Aira menatapku penasaran, "loh pacarnya nggak diajak?" Tanya Aira lagi.

Dengan cepat aku menoleh ke Isa. Seingatku, aku belum mengatakan kepada siapun tentang hubunganku dengan Alva, dan hanya dengan Isa dan teman kuliahku saja yang tau. Satu-satunya orang yang berani menyebarkan hal ini pasti lah Isa.

"Kabar baik kan harus di umumin ke semua orang, Aym." Kata Isa, dengan cepat Isa melangkah menjauh dariku. Melihat wajahku yang semakin kesal karena ternyata dia sudah memberitahukan kepada banyak orang tentang ini.

"Ayo kesana, anak-anak udah nungguin kamu." Tanpa meminta ijin terlebih dahulu, Aira langsung menarikku kesatu sudut ruangan kafe yang lain.

Dari jauh aku bisa melihat sosok Maya dengan dress biru tua dan sepatu putih tinggi yang membuatnya terlihat sangat cantik. Di sekitarnya terlihat Shania dan Mela yang sedang asik tertawa membicarakan sesuatu dan sedang duduk Raya dan Bela yang menikmati kue.

"Hai, lihat siapa yang dateng." Seru Aira.

Semua menghentikan aktifitas masing-masing lalu menatapku dalam. Tubuhku sedikit bergetar menatap lima pasang mata menatap mataku secara bersamaan, aku merasa terintimidasi. Raya bangkit dan tempatnya duduk untuk mendekatiku. Ku tatap dalam dirinya, wajahnya tak menggambarkan apa-apa, aku tak bisa membaca raut wajah Raya, sangat datar.

"Everything it's okay, Ayma?" Tanyanya.

Pecah tangisanku mendengar pertanyaannya, ku peluk Raya seerat yang aku bisa. Tak peduli riasan wajahku akan seperti apa jika aku menangis sekarang, aku hanya bisa menangis dan menyesali semuanya. Ku rasakan beberapa sentuhan di punggung yang aku yakini berasal dari sahabatku yang lain, mencoba menenangkan aku sebisa mereka.

"Udah kenapa kok malah nangis sih, jangan dong. Masak udah cantik gini nangis." Kata Raya. Dia menghapus air mataku dengan selembar tisu kering, memberi segelas air agar aku bisa sepenuhnya tenang. 

"Karena Aym udah dateng, gimana kalo acaranya kita mulai aja. Yuk ketengah semuanya." Kata Maya

Kami mengikuti langkah mungil Maya menuju ke tengah ruangan, mendekati kue ulang tahun besar berwarna coklat. Zacha terlihat begitu gagah dengan setelan kemeja berwarna hitam dengan sedikit corak di bagian dadanya, di barengi dengan celana berwarna coklat terang yang menambah ketampanannya. Zacha terlihat sama bahagianya seperti Maya, mereka terus berdiri bersebelahan selama nyanyian 'Selamat Ulangtahun' di nyanyikan oleh semua tamu undangan yang ada di kafe ini. Maya mengundang hampir semua temannya untuk datang ke acara ini, beberapa teman SMP nya juga ikut hadir, dan beberapa aku mengenalnya. Aku memandangi satu persatu teman Maya yang berdiri memutarinya dan Zacha. Sampai ketika aku bertatap mata dengan sepasang mata yang memandangku tajam, mata yang tak asing bagi mataku. Tidak begitu jelas karena wajahnya tertutup oleh beberapa kepala orang yang berdiri di depannya. Kami terus saling menatap, selama aku menamatkan siapa dia.

Aku berhenti bertepuk tangan ketika sadar siapa laki-laki itu. Rupanya Maya benar-benar mengundang semua temannya, termasuk Tama. Ya, benar itu Tama. Dia menyunggingkan sebelah bibirnya padaku, seperti tersenyum tapi aku tidak yakin jika itu senyuman. Aku tamatkan badannya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Dia sudah sembuh. Terakhir kali aku bertemu dengannya adalah saat di rumah sakit, dan dia belum sadar diri.

Setelah acara potong kue, Maya mempersilahkan tamu undangannya untuk mencicipi masakan yang sudah dia pesan sebelumnya. Aku memilih untuk bergabung dengan Isa yang sedang asik mengobrol dengan Mawar.

"Aym gimana kabarnya?" tanya Mawar.

"Uhh, Aym sekarang udah bahagia. Pacarnya ganteng, salah satu mahasiswa berpengaruh lagi di kampusnya." Jawab Isa. Aku memukul tangannya yang asal sekali menjawabnya. Tiba-tiba saja aku teringat sosok Alva.

"Aku kira masih sama...."

"Marr....." Mawar memotong ucapan Marry yang sebenarnya aku mengerti apa yang ingin dia katakan. Aku hanya tersenyum melihat gelagak teman-temanku yang sepertinya masih terbawa dengan hubungan rumitku yang lalu.

"Nggak papa." Jawabku.

"Kalimat favorit Ayma Putri dari dulu. Nggak papa." Kata Mawar.

Disela tawa teman-temanku ini aku kembali bertatap muka dengan Tama yang sedang berdiri di pojok ruangan bersama dengan Aze dan Putra. Entah apa yang sedang mereka bicarakan, tetapi sesekali Tama melirik ke arahku. Aku dengar dari Isa jika dia di undang oleh Zacha, karena memang dari dulu mereka sahabat dekat dan pastinya Zacha akan mengundang serta Tama ke acara ini. Aku bersikap secuek yang aku bisa, tak kembali menatap dia. Aku berusaha sekuat tenaga.

***

"Makasih ya, Sa." Kataku.

"Iya sama-sama. Langsung tidur, nggak usah galau galau mikirin yang nggak penting." Kata Isa sambil menyalakan kembali mesin motornya.

Kompleks perumahanku sudah sangat sepi mengingat jam sudah sangat larut. Sebenarnya aku tidak ingin merepotkan Isa, hanya saja Isa ingin bertanggung jawab karena aku tadinya berangkat bersama dengan dia. Disamping itu Isa juga sudah berjanji pada Alva untuk mengantarku kembali ke rumah dengan selamat.

"Nanti kalau udah sampe rumah kabari ya." Kataku.

Isa menarik gas motornya perlahan. Aku menatap punggung Isa yang semakin lama semakin menjauh dan hilang di pertigaan jalan. Aku masuk kedalam rumah yang sudah gelap, Bibi dan mama sudah tidur rupanya. Aku bergerak sepelan mungkin agar tidak membangunkan mereka.

Setelah selesai membersihkan badan dan berganti pakaian, aku merebahkan diri di kasur bermaksud untuk tidur. Suara ponsel tanda ada pemberitahuan masuk berbunyi, memaksaku untuk memeriksa kembali siapa yang mengirimkan pesan selarut ini. Aku pikir pasti Alva.

Dari : Tama

Minggu depan kamu kosong?

Jantungku serasa berhenti berdetak membaca pesan singkat yang dikirimkan Tama beberapa menit yang lalu. Setelah sekian lama aku tak berhubungan dengannya, sekarang dia kembali lagi. Tidak mungkin.

Ku lempar ponsel ke sembarang tempat, ku matikan lampu kamar, menarik selimut setinggi badanku, lalu ku paksa diriku untuk segera tertidur. 


Ombak itu datang lagi, di laut yang aku kira sudah benar-benar tenang...

Setelah Aku Tau |✔Where stories live. Discover now