47: 8 Hari

9.7K 1.3K 248
                                    

"After All These Tears, He's Back"

Sore ini, setelah Nero balik dari sekolah, dia langsung ke rumah sakit. Terus begitu sampe ruangan Dara, dia langsung nyuruh cewek itu tutup mata. Katanya dia punya sesuatu.

Dara nanya terus emang Nero bawa apaan, tapi Nero nggak mau jawab sebelum Dara tutup mata.

Akhirnya Dara menuruti. Dan Nero langsung mengeluarkan alat permainan gelembung sekalian sama sabunnya juga.

Dara ketawa. Bener-bener ini tuh kayak anak kecil tapi disisi lain dia juga seneng.

Saat itu juga dia minta buat Nero nemenin dia main. Setelah minta izin mereka langsung ke taman.

Lumayan rame, tapi Dara tetap bisa memainkan balon gelembungnya tanpa gangguan.

Sesekali dia tertawa, karena ada anak kecil disekitarnya yang juga sambil tertawa mencoba meraih balon gelembungnya yang berterbangan disekitar mereka.

Dara melirik Nero yang juga tersenyum ke arahnya.

Terkadang, Dara masih tidak habis pikir tentang perubahan sikap Nero terhadap dirinya akhir-akhir ini. Semuanya terkesan seperti tidak akan mungkin terjadi. Tapi memang terjadi. Nero ada disini, didekatnya, dan akhir-akhir ini tidak pernah jauh darinya.

Dulu dia selalu memiliki pemikiran kalau Nero itu hanya akan selalu menjadi sebatas cowok yang dia suka, bahkan untuk bisa menjadi temannya saja Dara takut untuk membayangkannya.

Tapi sekarang? Cuma bermodalkan keberaniannya yang ingin mengobati luka lebam di wajah Nero waktu itu, mereka bisa jadi sedekat ini.

Nggak pernah dalam hidup Nero, melihat senyum bahagia orang, kemudian dia merasa sedih. Tapi sore itu, melihat senyum Dara, dia merasakan itu.

Hingga pikirannya kembali berputar ke pembicaraannya dengan Tante Dara beberapa hari yang lalu.

"Dara mau operasi minggu depan." Kata Tante Dara yang katanya ingin mengobrol dengannya. Nero masih mematung, menunggu kalimat selanjutnya yang akan dikatakan Tante Dara. "Ya kamu pasti tau kalau operasi itu ada kabar baik, dan ada kabar buruknya juga."

"Tapi peluang untuk Dara sembuh besar kan, Tan?"

"Dokter sekalipun nggak bisa memastikan. Semuanya tergantung rencana yang atas."

Seolah terpukul, Nero jadi terdiam.

"Kalau dulu, dia cuma punya Eyang sama saya untuk bikin dia semangat buat sembuh, sekarang dia udah punya banyak temen yang selalu ada buat dia. Jadi baik saya ataupun Eyang, benar-benar naruh harapan besar di operasi Dara kali ini."

"Dara udah lama ya sakitnya, Tan?"

"Awal tahun ini. Dia kecelakaan. Tapi semenjak itu dia jadi mulai sering sakit-sakitan. Makanya saya pindahin sekolahnya ke yang lebih dekat dari rumah. Biar saya juga bisa anter jemput dia."

Nero menghela napas gusar. Perasaan takut kehilangan mulai melingkupi dadanya.

"Jadi saya minta tolong ya sama kamu. Bahagiain dia, apapun yang dia minta turutin aja selama itu baik. Terus dengerin kalau dia ngomong apapun. Ya intinya banyak aja bercanda sama dia." Tante Dara tersenyum getir. "Terus jangan lupa buat terus doain Dara, semoga operasinya lancar dan dia kembali sehat."

"Aamiin. Saya pasti bakal terus doain Dara kok, Tan." Lagi, Nero menghela napasnya. Berharap kalau permintaan mereka kali ini didengar.

"Nero?"

"Hm?" Nero terkesiap dari lamunannya, dia kembali menoleh ke arah Dara. "Kenapa? Udahan mainnya?"

Dara menggeleng. "Kalo ini gue tiup kenceng, bisa sampe langit nggak ya?"

"Hah?"

"Sampe langittt. Sampe surgaaa." Kata Dara dengan nada yang bikin Nero jadi gemes sendiri.

Nero jadi mau nangis sekarang. Apa-apaan ini semua.

