09. Senyuman Istimewa

4.4K 469 44
                                    

Sakit sekaligus senang.

Hanya dua kata itu yang dapat Aldefian deskripsikan.

"Ya ampun den Al!" Mbok Inah berteriak histeris sembari berlari tergopoh-gopoh menghampiri Aldefian yang kini terjatuh ke lantai setelah kepergian Papa.

Delina terdiam. Terpaku. Ia shock melihat hal yang baru saja terjadi di hadapannya. Namun sepersekian detik setelahnya, ia berlalu pergi meninggalkan Aldefian yang kesakitan.

Mbok Inah panik setengah mati melihat keadaan majikan mudanya itu.

Namun yang ditampilkan Aldefian berbeda. Cowok itu malah tersenyum kecil menatap punggung Sang Mama. Seakan-akan menampik segala luka yang telah sekian lama ia pendam.

***

"Den? Mau ngapain? Gak istirahat aja?" Mbok Inah menyentuh bahu Aldefian pelan.

Aldefian menggeleng. "Gak Mbok. Saya mau ke kamar Mama dulu." Cowok itu kemudian mengambil segelas air putih di atas meja lalu beranjak setelah tersenyum singkat pada Mbok Inah.

Sementara itu, wanita paruh baya yang telah lama bekerja pada keluarga Fransisco itu hanya tersenyum. Ia merasa kasihan pada Aldefian. Meskipun tahu dirinya tak mampu berbuat apa-apa untuk membantu majikannya.

Aldefian masuk perlahan ke dalam kamar Mama yang gelap. Hanya satu titik cahaya lemah yang menerangi ruangan itu sekedarnya. Mama duduk di atas ranjang dengan laptop yang berada di pangkuannya. Wanita itu tampak serius dengan benda bercahaya di pangkuannya tersebut.

Aldefian menghampiri Mama. Menaruh segelas air putih yang ia bawa di atas meja kecil lalu tersenyum sekilas. Enggan menyalakan lampu agar penerangan makin sempurna.

"Ma, udah dulu kerjanya." Ucapan Aldefian membuat Delina mengangkat wajahnya. Menatap putranya datar.

"Mama lagi sibuk." Ada jeda beberapa detik sebelum Delina menyambung, "punggung kamu gimana?"

Ada secerca harapan kecil yang mengembang di hati Aldefian. Ternyata Mama masih memperdulikan dirinya. "Udah diobatin Mbok Inah, Ma."

"Lain kali kamu gak usah lindungin Mama lagi. Apalagi ikut campur dalam urusan Mama sama Papa. Mama gak butuh pertolongan kamu." Mama menaruh laptopnya lalu mengambil segelas air putih yang dibawa Aldefian untuknya.

Secercah harapan itu langsung hilang terbawa angin yang menghembus pelan di malam ini. Untuk kesekian kali, hati Aldefian kembali mencelos.

Mama menatap Aldefian lalu mengembalikan segelas air putih itu pada putranya. "Kalau Mama sama Papa jadi cerai, kamu terpaksa harus ikut Mama."

Ada rasa getir yang menyambut hati saat kata-kata itu terlontar manis di bibir Mama diiringi dengan senyuman yang Aldefian tak tahu artinya apa.

Biar Mama mau bilang apa, Aldefian akan selalu menyayanginya. Karena, hal itu merupakan sesuatu yang mutlak bagi dirinya.

***

Hari itu Aldefian tetap memaksakan dirinya untuk berangkat ke sekolah. Walaupun Mbok Inah sudah membujuk berkali-kali agar Aldefian izin untuk sehari saja. Namun cowok itu tetap keras kepala. Luka di punggungnya seperti hanya goresan kecil yang tak berarti saja.

Kata Aldefian, lukanya itu hanya luka biasa, karena dia sudah mengalami luka yang jauh lebih besar dari sebelumnya.

Dan di sinilah Aldefian sekarang. Ia dan rombongannya berada di kantin sambil menyantap soto yang dijual oleh Bu Minah. Soto yang melegendaris di penjuru sekolah. Asyik ketawa-ketiwi mengomentari penampilan setiap siswi di kantin yang berlalu-lalang.

Oh My NeighbourTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang