Recall (Bagian 5)

144 28 6
                                    

Oppa, nan joahae.”

“Aku sangat ... sangat ... menyukaimu.”

“Berjanjilah kita akan selalu bersama sampai kapanpun!”

Saranghae!”

Suara itu, suara yang selalu menghantuiku setiap saat. Suara yang takkan pernah bisa kulupakan sampai kapanpun. Suara yang sangat kurindukan, sekaligus suara yang paling tak ingin kudengar. Aneh? Terserah kalian menganggapnya seperti apa, toh pada kenyataannya memang itulah yang saat ini kurasakan.

Rasa rindu ini selalu datang membelenggu hati, namun di saat yang sama terselip rasa takut yang menggunung tinggi.

Akhir-akhir ini intensitasnya datang semakin sering, entah karena alasan apa ia datang dan mengacak-acak kembali memori yang sudah sejak lama kupendam dalam peti besi.

Apa mungkin gadis itu merindukanku? Atau mungkin dia sadar dengan usaha yang kulakukan untuk melupakannya? Jadilah ia datang mengganggu otak dan juga jiwaku yang berusaha sekuat tenaga melenyapakannya dari dalam kepala. Sepertinya alasan kedua memang benar, gadis itu sadar aku akan melupakannya. Maka, mau tidak mau aku harus tetap bertahan agar gadisku bisa tetap hidup dan tersenyum.

Pada kenyataannya sekuat apapun aku berusaha melupakannya, sekuat itu pula ingatan tentangnya menancap di dalam kepala. Gadis itu sudah mengambil alih sebagian otak kecilku.

Aku tersadar bahwa semua hanyalah mimpi, perlahan namun pasti sepasang kelopakku terbuka. “Park jiyeon,” gumamku pelan dengan napas tersengal-sengal, tubuhku dialiri peluh.

Mimpi, ya aku memimpikannya lagi.

Mataku menari-nari ke sekeliling ruangan, di ambang pintu kulihat appa menatapku dengan beribu kekhawatiran.

“Chanyeol," panggil appa pelan sebelum berjalan dan duduk di ambang ranjang.

Appa.” Suaraku merendah. Kembali kuperhatikan sekeliling. Saat ini tubuhku berada di atas ranjang king size, entahlah siapa yang membawaku kemari.

Appa menghela napas panjang, “Sadarlah, Jiyeon ... dia telah bahagia dengan kehidupan barunya di sana.” Kehidupan, kehidupan baru seperti apa yang appa maksud? Apa beliau Tuhan yang tahu semua seluk beluk kehidupan umatnya?

Sejenak aku memejamkan mata, aku tahu ke arah mana pembicaraan ini berputar. Sebelum memulai semuannya, harus terlebih dahulu aku menyiapkan mental dan hati mendengar perintah beliau yang sarat akan bantahan. “Appa, aku ..., ” ucapanku terputus karena pria setengah baya di hadapanku ini sudah lebih dulu menyelanya. “Bukan kau penyebabnya. Ini sudah takdir, dia akan sedih bila melihat keadaanmu seperti ini. Ayolah lupakan dia.”

Apa yang aku katakan benar bukan? Untuk kesekian kalinya beliau menyuruhku melupakan Jiyeon. Sayangnya melupakan orang yang kita cinta tak semudah membalikkan telapak tangan, butuh waktu panjang dan juga mental sekuat karang. Namun, bila aku menyuarakannya, beliau pasti akan murka. Mau tidak mau aku pun harus berusaha meski tak suka, tapi sedikit bantahan sepertinnya takkan memperburuk keadaan. Selagi ada jalan, apapun akan aku lakukan untuk mempertahankan semuannya. “Itu tak semudah apa yang Appa katakan,” balasku agak sedikit kesal.

Appa mengangguk-anggukan kepalanya ke kiri dan kanan. “Appa mengerti, itu sebabnya kenapa Appa menyuruhmu datang ke tempat ini. Appa harap kau bisa hidup dengan tenang tanpa dihantui bayang-bayang masa silam. Percayalah kejadian itu bukanlah kesalahanmu!” 

Lucu sekali, jadi appa mengutusku datang kemari agar aku bisa melupakannya. Nyatanya bukannya lupa, bayangan gadis itu semakin sering datang saat aku melewati tempat demi tempat yang pernah kami lalui dulu. Dan percayalah semua yang terjadi padaku saat ini bukan karena aku yang hidup dalam masa silam, melainkan aku sendiri yang memberi gadisku ruang agar tetap diingat.

Appa menepuk bahuku pelan, beliau berperan sebagai ayah yang baik, namun tak jarang pula aku merasa geram dengan permintaannya yang sulit kuwujudkan. “Sesekali kau boleh menatap kebelakang untuk mengingat kejadian itu, tapi ingat kau harus menatap kembali ke depan, menatap masa depan dan hidupmu yang akan datang. Tak mungkin kau akan terus-menerus hidup dalam kubangan hitam,” pepatahnya bijak. Sejenak beliau tediam sebelum melanjutkan ucapannya. “Mulai sekarang lupakan dia, mulailah menata hidup barumu.” Yah ... apa yang dikatakan appa memang benar, tak mungkin aku terus-menerusan hidup dalam keadaan seperti ini, cepat atau pun lambat aku harus bisa menghapus awan kelam itu. Hanya menghapus, bukan melupakannya secara permanen. Sudahlah aku lelah membicarakan hal sensitif seperti ini, "Aku lelah, bisakan appa meninggalkanku sendiri?" pintaku pelan yang langsung disetujui beliau.

"Beristirahatlah, besok kau masih harus menemui Mr. Phusua," sahut beliau sebelum beranjak pergi dari kamar yang kutempati.

Aku pikir appa akan menerbangkanku lagi ke Seoul, di luar dugaan beliau malah menyuruhku menemui Mr. Phusua besok. Itu artinya untuk beberapa hari ke depan aku dan Dae Ahn akan bertahan di pulau ini.

Aku harap pertemuan itu berjalan lancar supaya aku bisa cepat kembali ke Seoul. Aku juga berharap tak ada lagi orang yang menyuruhku melupakan Jiyeon, termasuk appa.

Terkadang bila aku sudah benar-benar putus asa, aku menginginkan kepala ini amnesia agar tak ada lagi beban dan ingatan yang selalu menghantui malam. Namun aku segera sadar, bila aku amnesia lantas dimana gadisku akan hidup? Maka aku pun memilih untuk bertahan, setidaknya rasa sakit yang kurasa tak sebesar rasa sakit yang gadisku rasa dulu.

Aku menarik selimut sebelum menutup mata dan melanjutkan cerita dengannya di alam mimpi.
"Aku mencintaimu," gumamku, menatap gambar gadisku yang melayang di dalam ingatan.

RecallWhere stories live. Discover now