Melihat Nero yang tidak merespon apa-apa, Dara tersenyum kemudian menggeleng. "Eh ini, lo mau main juga nggak?" tanyanya mengalihkan pembicaraan.

Nero menumpukan lututnya disebelah kursi roda cewek itu. Menyentuh kepalanya, hangat. "Dara, lo harus janji satu hal sama gue," dia menjeda ucapannya. "Lo harus sembuh."

Dan setelah itu, dia memeluk Dara. Benar-benar memeluk cewek itu seolah dia juga mengirimkan seluruh tenaganya dan semangatnya ke Dara.

Dara tidak membalas apapun, selain dia kaget.

Sorot mata Davi belum lepas menatap dua orang yang hanya berjarak beberapa meter didepannya itu.

Dia tau, mulai sekarang dia bukan lagi teman Dara. Dia tidak bisa lagi berada disisi Dara seperti biasanya, menyemangatinya, bahkan untuk mengatakan semua akan baik-baik saja pun dia tidak bisa.

Karena memang semua sedang tidak baik-baik aja.

Kalau bisa memilih, Davi tidak mau lagi berada disini. Davi tidak mau melakukan ini. Dia masih mau Dara berada di dunia. Dara melanjutkan hidupnya.

Dan yang terpenting, dia ingin Dara bahagia.

Tapi Davi bisa apa? Semua soalah sudah menjadi ketetapan dan dia harus menerimanya.

Dia.. harus menjemput Dara.

"8 days more and she left..." batin Davi.

💫💫💫

Untuk yang kesekian kalinya, cowok itu memberikan respon dengan cara menggerakkan jari telunjuknya. Hingga membuat wanita yang sepanjang hari duduk disebelah ranjangnya terperangah.

Respon-respon kecil yang sangat berarti untuk wanita itu.

Wanita itu menghela napas lega, kemudian bangkit untuk mengusap rambut anak laki-lakinya itu. Lalu dia mendaratkan satu kecupan sayang sebagai pertanda kalau sekarang hingga nanti dia selalu berada disini. Menunggu untuk anaknya itu kembali melihat dunia.

"Mama sayang sama kamu." Kata wanita itu untuk yang kesekian kalinya, sambil kembali menyeka air matanya. "Maafin Mama sama Papa yang sering nggak denger apa mau kamu ya. Mama sama Papa tau kalau selama ini kami selalu mentingin ego masing-masing. Maafin Mama.."

Cowok itu kembali merespon. Selalu, setiap kali Mamanya terisak di depannya, dia pasti memberikan respon-respon kecil. Tapi selalu tidak berujung ke dirinya yang sadarkan diri.

"Baik Mama ataupun Papa masih sangat memberikan harapan besar sama kamu. Buktiin kalau kamu kuat ya? Kamu bisa balik kesini lagi, kamu bisa bareng sama Mama lagi." Tangis wanita itu semakin menjadi. Genggaman tangannya pada anak laki-lakinya itupun semakin erat.

"Ma..." Suara serak yang nyaris tak terdengar itu, langsung membuat wanita itu terkesiap.

Cowok itu membuka matanya secara perlahan. Kepalanya berdenyut kaku. Semua pandangan yang semula mengabur perlahan terlihat jelas.

Langit-langit ruangannya yang berwarna putih dengan beberapa lampu yang sempat membuat matanya kembali tertutup, menyambutnya.

Wanita itu langsung menekan tombol darurat untuk memanggil perawat terdekat.

Tangannya bahkan masih bergetar saat kembali mengelus rambut anaknya itu.

Setelah sekian lama wanita itu menunggu anak laki-lakinya sadar, hingga mendengar beberapa kalimat yang mengatakan kalau anaknya tidak lagi bisa terselamatkan, bahkan sempat menyerah dengan cara pasrah untuk mengikuti saran dokter yang mengatakan untuk berhenti dan mencabut semua alat bantu di tubuh anaknya.

Tapi kali ini, anaknya itu membuka mata.

Dia kembali.

Memang dari sekian banyak keajaiban di dunia ini, salah satu yang paling dekat dengan kita itu adalah; pengorbanan dan kasih sayang seorang Ibu.

Tangan wanita itu meraih ponsel yang berada didekatnya. Dia menekan salah satu kontak yang akhir-akhir ini sering dia telpon.

Tidak butuh waktu lama, sampai telpon wanita itu diangkat.

"Halo, Mas? Dava udah sadar." Katanya, masih dengan suara yang bergetar.

[DSS #1] : ImaginationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang