17: Selalu Ada

15.1K 1.5K 96
                                    

"Apa Yang Lebih Sedih Dari, Kita Nganggap Dia Temen, Tapi Dia Nganggap Kita Bukan Apa-Apa"

Tidak butuh waktu lama untuk membuat berita tentang Nero dan Sasha menyebar luas. Sekarang, satu sekolah tau seperti apa seorang Nero di balik wajah 'anak baik-baik' yang tergambar jelas didirinya itu.

Mereka memang sedang berada di usia yang serba penasaran. Ingin mencoba dan ingin melakukan.

Kalau tidak dilakukan pengawasan dan pembelajaran yang mendalam, bisa-bisa mereka terjerumus.

Dara menghela napas berat saat ia membaca dengan jelas papan pengumuman tentang pernyataan kalau Nero telah diturunkan dari jabatannya sebagai ketua OSIS.

Sementara Rafly yang dulunya ketua anggota HUMAS tapi sering menggantikan Nero kalau dia tidak hadir dalam rapat, sementara waktu naik jabatan. Dia lah yang sekarang menjadi ketua OSIS.

Kaget, pasti. Satu sekolah sudah cukup gempar dengan apa yang mereka dengar tentang Nero. Apalagi ketika kepala sekolah dan guru-guru mendengar langsung penjelasan dari Sasha, tentang Nero yang menciumnya secara paksa, dan berniat untuk melakukan hal yang lebih itu.

Nero terpukul, jelas. Dia berusaha menjelaskan tapi ternyata Sasha jauh lebih jago daripada dia.

"Gue yakin, ini pasti akal-akalan Sasha."

Sebuah suara mengalihkan perhatian Dara dari papan pengumuman yang dari tadi hanya ia pandang dengan mata kosong menjadi ke arah cowok yang berdiri tepat di sebelahnya.

Alvin, cowok itu membalas tetapan Dara. "Gue nggak berusaha bela siapa-siapa. Tapi emang dari awal gue kenal Nero, gue tau dia nggak mungkin gegabah kayak gini." Katanya.

Dara mengerutkan dahi, tanda tidak mengerti.

"Cewek itu efeknya emang ngeri banget ya, Ra." Kata Alvin sebelum ia membalikkan badannya untuk kembali ke kelas. "Udah bel masuk tuh. Mau bareng nggak?" ajak Alvin yang saat ini memiringkan wajahnya ke arah Dara.

Dara melirik jam tangannya. Dia mengangguk dan menyusul Alvin yang udah jalan lebih dulu menaiki tangga.

Keheningan menyergapi keduanya. Hingga Dara menghentikan langkahnya. "Vin?" panggilnya pada Alvin yang sudah hampir mencapai lantai dua.

Alvin memutar tubuhnya ke belakang kembali menatap Dara, ia hanya diam menunggu Dara melanjutkan ucapannya.

"Gue mau nanya sama lo."

"Nanya apa?"

"Tentang, Davi."

Alvin membeku. Dia mengerutkan dahinya. "Davi? Oh... Davi, kenapa?"

"Gue denger pembicaraan lo sama anak sekolah lain waktu lomba basket selesai."

Alvin mengerutkan dahinya, seolah bingung. Atau lebih tepatnya dia berpura-pura tidak mengerti apa yang sedang Dara bicarakan.

"Lo bicarain tentang kematian Davi kan?" tanya Dara.

"Ngaco lo. Ngapain gue ngomongin itu? Gue juga nggak ngerti apa-apa." Balas Alvin cepat.

Dara mengangkat sebelah alisnya. "Oh ya? Terus cewek itu minta rekaman cctv apa?"

Alvin berdecak, kemudian mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Udah ya, Ra. Begituan nggak usah di urusin. Nggak ada urusannya juga sama lo."

Untuk pertama kalinya, Dara melihat sisi lain dari Alvin.

"Nggak nyangka gue, lo ngomong begitu."

"Ya lagian lo mau tau tentang apa sih? Kejadian itu uda lewat berapa bulan yang lalu. Nggak perlu di bahas lagi. Lo juga waktu itu belum muncul."

"Gue temen Davi jadi gue harus tau tentang itu juga." Kata Dara, tanpa mikir.

"Temen?" tanya Alvin yang malah terdengar sangat meremehkan di telinga Dara. "Oh iya, lo kan suka ngomong sendiri ya."

Dara menggenggam erat pegangan tangga yang ada di tangannya.

"Lo kira gue sama Edo nggak tau?" ucapnya sebelum dia kembali melanjutkan langkahnya meninggalkan Dara yang langsung mendudukkan dirinya di tangga.

Dia nggak pernah sesakit hati ini dengar omongan orang.

Melihat punggung cewek yang dia kenal dari belakang, Davi menyusul untuk duduk di sebelah Dara.

"Kok lo duduk di sini?" tanya Davi tiba-tiba.

Tapi kali ini Dara tidak kaget, lagi. Karena dia masih kepikiran ucapan Alvin tadi. Rasanya sakit banget, serius.

Hari ini tuh nggak ada yang lebih aneh lagi apa?

Setelah melihat cowok yang dia kagumi diberhentikan dari OSIS terus sekarang malah denger omongan yang nyakitin dari orang yang dia anggap temen.

Seolah bisa menebak isi hati Dara, padahal dia juga nggak tau kenapa cewek itu mendadak diam dengan pandangan kosong, dia bangkit berdiri. "Ayo naik." Katanya.

Dara menengadahkan kepalanya pada Davi.

Perlahan dia tersenyum, sekalipun Davi tau itu bukan senyuman lepas seperti biasanya.

Memang setidaknya Dara harus bersyukur karena Davi memang selalu ada disampingnya.

[DSS #1] : ImaginationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang