17. Persepsi Pembawa Berkah

3.1K 364 69
                                    

Di luar mentari bersinar terik. Tetapi Analia tak perduli. Mau ia minum kopi yang panasnya berkali-kali lipat daripada suhu rice cooker pun Analia akan mengabaikannya.

Peduli setan pokoknya!

Gadis itu meletakkan gelas kopi keempatnya di atas meja ruang tamu. Kemudian menaikkan kakinya pada sofa agar bisa duduk bersila. Menghembuskan napas kuat-kuat lalu mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah.

"Kamu kenapa?" Arnold yang sedang asyik menonton film dari laptop melirik ke arah Analia.

"Panas!"

"Lah, kalau panas kok minum kopi?" Arnold berkomentar, tangannya ia masukkan ke dalam bungkusan camilan yang ada diantara mereka berdua duduk.

Analia berhenti mengunyah makanannya. Ia memperbaiki duduknya. Menurunkan kaki, merapikan rambut dan memasang senyumnya yang paling manis lalu berbalik ke arah Arnold. "Kak, aku itu gak jelek-jelek amat kan?"

Arnold menampilkan wajah bingung dan sedikit paranoid. "Maksud kamu?"

Analia menggeleng kuat bersama dengan tangannya yang bergerak tak beraturan. "Yah, enggak juga sih. Yah gini maksudnya. Aku itu kan yah, nggak jelek-jelek amat. Kalau dandan juga aku nggak semenor dia. Aku ketua kelas. Habis itu, yah aku nggak mau pamer sih, tapi Kak Arnold tau kan kalau aku itu pinter, baik, dan aku itu secara luar sama dalam lebih dalam hal apapun daripada dia. Ya kan, ya kan?"

"Dia itu siapa?"

Analia mengacak rambutnya frustasi. Senyumnya tiba-tiba pudar. "Ah! Nggak usah dibahas lagi, ah. Kak Arnold nggak ngerti."

Arnold meletakkan laptopnya di atas meja setelah film yang ia tonton dipause. "Nggak-nggak. Kakak ngerti kok. Intinya kamu cemburu. Cemburu sama siapa sih?"

"GAK! Nggak mungkin. Masa aku suka sama. Ah! Kak Arnold masih nggak ngerti." Bahu Analia merosot kalah.

Senyuman kecil tercetak pada bibir Arnold. Senyuman jahil. "Cemburu sama siapa sih? Tetangga sebelah itu?"

Kedua manik mata Analia bergerak gelisah. "Enggak! Siapa bilang?"

"Bukan berarti aku nggak ngerti masalah ginian lho An." Jeda beberapa detik diiringi tawa Arnold. "Pasti kamu lagi cemburu deh. Nanti aku bakal nanyain ke Gita aja, siapa orangnya."

Analia menyerah!

Ia tidak bisa lagi menahan godaan kakaknya itu. "Oke! Aku suka sama Aldefian. Aku cemburu sama dia. Puas?"

"Owh, dia toh orangnya." Arnold mesem-mesem sendiri. Rasa-rasanya nama Aldefian itu tak asing di otaknya. Sepertinya Arnold pernah mendengar nama itu. Tapi ia lupa siapa orangnya.

"Dia ganteng gak? Temen sekelas kamu?"

Analia mengernyitkan kening bingung. Bukannya Arnold sudah bertemu dengan Aldefian beberapa kali, yah? "Kak Arnold nggak kenal Aldefian?"

Raut wajah Arnold berubah polos seketika. "Emangnya pernah ketemu?"

Dalam hati Analia tersenyum senang. Berjoged-joged gembira karena satu rahasianya bahwa ia menyukai 'Aldefian' alias 'Alex' tersimpan dengan aman. Lagian, ingatan Arnold yang lemah itu kadang-kadang membawa berkah.

Analia tiba-tiba berakting. "Nggak. Kak Arnold nggak pernah ketemu dia kok. Sama sekali nggak pernah."

***

"Kita belajar bareng aja ya?" Tepat di hadapan Analia, Aldefian tersenyum manis, membawa beberapa buku catatan dan alat tulis.

"Lo nggak bisa belajar sendiri aja?" Analia mendengus. Entah mengapa ia mendadak cemberut melihat tampang cowok di depannya itu.

Oh My NeighbourTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang