6. Senyuman Ajaib

14.7K 973 5
                                    


***

"Ummi kamu baik banget, jarang aku bertemu ibu sebaik itu."

Afifah sibuk mengoceh panjang lebar ketika tengah berdua dengan Ayash di dalam mobil. Rencananya Afifah akan di antar pulang oleh Ayash meskipun Aisyah berulang kali menegaskan agar Afifah jangan dulu kemana-mana. Namun Afifah merasa tak enak hati, ia merasa terlalu banyak merepotkan keluarga Ayash.

Ayash yang sedari tadi diam dan tetap fokus menyetir hanya menanggapi dengan deheman. pria itu memang dingin sekali, Ayash terlalu lama tidur di Kutub utara sepertinya.

"Seneng amat. emang orang tua kamu enggak begitu?"

Afifah menoleh pada Ayash. ia merasa jengkel juga dengan nada bicara Ayash yang terdengar sangat dingin.

"Kamu suka makan es ya? Dingin amat dari kemarin," Afi merajuk sebal.

"Dan sejak kapan gadis sangar dan galak ini berubah jadi hangat? mungkin AC di mobil ini mati."

Ucapan Ayash yang barusan itu membuat Afifah sebal. Alih-alih ingin memperbaiki hubungan pertemanannya dengan Ayash, malah lelaki itu yang lebih dulu membuatnya kesal.

"O, jadi gitu.." gadis itu tak menyahut lagi, ia merasa akan sia-sia jika berdebat dengan Ayash, lelaki di sebelahnya ini selain dingin juga keras kepala.

Ayash tak menyahut. Ia masih tetap mengemudikan mobilnya dalam diam, iya dalam diam sih. Namun pikiranya bersliweran kemana-mana.

"Dunia selalu terasa sempit." Ayash bergumam namun terdengar oleh Afifah.

"Hmmm.."

"Sempit ketika kita harus bertemu di kejadian yang tak di sangka, tak bisakah kau sedikit menjaga diri aku tak mau nanti menemukanmu dalam kondisi tak wajar,"

Ayash terdengar sedang mengomel, namun itu terdengar lebih menyenangkan daripada melihatnya terdiam saja seperti tadi.

"Menemukanku sesederhana itu, ya?"

Ayash mencibir, "sederhana dengan penuh marabahaya. Kuharap setelah ini kau tidak jatuh tertimpa tangga lagi."

Afifah mendengus sebal, namun mengingat lelaki di sebelahnya ini adalah pahlawannya ia berusaha menghormati.
"Namaku Afifah."

"Ayash."

"Mas, belum nikah--"

CIITTT

" ...asstagfirullah, Mas. Kamu sehat?!"

Afifah mengusap dadanya ketika Ayash ngerem mendadak membuat jantung Afifah nyaris jatuh ke dasar perut.

"Sorry, tadi ada kucing lewat. Mana tuh dia?" Sangkal Ayash.

Ayash kaget sih sebenarnya mendengar gadis di sebelahnya bertanya tentang statusnya. Untuk apa? Toh semuanya juga memiliki jodohnya masing-masing, karena menanti jodoh itu sama seperti menanti kematian.

Ayash menghela napas. Gadis di sebelahnya ini memang terlalu banyak bicara, apakah semua wanita seperti itu? Oh iya itu wajar saja karena wanita lebih mengedepankan perasaan dari pada logika.

"Semua sudah tertulis dalam lembar taqdir-Nya. Jodoh itu sudah ada bahkan sebelum tangisan pecah ketika terlahir ke dunia. Lembaran di Lauh Mahfuzh sana sudah kering tintanya. Semua sudah selesai."

Afifah cengo kehabisan kata. Perkataan Ayash memang dingin. Namun ada makna lain di baliknya.

"Biarlah siapa, kapan, dan di mana pertemuan itu menjadi urusan Allah. Urusanku adalah senantiasa berbuat baik, selalu berikhtiar dengan cara yang baik, dan tak pernah bosan memanjatkan doa terbaik."

"Tidakkah kau merasa kesepian?"

"Panggil Ayash saja," Kata Ayash, ia memutar setirnya menuju sebuah perumahan.

"Berdua atau sendiri, tugas kita tetap beribadah kepada Allah."

"Hmmm," Afifah diam-diam tersenyum.

Ayash yang melihatnya seakan merasakan aura lain dari gadis yang selalu di anggapnya sangar itu. Ia memang tidak mudah jatuh hati pada gadis manapun, sebab perasaannya sudah di kurung sedemikian rupa. Jika seandainya saja ia jatuh Cinta, maka ia akan berusaha untuk menghalalkannya.

"Isi saja hari-hari dengan mencintai-Nya. Insya Allah, kelak kita dipertemukan dengan seseorang yang juga mencintai-Nya."

"Amiin, terima kasih, mas-- eh, Ayash."

Ayash tak menyahut. Ia beristighfar dalam hati, bagaimanapun juga Afifah adalah wanita dan Ayash adalah pria. Mereka harus ingat batasan bukankah mereka sedang berada di mobil yang sama.

***

"Ayah...."

Afifah turun dari mobil lalu berlari mendapati Ayahnya. Afifah memeluk sang ayah yang sudah menunggu di luar rumah. Ya, Ayash sudah berhasil mengantar gadis itu pulang ke rumahnya meski perasaan Ayash saat ini terasa campur aduk.

"Alhamdulilah, kamu pulang Afi. Dari mana saja? Ayah cemas," Ujar Husein di sela-sela pelukan mereka.

"Maaf sudah membuat Ayah khawatir. Ada sedikit musibah di jalan saat aku pulang, yah."

"Inalillahi, kenapa nak?"

Afifah terkekeh.
"Tidak apa-apa ayah," ia pun melepas pelukannya. "Oh iya, ini Ayash. Dia yang menyelamatkan Afi kemarin."

Husein tersenyum pada Ayash. Di lihatnya penampilan Ayash yang rapi dari atas kebawah, juga senyuman ramahnya yang membuat Husein ikut tersenyum.
Menyadari bahwa Husein mendekatinya, Ayash pun langsung mengulurkan tangan lalu mencium tangan beliau.

"Terima kasih, Nak." Husein menepuk pundak Ayash.

"Sama-sama, Om. Oh ya kalau begitu saya permisi pulang."

"Kok sebentar?" Ujar Afifah. "Tak mau masuk dulu?"

Husein ikut menatap Ayash. Ia juga berharap Ayash mau masuk kedalam rumah sederhana miliknya, sekedar mengobrol tentang pemuda itu atau tentang hal apapun.

"Saya ingin sekali, tapi ada tugas yang tidak bisa saya tinggalkan, Om. Kapan-kapan insha Allah, saya berkunjung kesini lagi," ujar Ayash ramah karena tak enak hati jika harus menolak, namun ia harus bekerja sekarang.

Mau tak mau Husein memaklumi. Dari penampilanya saja Ayash ini memang orang sibuk. Jadi ia tak terlalu banyak bertanya.

"Kalau begitu saya permisi.." Ayash melirik Afifah sejenak. Ada binar lain dimata gadis itu, Ayash tertunduk sesaat.

"Hati-hati, Nak."

"Iya om. Assalamuallaikum"

"Wallaikumsallam."

Ayash pun masuk kedalam mobilnya, melupakan perasaan aneh barusan. Ia lalu menghidupkan mesin setelah berpamitan dengan Husein.

Dan Afifah.

***

Part ini dikit ya, ide lagi Mentok hehe. See you

ISTRI IMPIAN ( R E M A K E )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang