13. Khitbah terselubung

14.7K 852 8
                                    

***

Beberapa minggu kemudian.

Semilir angin meniup jatuh dedaunan yang sudah menguning di atas pohon, sinar matahari yang tertutup gumpalan awan tipis menambah kesejukan suasana di salah satu rumah sederhana.

"Tumben siang-siang begini menyempatkan diri untuk sekedar mampir ke rumah kami, sedang tidak sibuk?"

Faiz --sang tamu-- itu terkekeh mendengar perkataan Husein, tentu saja ia kemari dengan suatu alasan, berbekal keberanian ia berani menjejakkan kaki di salah satu rumah yang sudah ia rencanakan tempo hari.

Di sela-sela obrolan mereka, Alif datang dari dalam rumah sembari membawa dua cangkir teh manis yang masih hangat di atas sebuah nampan bermotif bunga.

"Minum dulu atuh, pak dokter juga, maaf ya, di rumah cuma ada ini," ucap Alif ramah sembari meletakkan dua cangkir teh manis itu ke atas meja.

Faiz nyengir sesaat.
"Tidak apa-apa, kakakmu gak ada ya, Lif?"

Alif hanya mengangguk sebagai respon, "kak Afi masih mengajar, mungkin sekarang dia sedang dalam perjalanan pulang."

Mendengar jawaban Alif membuat Faiz mengangguk. Seakan ia mendapat peluang bagus untuk menyatakan niatnya pada Husein hari ini, meskipun sepertinya beliau akan memberikan jawaban abu-abu.

"Oh ya, Alif masuk lagi kalau begitu, silahkan di minum." kedua lelaki berbeda usia itu mengangguk dan Alif akhirnya kembali berlalu ke dalam rumah.

"Om, gimana sudah membaik?" tanya Faiz sedikit berbasa-basi sebelum mengungkapkan niat sebenarnya datang ke rumah Husein, tentu saja Faiz tak sembarangan bertandang kerumah Afifah, selain menanyakan kabar ayahnya ada maksud lain juga.

"Alhamdulillah, nak Faiz."

Faiz ikut tersenyum lega mendengar respon Husein. Ia menimbang-nimbang kalimat apakah yang cocok untuk memulai obrolan, apakah langsung to the point saja? Ini memang akan terkesan mendadak bagi Husein, karena Faiz tak ingin menunda niat baiknya saat itu juga.

"Nak Faiz datang ke sini tak hanya sekedar untuk mengunjungiku bukan? Pasti ada maksud lain," ujar Husein seakan mampu membaca apa yang ada di pikiran Faiz, dilihat dari mimik wajah Faiz yang seperti itu tentu saja membuat Husein curiga.

"Ah sebenarnya..." Faiz menjeda ucapannya sejenak, walaupun hatinya berdebar ia tetap berusaha mengatur perasaannya.

"Saya mencintai putri Om.." Faiz menghela napas, "apakah saya boleh memiliki Afifah seutuhnya?"

Yang barusan itu sukses membuat Husein terperanjat kaget, ia berharap telinganya masih berfungsi dengan baik untuk mencerna kalimat yang di lontarkan seorang dokter muda di hadapannya.

Husein terdiam cukup lama. Memang perlu waktu baginya untuk berpikir,  ia sudah menduga endingnya akan seperti ini mendengar Faiz ingin mengkhitbah putri sulungnya sendiri, apakah Husein akan memberikanya restunya itu.

"Kau serius? Kau sudah memikirkan hal ini matang-matang?" Tanya Husein dengan mimik serius yang membuat Faiz ikut kelu beberapa saat.

"Insya Allah, Faiz sudah mantap, Om. Namun Faiz ingin meyakinkan Om juga. Apa Om memberi restu untuk saya?" Tanya Faiz lamat-lamat, sepasang matanya menatap Husein teduh.

Faiz sudah dua bulan mengenal Afifah, apakah wajar jika rasa itu mulai hadir? Apakah salah jika Faiz ingin memperjuangkan Afifah dengan cara yang berani? Apakah salah juga jika Faiz berterus terang pada Husein?
Tidak Faiz sama sekali tidak salah. Yang salah adalah jika dia memberikan harapan tanpa kepastian.

"Saya mencintai Putri om, meski tak sebesar cinta saya pada Allah. Namun apa boleh dikatakan karena yang medatangkan rasa cinta ini, yang memekarkan hati ini adalah dari-Nya, dan sungguh saya hanya bisa menerimanya."

ISTRI IMPIAN ( R E M A K E )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang