42. Kehilangan

14.5K 748 11
                                    

"Hah? Nafisa sudah berangkat?!"

"Iya, Tong! Cepetan elah, lo mau nyesel emang?"

"Gue sibuk di sini, Yash!"

"Jangan sampe keacuhan lo bikin lo nyesel seumur hidup. Kapan lagi lo nyatain perasaan ke Nafisa?"

Ayash mengomel di telepon sampai Rafiq harus menjauhkan ponselnya dari telinga karena kebawelan Ayash mirip emak-emak.

Rafiq mengusap rambutnya kasar, sembari menghela napas. Ia berterima kasih pada Ayash dan meminta Ayash menunggunya di sana sementara dirinya on the way Bandara.

Rafiq menyalakan motor ninja hitamnya, pemuda itu memakai helm dengan tergesa kemudian pergi meninggalkan Rumah sakit tanpa aba-aba sembari berdoa semoga saja ia tidak terlambat.

***

"Sampai berjumpa lagi, Nafisayang." Afifah memeluk sahabatnya dengan berlinang air mata, sahabatnya yang sudah sekian tahun menemaninya berjuang bersama kini harus pergi.

Ayash yang melihat istrinya berpelukan itu hanya tersenyum, ia mengedarkan padanganya ke sekeliling bandara, memastikan apakah Rafiq sudah tiba atau belum. Nafisa akan belajar ke London, ia mendapat beasiswa dari kampusnya. Antara berat dan bahagia Nafisa harus rela meninggalkan Indonesia dengan keadaan seperti ini.

"Kabarin aku kalau sudah sampai." Afifah menghapus air mata di pipinya begitu pun dengan Nafisa, keduanya kemudian terkekeh.

"Insyaa Allah, jaga buah hati kamu baik-baik, ya. Kalau lahiran kabarin aku."

Nafisa menghela napas, ia sangat berat untuk pergi, Rafiq juga belum datang sama sekali. Gadis itu mengharapkan pemuda itu datang, ia ingin melihat Rafiq untuk terakhir kalinya. Ia sangat mengharapkan lelaki itu datang, tapi kapan?

"Aku berangkat dulu, kalian hati-hati! Ayash, jaga Afifah untukku. Jangan menyakitinya, sungguh aku tidak akan terima jika ada seorang pun yang menyakitinya." Pesannya pada Ayash, Ayash mengangguk sembari mengacungkan dua jempol pada Nafisa.

Nafisa sudah pergi, dan Rafiq belum terlihat sama sekali.

"Nafisa!"

Rafiq datang dengan terengah menuju tempat mereka, Ayash dan Afifah lega ketika melihat pemuda itu akhirnya sampai di hadapannya tepat waktu, meskipun napasnya terengah tak beraturan. Rafiq berlari menuju Nafis sementara Ayash dan Afi lebih memilih untuk meninggalkan mereka sebentar di sana.

Masih beberapa langkah di depan Nafisa. Pemuda berkemeja putih itu menatapnya dengan binar harapan, sosok gadis berkhimar hitam itu hanya menunduk, berusaha mengenyahkan kesedihan di hatinya.

"Kamu akan pergi?"

Nafisa menganggukkan kepalanya, "Iya."

Rafiq menunduk, ia merasa telah di dorong dengan kuat ke dasar jurang kepedihan. Melihat gadisnya akan pergi dan tak mungkin bertemu lagi.

"Berarti tak ada lagi kesempatanku untuk bisa bersamamu," ucap Rafiq pelan, "Aku ingin memberikan kenang-kenangan untukmu, ambilah." Nafis melihat tasbih berkilau di tangannya.

"Ambilah, ini untukmu." Nafis mengambilnya.

"Terima kasih," sahutnya terbata.

Rafiq mengangguk. "Jadikan itu sebagai temanmu. Kamu takkan sendirian, aku masih di sini sampai Allah yang pertemukan kita nanti."

