37. Karena-Nya

12.8K 834 18
                                    

“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu'”. (Q.S. Al-Baqarah [2] : 45)

***

Rafiq kembali ke ruangan Ayash. Pemuda itu terlihat sedikit murung. Ayash dan Afifah merasa heran, tak biasanya pemuda seceria Rafiq memasang wajah semenyedihkan itu.

"Fiq!"

Atau mungkin selama ini semua keceriaan Rafiq hanya sebuah kamuflase luka.

"Rafiq!"

"Eh?"

Rafiq tersentak dari lamunannya ketika akhirnya suara Ayash berhasil menembus pendengarannya. Ia menoleh. Ayash dan Afifah menatap Rafiq dengan pandangan aneh antara kepo dan kasihan.

"Ada apa? Apanya yang sakit, Yash? Lo mau di suntik?" Tanya Rafiq salah tingkah.

Dahi Ayash berkerut melihat tingkah Rafiq yang semakin lama semakin aneh.

"Harusnya gue yang nanya itu ke elo. Lo baik-baik aja?" tanya Ayash.

"I'm fine," jawab Rafiq sok inggris.

Afifah hanya geleng-geleng kepala melihat interaksi dua pria di depannya tanpa mau menyela.

"Bohong lu! Keliatan dari komuk lo juga."

"Terus, komuk yang bener tuh kek mana?" Rafiq melipat kedua tangan di depan dada, agar tidak terlihat salah tingkah saja.

"Entahlah, lo tampak menyedihkan."

Ayash, itu kejam!

Mulut Rafiq komat-kamit. Pria itu mendumal sebal karena jawaban Ayash tadi. Namun, Rafiq tidak pandai menyembunyikan ekspresi patah hatinya, iya. Rafiq patah hati. Tapi, apa perlu hal itu di jelaskan pada Ayash?

"Fiq, lo poteq?" Tanya ayash, seakan mampu membaca pikirannya.

Rafiq melempar deathglare.

Jangan katakan!

"Jangan-jangan, lo .…"

Jangan katakan!

"Nafisa, ya?"

Ayash mengatakannya.

Rafiq mengusap kasar wajahnya. Dia seperti ketahuan sudah menyembunyikan sesuatu meski terdengar menggelikan. Namun, rafiq tidak mau berterus terang dan memilih menyimpan rapat rasa itu sendirian.

"Bisa tolong jangan dibahas? Pikiran gue lagi gak tenang," sahutnya, mencoba tidak memperpanjang obrolan.

"Lo udah salat?" Tanya Ayash lagi, Rafiq mengangguk.

"Kalau begitu, jadikan sabar dan salat sebagai penolong. Lo jangan lemah gitu, Raf. Bersabarlah. Hujan bisa reda, badai bisa berlalu."

"Hmm," Rafiq mengagguk, "gue udah salat. tapi, masih sering gak tenang."

Ayash mengangguk maklum, suaranya masih serak. "Adakah yang salah dengan salat lo selama ini? Ya. Mungkin. Lalai? Mungkin. Lalai dalam waktu, lalai dalam niat, lalai dalam bacaan, lalai dalam gerakan, lalai dalam ingatan, lalai dalam penghayatan. Mungkin. Jika demikian halnya, kita masih celaka, kawan. Celaka. Astaghfirullah'aladzhim."

"Astagfirullah," desis Rafiq samar. Ia sadar sekarang, dalam shalatnya lagi-lagi selalu ada bayangan Nafisa yang mengganggunya. Dan bagaimana Allah akan mengabulkan doanya, jika shalatnya saja absurd seperti itu?

Bukankah dalam salat lebih baik ingat mati. Sebab, mati itu pasti.
Mati itu tak butuh sebab.

"Jangan terlalu sibuk mikirin makhluk-Nya," kata Ayash.

Rafiq tersenyum kecut. Kenapa tak dari dulu ia berterus terang tentang hal ini, agar ia bisa lebih mengerti tentang makna lain dibalik kata saling mencintai karena-Nya.
Dia pernah berpikir demikian,
Tak bisa rasanya, tak sanggup tanpanya, tak bisa lepas darinya.

Kini, ia harus menyanggupi melakukan semua hal tanpa Nafisa. Jika diminta untuk meninggalkan, melupakan, menjauh ia akan berusaha kuat melakukan tanpa keraguan.

"Allahu yahdiik!" Kata Ayash lagi, "semoga lo dapet hidayah, karena lo selalu butuh hidayah. Meski lo orang yang paling bertakwa. Meski lo orang yang paling berilmu. Lo tetep membutuhkan hidayah sampe lo mati."

Dan Rafiq tak bisa menyela lagi. Ia hanya bisa beristighfar dalam hati.

"Jangan berpikir untuk membuatnya jatuh cinta jika lo tak berniat untuk menikahinya. Kalo lo belum bisa menjaga salat, mustahil lo bisa menjaga anak gadis orang."

"Istiqamah tidak selucu itu, Kang," susul Afifah.

"Iya. Iya," Rafiq menghela napas, "gue paham, makasih banget, gue mau nangis neh!"

Ayash terkekeh mendengar jawaban Rafiq. "Lo harus inget, gimana perjuangan gue buat milikin Afifah. Mesti kena tikung Faiz dulu baru gue sadar apa arti keberanian. Keberanian untuk mengungkapkan meski pahit di rasakan."

Ayash menggenggam tangan afifah lembut. Bibir pucatnya tersenyum.

"Lagi sakit aja lo tebar keromantisan segala jyjyk gue," maki Rafiq kemudian.

"Risiko jadi jomblo abadi, Fiq."

Rafiq mencebik. "Sembarangan luh!"

Ayash tertawa, "sekarang lo boleh ragu-ragu dengan perasaan lo, Fiq, tapi nanti ada saatnya lo bakal ngerasa kehilangan ketika perasaan lo tak mampu tersampaikan."

"Berisik lo, Yash!"

"Gue cuma ngasih saran, Dul."

Rafiq mencibir, "Yash, apa yang lo lihat mudah, belum tentu mudah di kerjakan. Maka hargailah apa yang orang lain coba usahakan. Lo juga dulu galau-galau gaje pas tau bini lo di lamar dokter, ah elah."

Ayash melempar Rafiq dengan buah jeruk yang ada di atas meja dekat ranjang. Lemparan itu mengenai perut Rafiq. Pria itu mengaduh, meski ayash sedang sakit, tapi lemparannya kuat.

"Ayash! Sakit, nyet!"

"Diem lo! Gue bawa air panas terus gue siram ke muka lo!" Ancam Ayash senewen.

Rafiq tertawa menyebalkan. Ia sudah kebal dengan kata-kata sahabatnya yang psikopat itu. "Lu maen lempar-lempar, kek cewek kalo lagi pms aja. Banci lo!"

"Banci itu yang ada di dapur ya, Kang?" Tanya Afifah.

"Bukan Neng, itu mah buat mukul suami, kalau suami selingkuh."

"Pake aja wajan sekalian!" Cibir Ayash.

Afifah tertawa. "Yang isinya minyak panas, terus kita siram ke wajahnya, ya?"

"Njerrr! Bini lo lebih psikopat, Yash."

Ketiga orang itu pun tergelak bersama.

***

Alig, cerita ini bisa berubah jadi genre horror jika lau bahas gituan mulu, yaelah.

Terima kasih bangeett yang udah sering vomment, sampai-sampai cerita absurd ini dapet ranking 15 in spiritual.

Yaelah, segitu juga gw seneng loh.
Lebih seneng kalo berfaedah T_T

Best regards^^

ISTRI IMPIAN ( R E M A K E )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang