Recall (Bagian 6)

123 27 6
                                    

Sepasang kelopakku tak bergerak, mata ini terpaku menatap sesosok gadis yang menari-nari di pinggir pantai.

Gadis itu terus berjalan menuju bibir pantai, sepertinya ia menunggu seseorang, kekasihnya mungkin.

Kedua kaki telanjangnya bergerak tak beraturan, menciptakan cipratan-cipratan kecil hingga membuat bagian bawah gaunnya basah. Gadis itu masih sendiri, sesekali matanya menatap kearah matahari yang mulai pergi. Tak jarang pula tubuhnya meloncat sembari melambai, mengukur jarak antara dirinya dan garis cakrawala di atas sana.

Pemandangan itu laksana mineral di tengah gurun sahara, menyejukkan siapa saja yang menatapnya. Tapi tidak untukku, bagiku pemandangan itu seperti gunung. Indah hanya bila dilihat dari kejauhan saja, sedangkan dari dekat banyak batuan dan jalanan terjal yang menghalangi jalanan. Coba dekati dan perhatikan gadis itu lekat-lekat, tak ada sorot kebahagiaan di sana, yang ada hanyalah kesendirian dan gambaran kesepian.

"Aku ingin tahu apa yang dia rasakan," gumamku tanpa sadar membuat Dae Ahn, Mr.Phusua dan asistennya menatapku penuh tanya.

Mr.Phusua berniat membuka mulutnya, namun urung karena Dae Ahn menyelannya. "Direktur sangat senang bisa bertemu dengan anda secara langsung, ini merupakan suatu kehormatan bagi beliau. Bagaimana dengan anda, apa yang anda rasakan?"

Asisten Mr.Phusua membisikkan kalimat yang Dae Ahn ucapkan dalam bahasa Thailand, membuat pria setengah baya itu tersenyum lebar. "Satu kehormatan juga untukku," balas pria tua itu menggunakan bahasa Korea yang jauh dari kata pasih.

Dae Ahn dan asisten Mr.Phusua tertawa kecil sebagai penghormatan.

Mataku tiba-tiba saja berkabut ketika melihat gadis itu terus berjalan menuju tengah lautan. Ingin rasanya berlari dan berteriak bahwa itu bukan keputusan yang tepat. Namun aku bukan siapa-siapa, yang ada dia akan menganggapku gila karena mengintrupsi kesenangannya.

Jika dilihat dari kejauhan tubuh gadis itu sangat mirip dengan Jiyeon, apa mungkin itu gadisku? tanyaku melantur.

Ah, mungkin ini hanya perasaanku saja karena terlalu larut dalam duniaku sendiri, hingga aku melupakan Mr.Phusua yang sedari tadi berbicara panjang kali lebar.

"Saya setuju dengan ide anda, mari kita mulai kerjasama ini," sahut Mr.Phusua menepuk-nepuk bahuku pelan, bahkan aku tidak sadar kapan pria setengah baya ini berdiri dari posisi duduknya.

Aku pun tersenyum menanggapinya. "Terima kasih," balasku ringan.

Beliau ikut tersenyum sebelum mengeluarkan selembar map dari dalam tasnya. " Ini kontrak kita, baca dan pahamilah sebelum kau menandatanganinya. Kau bisa mengembalikannya lusa sebelum aku kembali ke Thailand."

Aku membungkukan tubuhku sebelum beliau pergi. "Selamat, presdir pasti sangat bangga anda mendapatkan proyek besar ini," sahut Dae Ahn membereskan map-map yang berserakan di atas meja.

"Aku harap begitu," balasku pelan. Kakiku melangkah menuju jendela besar yang menghubungkan dengan pantai.

Mataku kembali bergerak ke sana kemari mencari sosok gadis yang kulihat tadi. Sayangnya mataku tak menemukan surai coklat yang berkibar tertiup angin pantai.

"Apa yang anda cari?" tanya Dae Ahn yang kini berdiri di sampingku.

"Gadis tadi ...."

Dae Ahn tersenyum, "Dia sudah pergi beberapa menit yang lalu."

"Kau melihatnya?" balasku tak percaya.

"Anda terus memperhatikannya, saya pikir anda tertarik padanya."

Aku mendesah kesal, kutatap Dae Ahn tajam. "Kenapa kau tidak mengatakannya saat dia pergi?"

"Karena dia bukan Jiyeon."

"Bila dia Jiyeon, apa kau akan menahannya untukku?" tanyaku geram.

Dae Ahn mendekat, tangannya menepuk bahuku pelan. "Bila itu bisa membuatmu senang."

"Nunna ...."

Dae Ahn menunduk, raut wajahnya terlihat sangat menyedihkan. "Setelah Jiyeon pergi kau berubah menjadi monster."

"Maafkan aku," sesalku ikut menunduk.

"Kembalilah jadi Chanyeol yang kukenal," pinta Dae Ahn seraya menarik tanganku agar bertautan dengan jari kecilnya. Melihat jari-jari kecil yang dihiasi berbagai macam warna mengingatkanku pada Jiyeon. Dulu saat dia masih berada di sampingku, gadis itu selalu memintaku membantunya mengganti cat kuku.

"Aku tidak bisa, karena semua sudah berubah," balasku menarik tanganku dari dalam gengamannya.

Dae Ahn tersenyum miris, "Setidaknya bersikap lebih manislah padaku, berhenti membentakku. Aku bahkan meninggalkan butikku karena tak ada seorang gadis pun yang tahan dengan bentakkanmu itu."

"Nunna aku ini atasanmu, sebagai bawahan turuti saja apa kemauanku," debatku tak ingin kalah. "Lagipula aku tak memintamu menjadi sekretarisku bila ingin pergi, pergi saja lanjutkan butikmu dan jangan pedulikan aku."

Dae Ahn terkekeh, "Itu mauku, tapi ayahmu memintaku agar tetap menjagamu. Lagipula bila aku pergi siapa yang akan menjadi sekretarismu?"

"Aku akan mencari gadis yang lebih cantik darimu," jawabku seraya pergi meninggalkannya sendiri di ruang pertemuan. Samar-samar kudengar ia mengumpat pelan sambil terus berjalan mengikuti langkahku yang sengaja kubuat lebar.

***

"Kapan kita pulang?" tanyaku di sela-sela makan siang.

"Tiga hari dari sekarang," jawab Dae Ahn tenang menyuapkan abalon kedalam mulutnya.

"Apa tak bisa dipercepat?"

Dae Ahn menggeleng. "Kita harus mengantar Mr.Phusua ke bandara saat beliau pulang ke Thailand."

Selera makanku jadi hilang, tiga hari lagi aku akan menetap di pulau indah ini. "Kau berniat balas dendam?" tanyaku kesal.

Dae Ahn masih tetap tenang, sesekali ia memasukkan abalon kedalam mulutnya penuh semangat. "Ayahmu yang meminta, apa kau tidak bisa memberiku kebebasan dan kenyamanan barang tiga hari saja?"

Aku menatap makananku tanpa minat. "Kebebasan dan kenyamanan yang kaumaksud itu membuatku tersiksa." jawabku kesal.

"Hanya 3 hari, bukan waktu yang lama. Setelah sampai di Seoul kau bebas membentak dan memperlakukanku semaumu. Tapi 3 hari ini biarkan aku menjadi kakakmu, kesempatan langka kau memanggilku dengan embel-embel Nunna."

"Itu memuakkan," ujarku seraya memajukkan bibirku kesal membuat Dae Ahn tertawa lebar.

"Kau manis," balasnya mencubit pipiku gemas.

RecallWhere stories live. Discover now