50: Tujuan

11.2K 1.2K 209
                                    

"Pura-Pura Lupa Atau Sengaja Melupakan"


Dava saat ini duduk bersandar di jendela ruangannya yang sengaja dia buka lebar. Menikmati angin malam memang sudah menjadi kebiasaannya disaat pikirannya kembali kacau.

Memang tidak ada yang berubah dari beberapa bulan yang lalu. Semuanya masih sama. Dia, dan dunianya tidak ada yang berbeda. Hampa, datar, dan menyebalkan.

Banyak orang yang akhir-akhir ini menjenguknya. Tapi tidak ada satupun yang paling dia harapkan untuk menemuinya. Termasuk juga kedua orang tuanya yang menjadi sangat rajin untuk selalu berada didekatnya.

Jujur, dia benci itu.

Rasanya semua lebih baik kalau berjalan dengan apa adanya. Bukan dengan keterpaksaan agar dirinya segera sembuh dan keluar dari rumah sakit ini.

"Dava?" Suara Mamanya yang paling sering dia dengar akhir-akhir ini, kembali terdengar. Dan sama seperti Dava biasanya, dia jarang menoleh kalau di panggil. "Kamu udah makan—" Mamanya melirik nampan berisi makan malam yang sama sekali belum di sentuh Dava. Ia menghela napas sabar, kemudian membuka satu per satu tutup dari mangkok yang tersedia di atas nampan. "Kan ini menunya enak. Mama suapin ya?"

Dava melenguh malas, kemudian menoleh ke arah Mamanya. "Nanti Dava makan."

"Kapan? Bentar lagi nampannya mau di ambil lagi."

"Ya udah, balikin."

Mamanya membawa nampan tersebut ke dekat Dava. "Duduk yang bener, biar makan sekarang."

"Ntar aja."

"Dava." Mamanya memanggil dengan nada tegas. "Udah terlalu banyak yang kamu lewati di luar sana dengan percuma. Jangan ditambah lagi dengan cara memperlama waktu kamu di rumah sakit ini."

Dava menghela napasnya, kemudian kembali memandang langit. "Dava nggak berharap buat balik kayak hidup normal lagi. Seharusnya kemarin itu Dava—"

"Udah, cukup." Mamanya meletakkan nampan yang sejak tadi dia genggam erat ke atas meja. "Mama nggak mau kehilangan anak Mama lagi buat yang kedua kalinya."

"Tapi Mama bisa bahagia tanpa Dava."

"Kata siapa?" Tanya Mamanya. "Siapa yang bilang, Dava?"

Dava hanya diam, tidak menjawab.

"Dari awal Kakak kamu pergi, nggak ada yang sama lagi di keluarga kita. Mama sama Papa, bahkan kamu." Kata Mamanya dengan suara yang bergetar. "Saat Mama sama Papa milih buat pisah, Mama berharap sekali kamu bakal ikut sama Mama, tapi ternyata?"

Dava menghela napasnya, dia tau dia salah pada saat itu. Dia merasa kalau memang orang tuanya ingin pisah, dia memilih tinggal dengan salah satunya yang sama sekali tidak peduli padanya.

Agar setidaknya tidak ada yang melarangnya untuk melakukan hal apapun yang dia suka.

Dan dia tau, memilih tinggal dengan Papanya adalah pilihan yang tepat saat itu.

Tapi satu yang tidak dia sadari kalau Mamanya terpukul akan kenyataan itu, dan diam-diam selalu menanyakan keadaannya pada asisten rumah tangga mereka.

Dava benci kalau dirinya diurusi. Karena benar kata Mamanya, tidak ada yang sama dengan keluarga mereka, semenjak Kakaknya meninggal dengan keadaan mendadak, juga tidak ada yang pernah tau apa masalahnya, sampai dia bisa bunuh diri.

Semua histeris hari itu, menghetahui Kakaknya yang tergeletak di kamar dengan beberapa obat dosis tinggi ditangannya. Mulutnya berbusa, dan saat dibawa ke rumah sakit, dia sudah meninggal dunia.

[DSS #1] : ImaginationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang