"Tapi tau nama obatnya?" Nk menggeleng sebagai jawabannya.

"Slalu gue terima tanpa ada segel, Ti, dan cuma terpampang berapa kali berapa gue harus minum. Udah!" Jelasnya sembari memainkan manik-manik yang ada diboneka tedy yang sebenarnya milik Diana, yang sengaja ia bawa untuk mengingatkannya pada peri sulungnya itu.

"Apa mama bikin sendiri, kali yah?" Gumam Tia, lebih kepada dirinya sendiri.

'kriet...'

Suara pintu terbuka tiba-tiba terdengar, membuat Tia dan Nk langsung memalingkan wajahnya kesumber suara.

Senyuman tipis dengan wajah pucat itu, membuat Nk khawatir padanya, apa lagi, melihat matanya yang sayu, seakan meminta pertolongan penuh dari sang istri. Ia melangkah pelan kearah ranjang Nk, masih dengan raut wajah yang tak berubah, memegang tangan Nk dan duduk disampingnya, lalu mengecupi terus menerus punggung tangannya.

"Kenapa? Heum?" Tanya Nk dengan lembut.

"Kamu yang kenapa!" Gumam Iqbaale dengan tatapan yang masih sama sayunya. "Aku tau kamu ada yang aneh slama ini,"

Nk mengerutkan keningnya.

"Iya kan?"

Nk mengetupkan bibirnya rapat, seperti tak ingin berucap, padahal dirinya mampu.

"Jangan ada yang disembunyiin, ku mohon..." Gumam Iqbaale sembari mengusap rambut Nk yang mulai menipis karna sering rontok, efek obaat kankernya.

Wanita yang masih berbaring, hanya bisa diam tanpa melakukan apa pun. Menatap prianya, bernafas seakan memburu, degupan jantung yang memacu cepat, dan pikiran yang ia pendam, tak membuat semuanya suasana dan kondisinya membaik. Malah memperburuk.

"Nk..." Hingga panggilan lembut dari Tia membuat tatapan Nk berpaling. "Jangan banyak pikiran dulu, yah." Nasehatnya, masih dengan suara lembutnya. "Kamu juga Baale, jangan bikin Nk tambah setres. Ok?"

Namun Iqbaale tak mendubris nasihat Tia, dia masih menatap Nk, dan tatapannya kian menajam. Lalu hening, hingga, "Jadi aku putusin, buat kita berobat di Jerman." Ujar Iqbaale tiba-tiba. Membuat Nk tak mengerti, lagi.

"Ma, maksud kamu? Aku ga ngerti, lho, Baale!"

"Itu keputusan aku, dan aku ga mau denger suara kamu selain apa yang slama ini kamu sembunyiin, ngerti?" Ucap Iqbaale cepat, lalu bangkit dan pergi keluar kamar dengan tatapan yang Nk rasa, adalah tatapan dingin yang 10 tahun lalu ia terima dari orang yang sama.

"Segigih itu kamu diemin aku?" Gumam Nk pelan, bahkan Tia yang ada disampingnya, tak dapat mendengarnya.

***

Ucapan Iqbaale saat itu tak main-main, pria ini benar-benar mendiamkan Nk slama mereka di perjalanan menuju Jerman, sampai berobat slama sebulan ini pun, Iqbaale sangat pelit untuk berbicara pada Nk. Meskipun begitu, Iqbaale tetap setia menemani Nk disampingnya, atau saat dirinya harus ikut dirawat pun, Iqbaale tetap keukeuh untuk berbaring disamping istrinya itu, tak peduli dengan larangan dari keluarga ataupun dari Nk sendiri, tetap ia lakukan dengan izin dari pihak rumah sakit.

Dan kini, Nk sudah genap sebulan berada di Jerman, genap sebulan juga ia didiamkan oleh suaminya sendiri.

"Aku kira kamu ga beneran giniin aku." Nk angkat bicara slama hampir 30 menit, mereka berdiam diri di kursi taman yang berada di taman rumah sakit.

Iqbaale hanya melirik Nk yang sedang menatap lurus dengan tatapan kosong, dengan tatapan dinginnya. Sebenarnya, dirinya pun tak tega memperlakukan istri tercintanya sendiri dengan perlakuan seperti 10 tahun yang lalu, ada goresan kecil dihatinya setiap ia melakukannya, tapi pikirannya slalu berkata "Harus melakukannya". Iqbaale pun belum tau pasti ini akan berhasil atau tidak, tapi firasatnya kuat, kuat meyakini bahwa Nk akan benar-benar memberi tau segalanya jika ia melakukan ini kepada wanita itu. Kejam sih, tapi mau bagaimana lagi? Ia harus selesaikan apa yang sudah ia mulai.

Love Me Harder (end)Where stories live. Discover now