Chapter 17.3

313 32 0
                                    

Tepat malam hari pukul delapan, tiga pemain datang, mereka dari guild Sanctuary, lengkap dari jabatan ketua, wakilnya, dan seorang petinggi guild. Setelah berbicara sebentar, ketua guild Sanctuary yang mengaku bernama Leonardo itu kemudian membuat sebuah squad dan mengundang Sibal—ketua squad kami untuk bergabung dengannya. Dengan begitu, kini kami adalah squad yang beranggotakan 20 pemain.

Dan berbicara mengenai nama Leonardo, aku tahu nama dari suatu tempat. Nama itu adalah nama yang memenangi kejuaraan dua tahun lalu, pemain yang mengalahkanku di ronde pertama sepuluh besar. Tapi kenapa dia? Dan apakah dia adalah otak di balik delapan guild itu? Ini terlalu klise dan jelas jika ceritanya seperti ini.

Tak lama setelah menyatukan squad, Leonardo kemudian kembali membuka menu kota, kemudian menggesernya ke arah kepemilikan guild di kota ini. Dan yap, itu adalah Stormfall. Tanpa menimbang-nimbang lebih jauh dan tanpa keraguan, ia menekan tombol hampa yang bertuliskan Take Over Town (Mengambil Alih Kota), yang dalam arti lain guild Sanctuary akan menyerang guild Stormfall untuk memperebutkan Dublin.

Dan oh, ternyata ini caranya, kita masuk ke dalam squad yang dibentuk oleh Leonardo—yang merupakan ketua guild yang menyatakan perang untuk ikut membantu. Aku tidak memikirkan cara seperti ini sebelumnya. Dan 20 pemain dari kubu penyerang melawan 35 pemain dari kubu bertahan. Aku tidak tahu ini akan berjalan dengan lancar. Dan bicara tentang lancar, di PVP guild war seperti ini, kita mungkin tidak akan selamat, karena rata-rata para pemain VRO sudah ahli dalam PVP, namun aku tidak yakin dengan PVP dalam guild war.

"Kita akan mengambil alih kastel milik Stormfall," Sibal menyudahi pembicaraannya dengan Leonardo dan beralih berbicara ke arah kami yang menunggu arahan. "Aku tidak akan memberi strategi khusus, karena kita hanya akan mengulur waktu untuk menunggu bantuan. Kalian berpasanglah dengan rekan guild, dan jangan berpencar terlalu jauh, kalian akan saling membutuhkan." Kemudian Sibal mem-pop-up sebuah menu hitungan mundur waktu perang. "Kita mempunyai waktu sekitar 40 menit untuk bersiap-siap, jadi gunakan sebaik mungkin."

Selepas kalimatnya, seluruh pemain langsung berpencar mencari titik yang nyaman untuk mengatur skill dan equipment mereka. Kebanyakan dari mereka berpencar bersama rekannya—kurasa—karena mereka pergi dua-dua.

"Kau mau hanya bengong di sini atau bagaimana?" Rion membuyarkan lamunanku terhadap mereka, menoleh dan menatap ekspresi wajah Rion yang kian absurd—menurutku—karena biasanya dia hanya akan menampilkan ekspresi wajah sinis khas miliknya.

"Lihat, kan?" aku menunjukkan ekspresi terheran-heran sambil menunjuk dirinya.

"Lihat apa?" ia bertanya balik, melihat-lihat sekitar dengan bingungnya.

"Kau ini sedang sakit apa?"

Tanpa jawaban darinya, ia menarik lenganku ke sebuah titik lain yang masih tersisa.

Sesampainya, ia hanya memandangiku. "Apa?" tanyaku sambil mengangkat kedua bahuku.

"Oh, ayolah, Blue. Kau tahu apa maksudku."

"Apa?" aku bertanya lagi dengan pertanyaan satu kataku yang sama seperti sebelumnya, aku mengacuhkannya dengan membuang pandanganku ke arah pemain-pemain lain dari kejauhan.

"Rain, Blue. Rain! R-A-I-N. Kau paham sekarang?" ia mengulangi huruf demi huruf dengan lirih dan sangat lafal, seolah kata Rain sudah tertanam permanen di ingatannya. Pandangannya mulai sayu selepas kata Rain usai.

"Sudah kubilang, kan, aku hanya tahu saja jika kau mencarinya, tapi aku tidak tahu apa-apa lagi." Aku menjawab, atau lebih tepatnya mengelak.

"Kalau begitu bawa aku ke orang itu." Dia menekankan kata itu seolah dia tahu bahwa ada seseorang yang kukenal yang memberitahuku mengenai Rain. Aku harus mengelak lagi.

"Begini saja, daripada kau bekerja sendirian mencari Rain, aku bisa membantumu dengan informasi yang kautahu."

Ia mundur satu langkah, pandangannya tetap tidak lepas dariku, tajam dan mengintimidasi namun tetap terlihat pasrah di saat yang bersamaan. Kelihatannya ia menimbang-nimbang penawaranku barusan.

"Hmm?" ucapku mengulangi seolah menunggu jawaban atas tawaranku.

Ia mengangguk, namun tidak mantap, seakan ia ingin menolak tetapi tidak mempunyai pilihan lain selain menerima tawaranku.

"Kau setuju?" tanyaku mengulangi agar ia bisa memantapkan jawabannya kepadaku.

Ia mengangguk lagi, kali ini lebih mantap.

"Kalau begitu, selepas war ini—"

"Tentang war ini," ia menyela. "Apa kau yakin kita dapat memenangkannya?"

"Kalau kau melihat soal jumlah. Ya, kita memang kalah jumlah. Tapi aku percaya kita bisa memenangkan war ini—kau ingat, kita adalah yang terpilih."

"Mungkin kau benar... dan mungkin juga tidak."

"Baiklah, kita lihat nanti setelah war ini selesai."

"Baiklah."

"Oke. Kau sudah mantap dengan set skill dan equipment milikmu?"

"Sudah."

"Kalau begitu aku akan menyesuaikan set skill dan equipment milikku agar dapat bekerja sama denganmu. Kuharap kau tidak bermain solo, ingat bahwa ini PVP guild war; jika kau mati, game over untukmu dan realitasmu."

Ia mengangguk dengan sedikit tatapan ngeri yang tertahan.

--

Project Legacy: ReascendWhere stories live. Discover now