3. Mem-Bully

1.8K 186 40
                                    


Sasya memasuki gerbang sekolah setelah keluar dari mobil diantar papanya. Sekolah sudah ramai. Masih ada 15 menit lagi sebelum bel masuk berbunyi. Tapi untuk Sasya yang biasa datang pagi, ini bisa disebut kesiangan.

Langkah kakinya terhenti, niat hati mau mengganggu Laura. Tapi sepupunya itu baru saja mengirim pesan balasan kalau Laura sudah ada di kelas.

Sasya mengembungkan pipinya agak kesal. Memasukkan ponselnya ke dalam saku lalu menatap botol plastik di tangan kirinya. Saat berhenti di lampu merah dan melihat penjual asongan, papanya membeli dua botol air mineral yang salah satunya untuk Sasya. Ibu kota sedang musim panas dan papa menyuruhnya untuk banyak minum agar tidak dehidrasi.

Baru saja Sasya akan melanjutkan langkahnya, tapi indera penglihatannya tidak sengaja menangkap sosok Gea. Orang yang dibencinya.

Gea terlihat tertawa dengan dua temannya. Dan Sasya tersenyum getir melihatnya. Bisa-bisanya Gea langsung akrab dengan orang baru, sementara Sasya terjebak dalam perasaan takut mempercayai orang lain lagi akibat yang Gea lakukan dulu.

"Ah, aduh.."

Gea jatuh tersungkur setelah Sasya berlari mendekatinya lalu mendorongnya cukup kencang. Gea meringis, meratapi lututnya yang terasa nyeri.

"Gea, Astaga. Lo nggak papa?" Vika, teman Gea membantunya berdiri.

Sementara Inggita, teman Gea yang satunya menatap Sasya tajam. "Heh! Lo gila, yah?!"

Sasya tetap diam. Berdiri menatap Gea penuh kebencian. Mengabaikan dua teman Gea yang tidak dikenalnya.

"Sasya ...," Gea menatapnya. Menyebut nama Sasya tanpa suara. "Gue ada salah sama lo?" tanya Gea. Namun setelahnya Gea menyesali ucapannya.

Sasya sempat kehilangan kata-kata. Gea sedang bercanda atau bermain drama? Menanyakan pertanyaan lucu yang bahkan Gea sendiri lebih tahu jawabannya.

"Bagus, Ge. Pura-pura lupa dan nggak merasa bersalah," Sasya memaksakan bibirnya tersenyum sinis. Padahal matanya sudah terasa berkaca-kaca. "Perlu gue ingatkan? Gue sebutin satu-satu? Mau dari masalah kecil atau paling besar dulu?"

"Cukup, Sasya!" Gea membentak. Detik berikutnya meringis, merasakan nyeri di lututnya.

Sasya melirik lutut Gea yang ternyata berdarah. Rasa bersalah dan kasihan datang menyerang. Ini keterlaluan nggak, sih? Sejenak Sasya memejamkan mata.

Nggak. Nggak boleh ngerasa bersalah!

Tujuannya membuat Gea merasakan apa yang pernah dirasakannya. Dan ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang Gea pernah lakukan.

"Cukup? Berhenti maksud lo?" Suara Sasya bergetar. "Saat gue yang minta hal itu dulu, apa lo mendengarkan?"

Gea menunduk tidak berani menatap Sasya. Sedangkan Vika dan Inggita mendadak bingung harus melakukan apa. Kalimat Sasya dan reaksi Gea menjelaskan memang ada sesuatu diantara keduanya.

"Nggak kan, Ge?! Lo malah semakin menjadi-jadi!" Sasya menahan suaranya agar tidak berteriak dengan mata yang semakin berkaca-kaca. Mengasihani dirinya sendiri dimasa lalu.

Tatapan Sasya tidak lepas dari Gea. Dan Sasya baru menyadari, ternyata dia cukup berani. Biasanya Sasya menundukkan pandangan saat di depan banyak orang. Tapi sekarang Sasya berdiri menantang Gea di tonton dua temannya dan siswa siswi lainnya.

Setiap orang pasti punya keberanian, hanya kadang bingung cara untuk memulainya. Dan rasa marah juga benci kadang bisa membuat seseorang lupa diri.

Sasya menyeringai dengan mata berbinar menatap botol plastik yang sedari tadi dipegang dan sempat diminumnya saat di dalam mobil. Tanpa bicara, Sasya membuka tutup botolnya lalu tangannya terulur untuk menuangkan sisa air mineral itu pada Gea.

After RWhere stories live. Discover now