Gilbert berakhir sujud di dekat pohon dengan lebam di pipi.

[Name]? Saat aksi serangan Elizabeth ia langsung berlari menjauhi tempat keberadaan Gilbert.

"Geh. Sakit. Memang mereka berdua friend zone, 'kan?" Gilbert bangkit duduk dan memegangi pipi lebamnya. Hingga ia menyadari sesuatu dan memutarkan badan melihat ke sekeliling. "Aduh! Si [Last Name] nya kabur, 'kan. Aku butuh laporan dimap itu, cih." Gilbert mau tak mau harus kembali ke kelasnya, karena waktu istirahat telah usai.

.
.
.
.
.
.
.
.

Fortsetzung...

My Senior (Gilbert) (Hetalia)Where stories live. Discover now