11: CCTV

13.9K 1.4K 50
                                    

"Ada Yang Salah Dengan Kasus Ini, Katanya"

Selesai menonton pertandingan basket dengan Meigi dan Edo atas permintaan Alvin sejak awal minggu, Dara menuju lokernya untuk mengambil tas yang tadi sengaja ia tinggal di sana. Tapi langkahnya mendadak tertahan saat melihat ada seorang cewek dan seorang cowok yang saat ini saling tatap di koridor bagian loker ujung.

Dara bersembunyi di balik dinding. Bukan niatnya untuk menguping pembicaraan mereka berdua. Tapi Dara hanya tidak mau menjadi pengganggu. Sepertinya masalah mereka sangat serius. Karena Dara dapat mendengar isakan tangis dari cewek itu.

Cowok yang saat ini memunggungi Dara, menundukkan kepalanya seolah ia merasa bersalah. Dara lihat, si cowok menggunakan baju basket sekolahnya. Tapi si cewek menggunakan seragam sekolah lain.

"Tapi lo tau kan kalau motor Davi sengaja di rusakin?" tanya cewek itu dengan suara bergetar. "Davi bukan meninggal gara-gara mobil abang gue kan?"

Dara membulatkan matanya saat mendengar nama Davi.

Awalnya, ia memang tidak peduli dengan pembicaraan mereka berdua yang mungkin saja masalah percintaan mereka, si cowok minta putus dan si cewek yang nggak terima.

Ternyata Dara salah.

Cowok itu mengangkat wajahnya. Menatap lekat cewek yang berdiri tepat di hadapannya itu. "Mobil abang lo yang emang ngebut dan oleng! Kenapa lo selalu datang ke sini cuma buat nanyain pertanyaan yang sama sih?"

"Gue masih nggak terima kalau abang gue yang sepenuhnya salah karena emang motor Davi juga dalam keadaan rusak. Lo harus jadi saksi di persidangan abang gue. Lo harus jujur kalau emang ada yang salah dari motor Davi di hari itu."

Cowok itu terdiam sebentar sebelum ia menghela napas, sabar. "Jujur apa? Gue nggak tau apa-apa! Stop nanya hal itu lagi ke gue!" seru cowok itu sebelum dia meninggalkan cewek itu yang semakin terisak.

"Alvin?! Gue mohon, Vin! Gue butuh banget rekaman cctv itu." Kata cewek itu dengan nada sedikit berteriak.

Dara membulatkan matanya saat mengetahui dengan siapa cewek itu bicara.

"Alvin?" desisnya, nyaris tanpa suara.

💫💫💫

Sasha mengetuk-ngetukkan jarinya di meja rapat OSIS.

Rambutnya acak-acakan. Keringat dingin perlahan mulai muncul di dahinya, tentunya seiring dengan ketakutannya yang semakin memuncak.

Dari tadi ia hanya diam di ruang OSIS. Menunggu Nero menyelesaikan pertandingan basketnya.

Bilapun kalah, Sasha cukup menyesal karena tidak bisa melihat Nero bertanding.

Nero yang masih mengatur napasnya duduk tidak jauh dari Sasha. Mereka berseberangan. Dia menyenderkan punggungnya ke sandaran kursi. Marah, pasti. Sasha memang selalu tidak bisa mengontrol emosinya.

Apalagi saat emosinya meledak-ledak. Sasha pasti akan langsung melakukan hal yang akan dia sesali setelahnya.

Padahal kalau ditanya, apa hal spesifik yang dia sesali, Sasha sendiri pun tidak tau jawabannya.

Sasha hanya bisa menyesal, hingga kemudian menangis.

Kalau sudah begini, Nero yang akan mengalah. Padahal emosinya kali ini juga butuh diredam. Kalau aja Sasha tau, tingkat emosi Nero juga jauh lebih tinggi saat ini.

Basketnya lagi-lagi kalah. Semenjak Davi meninggal, kemenangan basket memang menurun. Dan yang menjadi masalah adalah, Nero udah keburu memberikan janji-janji pada sekolah.

Janji bullshit tentang kemenangan basket yang sampai sekarang belum bisa ia dapati.

Dalam hal basket, Davi memang tidak akan terkalahkan. Tapi untungnya, kalau dalam hal OSIS Nero dan Davi seimbang.

"Ro?" panggil Sasha yang sedang menggigit ujung ibu jarinya. "Aku harus apa?"

Nero menghela napasnya. "Minta maaf."

Sasha menatap Nero dengan pandangan tidak percayanya. "Mana mungkin. Kamu gila ya?"

"Belum. Mungkin bentar lagi." Jawab Nero masih dengan nada tenangnya.

"Jangan ngaco!"

Nero sedikit memajukan tubuhnya untuk menatap Sasha lebih dekat. "Untuk apa kamu gunting rambut dia di kelas kalau ujung-ujungnya kamu juga bakal jambak dia ke toilet?"

Sasha menyipitkan matanya ke arah Nero. "Sumpah, aku juga nggak tau. Sekarang aku nyesel banget."

Nero kembali ke posisi duduknya. "Kamu nyesel karena hampir seluruh isi sekolah tau apa yang kamu lakuin ke dia?"

Sasha mengangguk dan meneteskan air matanya. "Aku takut dianggap aneh-aneh sama mereka, aku takut dikira jahat, aku takut dikira gila."

Bukannya memang begitu?

"Ya udah minta maaf." Nero mengulang usulnya.

"Nggak akan! Aku rasa itu cuma akan memperjelas kalau aku buat salah." Sasha menghapus air matanya dengan punggung tangan. "Kasih aku saran lain."

Nero diam sejenak. Ia memikirkan cara apa yang segera bisa membersihkan nama pacarnya itu. "Kamu bisa cari tameng." Katanya saat satu cara terlintas dipikirannya.

Menurut Nero, caranya kali ini mungkin akan berhasil. Karena satu sekolah taunya Sasha tidak mungkin melakukan itu. Satu sekolah juga tau kalau Sasha itu seperti idaman. Sudah cantik, baik lagi.

Orang-orang kenalnya gitu. Tapi Nero mengenal Sasha lebih dari itu.

Sasha mengerutkan dahinya. "Maksudnya?"

"Kamu bisa nuduh orang lain. Maksudnya gini, bilang aja kamu disuruh sama si A buat nyeret Rena ke toilet. Kamu nyetujuin, karena kamu diancam sama si A. Tentang rambut yang di gunting itu juga permintaan si A. Dan masalah apa yang terjadi antara si A dan Rena, ya cukup bilang aja kalau kamu nggak tau apa-apa."

Sasha mengerjapkan matanya beberapa kali. Nero memang pintar. Ia selalu bisa mencari cara untuk mengembalikan kondisi seperti semula. "Makasih ya." Katanya sambil pindah tempat duduk menjadi sebelah Nero.

"Pokoknya kalau di panggil BP jangan bilang apa-apa lagi selain itu."

"Tapi A-nya itu siapa?" tanya Sasha yang masih setengah panik.

"Safira." Kata Nero. "Bilang Safira yang nyuruh kamu."

"Safira?"

"Dia nggak akan di panggil BP tenang aja."

"Tapi, Safira kan..."

"Sepupu aku?"

Sasha mengangguk sambil memperhatikan Nero yang menunduk sambil mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja persis dengan apa yang Sasha lakukan tadi sebelum Nero datang.

[DSS #1] : ImaginationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang