Diana dan Naufal menghembuskan nafas beratnya secara bersamaan sembari menurunkan bahu mereka, lalu saling melirik. "Ya udah, gua bantu." Ujar Naufal.

"Emang itu kan tugas loe sebagai guru private gue." Sahut Diana pelan.

Naufal mengacak rambut Diana dengan gemas. "Enak aja, gua sahabat sekaligus meneger loe! Camkan itu." Ujarnya cepat dengan pelan. Sebenarnya, Naufal berat dengan kata "Sahabat" yang tadi ia ucapkan, namun, ini lah kenyataan antara mereka berdua. Friendzone.

"Sahabat gua aja, meneger tetep bokap gue, cuy!" Ralat Diana sambil memulai langkah santainya menuju kelasnya dilantai dua.

"Iye, asisten pribadi loe lebih tepatnya." Gumam Naufal sambil mengangkat sesaat bahunya. Diana terkekeh mendengarnya, lalu ia mengacak poni Naufal yang sebenarnya sudah berantakan itu.

"Tau aja loe."

Sesampainya di Kelas Diana, X IPS 3, Diana menaruh tasnya dipojok kelas dan duduk dengan nafas tersenggalnya, sedangkan Naufal, memutar kursi dihadapan Diana, dan membuka tas gadis itu untuk mencari buku ekonomi yang ada PRnya.

"Halaman berapa sih?" Tanya Naufal sambil membulak-balikkan halaman demi halaman dibuku paket Ekonomi Diana.

"Kalo Bunda masih ada, aku ga bakal ikut begituan, deh, kayaknya." Gumam Diana tiba-tiba.

"Maksud kamu dunia entertaiment?" Diana mengangguk pelan dengan nafas yang masih tak beraturan dan pandangan kedepan, namun bukan ke pria dihadapannya. Naufal menghembuskan nafas beratnya lagi, merasa cukup kasihan dengan gadis ini karna sudah kehilangan Ibunya saat kelas 6.

"Walau pun Bunda lembut dan slalu sayang sama anak-anaknya, tapi beliau juga bisa ngatur masalah-masalah kayak gini, Pal." Ujar Diana, seperti ingin mengenalkan alm. Nk pada sahabatnya ini.

"Ibu slalu tau yang terbaik untuk anak-anaknya, slalu bisa ngatur waktu dan memecahkan masalah yang Ayah ga bisa," Naufal memindahkan kursinya kesamping Diana, merangkul bahunya dan mengusapnya lembut. "Aku tau rasanya kehilangan seseorang tercinta dalam hidup, tapi ga baik kalo kita terlalu lama besedih kayak gini, Na." Lanjutnya pelan.

Entah kenapa, atau memang Diana merindukan sesosok Bunda, air matanya jatuh begitu saja kepipi meronanya. "Aku sendiri ga tau, Pal. Ada saatnya aku gapapa tanpa kehadiran Bunda, tapi ada saatnya pula, aku pengen dia hadir lagi dihidup aku, kayak dulu." Ucapnya dengan sedikit isakan yang berusaha ia tahan, namun tetap muncul diakhir kalimatnya.

Naufal kehabisan kata-kata, yang bisa ia lakukan, mengusap lebih lembut kedua bahu Diana, sesekali mengecup pelipisnya, dan diakhiri pelukan hangat untuk tubuh mungil itu. "Aku emang sok tau soal kehilangan, karna aku cuma pernah kehilangan kakak perempuanku, dan itu pun udah ku temukan beberapa bulan setelah dia menghilang, bukan kehilangan kayak kamu gini. Maaf." Bisiknya dalam pelukan.

"hiks, gapapa kok, pal. Gua ngerti." Bisik Diana sambil menghapus air matanya dengan sedikit kasar, melepas pelukan itu, mengambil tisue didalam tasnya dan menghapus sisa air matanya.

"Jangan sedih lagi, yah? Gua ga bisa liat cewek nangis. Please." Ucap Naufal sambil menyelipkan rambut Diana kebelakang telinganya.

"Hiks, iya. Aku usahain."

"Ya udah, kita bikin PR loe aja yah? Jangan galau-galau lagi. Ok?" Usul Naufal sambil kembali membulak-balikkan buku Diana.

"Oke." Seru Diana pelan, lalu mengambil pouchnya, untuk mengambil penanya. Lalu mereka mulai mengerjakan PR gadis ini.

***

"Ana, jadi ambil proposal di photocopy-an, kan?" Tanya Rani, sekertaris OSIS, memastikan tugas sekertaris MPK, Majelis Permusyawaratan Kelas, yang dipegang oleh Diana.

Love Me Harder (end)Where stories live. Discover now