Nafisa menahan rasa sesak di dalam dada dengan sekuat tenaga. Ia akan meninggalkannya, benar-benar meninggalkannya, meski dia sadar. Separuh hatinya tertinggal di sana bersamanya.

"Jangan menungguku, aku akan pulang jika sudah waktunya."

Rafiq terbungkam mendengar kalimat Nafisa, kalimat itu sederhana namun mampu merobek hati Rafiq, menusuknya tepat di tengah.

Rafiq mendongak, wajahnya terlihat biasa, namun tidak dengan hatinya. Jika di gambarkan hati itu sudah berdarah-darah dari awal, bahkan sebelum Nafisa sempat membuatnya semakin perih.

"Karna cinta tau kemana hatinya akan pulang, kan? Maka, berpetuanglah sesukamu. Kalau kamu benar cinta, pemandangan seindah apapun tak akan membuatmu menetap. Karena aku percaya, Kau tetap akan pulang. Itulah sebabnya, aku berusaha untuk tidak terlalu mengkhawatirkan sesuatu yang memang sudah menjadi kehendak-Nya."

Ada cairan bening yang tidak tertangkap oleh penglihatan Rafiq di mata gadis itu, air mata pertama yang keluar bersamaan dengan kalimat Rafiq untuknya.

"Hatimu lebih paham siapa yang memang pantas berada di dalamnya, kan? Jika memang akulah orangnya, menunggu selama apapun tak menjadi masalah. Karna ku tau, kau pastilah yang terbaik sesuai pilihan-Nya. Tapi, jika ternyata hatimu pulang menuju hati yang lain, aku akan tetap bahagia."

"Mengapa?" Tanya Nafisa, suaranya sedikit bergetar.

Rafiq tersenyum getir. "Setidaknya, selama menunggu, aku belajar setia untuk satu hati saja. Dan kini tinggal mengganti nama, merubahnya menjadi sosok pemilik yang baru.
Selama takdir belum menentukan akhir, maka berbahagia saja untuk kita berdua, masih dapat menikmati kesendirian tanpa campur tangan makhluk yang lain. Menikmati petualangan-petualangan tanpa terikat dengan rasa yang lain."

"Aku tidak tau bagaimana dengan kamu. Intinya, aku bahagia. Menyimpan namamu hanya dalam hati saja dan cukup mengupayakannya di dalam doa."

Rafiq yang paling terluka. Dalam diam dia menahan rindu, dalam kesunyian tangisnya pecah, di atas sajadah dia adukan semua kepada sang pencerah. Kau pikir itu mudah?
Padahal dia menderita, dia biarkan rasa itu terkubur dalam bisu, menatap gadis itu dari jauh saja dia rapuh.

"Aku minta maaf," sahut Nafisa, ia mengenggam tasbih yang ada di tangannya. Menghapus air mata yang sempat tumpah, seperti inikah pedihnya berpisah?

"Pergilah, kejar keinginanmu, tak usah menoleh. Teruslah berjalan." Senyuman Rafiq tercetak seiring getaran hatinya yang tak teraba.

Nafisa mengangguk, ia menghapus air matanya, ia akan pergi, membawa serta kenangannya bersamanya.

Rafiq tersenyum lirih, "Aku mencintainya dan membiarkannya pergi kemana pun bahagia membawanya." pelan, pelan sekali. Hanya Allah yang mengetahui hatinya yang sedang bersuara kini.

Cinta selalu tahu kemana dia akan kembali, kan? Karena itu sejauh apapun Nafisa pergi darinya, jika dia adalah jodohnya maka ia akan datang lebih dekat.

Ingin rasanya Rafiq memejamkan matanya sejenak, dan berharap ini hanyalah mimpi, namun terlalu nyata jika hanya sekedar di anggap sebuah mimpi.

Namun yang lebih sulit dari ini, akankah ia bisa melalui hidup tanpanya?

***

ISTRI IMPIAN ( R E M A K E )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang