5: Ini Nyata

18.3K 1.7K 32
                                    

"Tidak Ada Yang Mau Melewati Koridor Itu"

Dara menutup kembali pintu lokernya. Mengunci, kemudian kembali mengantongi kunci dengan gantungan kelinci berwarna putih itu.

Dia kembali melangkah menuju kelasnya dengan buku matematika yang ada didekapannya. Tapi langkahnya mendadak terhenti akibat seseorang yang menepuk pelan bahunya dari belakang. Ia kembali memutar tubuhnya ke belakang, melihat siapa yang menyentuh pundaknya tadi.

"Hai, lo Dara anak kelas sebelas IPS-2 kan?" tanya cowok berkacamata di depannya.

Dara mengangguk kaku. Matanya tidak bisa lepas memperhatikan wajah cowok itu. Manis, tipikal anak baik-baik.

Cowok itu mengulurkan tangannya. "Gue Nero Rahardja, ketua OSIS." Ucapnya sambil mengulurkan tangan.

Dara menerima uluran tangan itu. "Gue Dara."

Nero mengangguk. "Gue mau ngasih lo ini." Ia menyerahkan selembar kertas ke arah Dara. "Ajakan untuk bergabung di OSIS."

"Gue?" Dara menunjuk dirinya sendiri dengan jari telunjuk.

"Iya, lo Dara Syakila kan?" tanya Nero yang lebih bisa disebut pernyataan. "Lo bisa baca di kertas itu lo bakal jadi anggota apa. Kalau lo setuju, lo bisa kasih tanda tangan disini." Tunjuk Nero pada kolom disudut kertas.

Dara mengangguk paham. Di kertas itu, ia baca kalau dirinya diajak bergabung dalam mengurus mading.

"Ro, serius pinjem hp kamu dong."

Suara lembut itu berasal dari arah sampingnya. Dara segera mengangkat kepalanya dari kertas dihadapannya ke arah cewek cantik dengan rambut sepunggung yang berdiri di sebelahnya. Cewek itu mengulurkan telapak tangan kanannya ke arah Nero.

Dara kembali menoleh ke arah Nero yang melirik jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. "Udah jam masuk, mau ngapain lagi?"

Cewek itu menekuk wajahnya kesal. "Nanggung banget aku mau searching satu soal lagi aja—"

"Ya udah ayo ke kelas. Lagian HP kamu kok bisa tinggal sih?" tanya Nero pada cewek itu sebelum ia kembali menoleh ke arah Dara. "Oh iya, masalah kertas tadi, lo bisa serahin ke gue pas pulang sekolah, di parkiran."

Dara lagi-lagi hanya membalas dengan anggukan.

"Gue tunggu." Kata Nero sebelum ia menarik lembut tangan cewek yang masih memasang wajah kesalnya itu.

Mereka berdua pergi kearah yang berlawanan dengan Dara.

Dara ikut memutar tubuhnya. Memperhatikan dua punggung yang kian melangkah jauh. Dengan berat, ia menghela napasnya. Baru juga dia terpukau dengan Nero. Tapi harus dihentikan secara paksa dengan kenyataan kalau Nero ternyata sudah punya pacar.

"Pacaran kok di sekolah." Desis suara yang mampu membuat Dara terlonjak kaget. Sebenarnya tanpa menoleh pun dia sudah tau itu siapa.

Sangat jelas kalau itu suara Davi.

"Ketua OSIS kok nggak bisa ngasih contoh yang baik." Davi menatap lurus ke depan. Nero dan pacarnya sudah berbelok ke arah koridor lain.

Dara tersenyum, iseng. "Yaudah sih. Sensi banget, lagi dapet ya?"

"Iya. Dapet penyakit mata!" seru Davi sebelum ia berbalik arah untuk menuju kelas.

Dara tertawa geli, "Oh, lo cemburu ya sama Nero?" tanya Dara dengan nada menggoda. "Cie, yang suka sama pacar orang." Dara menyusul Davi dengan langkah kecil.

Davi balik badan. "Lo cari ribut ya, Ra. Nanti gue nggak mau bantuin lo lagi kalau tiba-tiba lo di tanya sama guru."

"Dih, ngancemnya gitu!! Jangan gitu dong... hari ini Bu Hana masuk. Lo tau sendiri matematika gue gimana." Dara memasang wajah memelas.

Tapi itu nggak berguna buat Davi. "Bodo am—ssshh." Davi kembali balik badan. Dia langsung memegang daerah betis hingga pergelangan kakinya secara bergantian.

"Davi?! Astaga, lo kenapa lagi?" tanya Dara yang lari mendekat.

"Jangan deketin gue! Selangkah lo maju, lo bakal nyesel." Sentak Davi yang lagi-lagi berubah menjadi sangat galak.

Dara terdiam di tempatnya. Kaki kanannya yang tadi sempat maju selangkah kembali mundur ke belakang.

Davi pergi menjauh dengan langkah terseok-seok.

Sambil menghela napas berat, Dara menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya selama beberapa detik.

Ia lelah dengan semua hal aneh yang terjadi dengan Davi.

Davi sangat tertutup dan benar-benar tida terbaca.

Dara tidak berharap banyak agar Davi mau memberitahu siapa dirinya sebenarnya. Kenapa dia begitu ditakuti. Kenapa dia selalu berlaku seenaknya di sekolah ini? Kenapa dia tidak mau belajar, ataupun sekedar membawa buku? Padahal dia itu sangat pintar menurut Dara. Karena dia memang selalu membantu Dara kalau Dara nggak ngerti akan suatu materi pelajaran.

Dan tadi, kenapa Davi sangat kesal saat melihat Nero dengan pacarnya? Dara tidak bisa membedakan apakah Davi beneran suka dengan cewek itu apa tidak, atau bisa jadi karena dia memang sudah sadar akan aturan makanya dia marah saat melihat Nero pacaran di sekolah?

Bahkan untuk membaca hal semudah itu saja Dara tidak bisa.

Dara mengusap dahinya dengan tisu yang ia kantongi di saku seragamnya. Karena entah kenapa sekarang dahinya mulai dibasahi oleh keringat dingin.

Ia kembali melangkahkan kakinya ke kelas. Sendirian. Di koridor yang sangat sepi.

"Gue nggak suka ngeliat lo di sekolah ini! Lo pergi! Liat diri lo sekarang? Lo nggak pantes masih ada disini! Gue mohon lo pergi! Gue takut sama lo, gue takut..." Isak tangis dari seorang cewek itu sangat jelas Dara dengar.

Dara menghentikan langkahnya tepat di pertigaan koridor.

Ia melihat ke sudut koridor yang ada di sebelah kanannya. Di sana ada koridor dengan sebuah ruangan buntu untuk menyimpan alat pembersih sekolah yang biasanya digunakan para pekerja untuk membersihkan sekolah.

Koridor yang jarang dilalui, karena memang nggak ada alasan untuk seorang siswa ke sana.

Dara lewat sini juga karena dia merasa kalau lewat sini jaraknya ke kelas semakin dekat.

Ia masih belum beranjak dari sana. Karena matanya masih terus memperhatikan punggung cewek itu yang naik turun. Cewek itu menangis.

Selang beberapa menit, cewek itu balik badan. Dara membulatkan matanya. Ternyata itu si cewek kacamata.

"Apa?! Lo ngapain liatin gue?! Pergi lo cewek gila!!" teriak cewek itu yang lebih mengerikan daripada teriakan hantu-hantu yang sering Dara dengar dari film-film horror.

Dahi Dara semakin mengeluarkan keringat dingin. Telapak tangannya juga basah dan perlahan ikutan dingin.

Ia susah bergerak. Sampai pada akhirnya ia melihat Davi berdiri di koridor yang sama dengannya.

Namun berjarak cukup jauh. Sehingga si cewek kacamata yang mengatai Dara gila itu tidak bisa melihatnya.

Davi menggerakkan tangannya seolah mengajak Dara untuk berlari. Sebelum si cewek kacamata yang sedang meluruh ke lantai itu mendekat ke arahnya.

Dara belum bergerak. Ia malah memperhatikan mereka berdua secara bergantian. Si cewek kacamata yang masih menangis sambil memeluk lututnya erat dengan rambut yang acak-acakan, dan Davi yang masih terus mengajak Dara untuk berlari pergi dari tempatnya sekarang.

Tapi semuanya terasa berat. Kakinya seolah telah terpaku dengan lantai yang dia pijak.

Apa yang terjadi dengannya?

Ini bukan mimpi. Ia sadar akan ini semua. Sampai pada akhirnya ia merasakan kakinya melemas. Sangat lemas hingga ia tidak bisa kembali berdiri. "Kaki gue, kaki gue nggak bisa digerakin." Kata Dara dengan suara bergetar.

Ia berkata pada siapa saja yang bisa mendengar suara kecilnya itu.

Tapi saat ia mengedarkan pandangannya, Davi sudah tidak ada di tempatnya berdiri tadi.

[DSS #1] : ImaginationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang