Part 21

717 56 0
                                    

Part 21

•°•

(Namakamu) hanya bisa diam membisu, pikiran nya melayang entah kemana. Dan hatinya, seakan meraung menahan sakit.

"Hei (Nam), kok diem aja? Lo gak mau jawab pertanyaan gue?" Dimas menggerutu kesal.

(Namakamu) kembali menunduk. Bukannya ia tak mau menjawab. Tapi, rasanya ini sulit, penjelasan yang akan dia ucapkan ini terasa menyakitkan.

"(Nam)! Lo kenapa sih?! Ngomong sama gue, lo kenapa?"

Musnah sudah jawaban yang akan gadis itu ucapkan, (Namakamu) paling tidak bisa dibentak apalagi suasana hatinya sedang memburuk seperti saat ini. Air mata mulai mengalir deras dari kedua bola matanya diiringi dengan isak kan menyedihkan yang keluar dari mulutnya.

Hatinya sakit, bahkan rasa sakit itu melebihi rasa sakitnya saat mendengar penjelasan Ari tadi.

Dimas mendekap (Namakamu) dengan tulus, membuat isak tangis (Namakamu) sedikit demi sedikit mereda. Tangan (Namakamu) tergerak untuk membalas pelukan itu, namun hatinya memaksanya untuk tetap diam.

Sekarang ucapan tulus seseorang mulai menyentuh segenap hatinya yang sakit itu.

"Maafin gue ya (Nam), gue udah ngebentak lo, gue udah marah-marahin lo, padahal lo gak salah. Yang lo lakuin itu bener, lo cuma mau perjuangin seseorang yang seharusnya lo dapetin. Gak kayak gue yang bisanya cuma diem tanpa ngelakuin apapun buat perjuangin orang yang gue cintai. Mungkin gue iri sama lo. Padahal gue sahabat lo, seharusnya gue ngedukung lo. Bukan nya malah ngehalangin jalan lo. Untuk kali ini gue janji sama lo (Nam).
Kalau lo maafin gue, gue gak bakal kayak gitu lagi. Lo bebas curhat atau ngeluarin semua unek-unek lo ke gue. Gue sayang sama lo (Nam)."

Jujur saja, sebenarnya Dimas tak ingin mengatakan ini. Yang ingin dia katakan sebenarnya adalah tentang perasaannya. Dan mulutnya malah mengatakan hal yang sebaliknya. Sakit rasanya, harus mengorbankan perasaannya demi seseorang yang ia sayangi.

Dimas hanya tak ingin memperkeruh suasana. Hatinya juga sedang terluka. Melihat (Namakamu) menangis terisak seperti ini, membuat Dimas kembali teringat akan momen terakhir perjumpaan nya dengan kedua orangtuanya.

flashback on

Dimas kecil tengah sibuk memandangi kesibukkan yang terjadi di rumahnya pagi hari ini. Umurnya saat ini masih 12 tahun.

Papanya terlihat tengah menyeret dua buah koper, membawanya menuju teras rumah dan seorang supir segera meletakkannya kedalam bagasi mobil.

Dimas kelihatan santai, karena kedua orangtuanya sudah sering pergi jauh. Meninggalkan dia seorang diri ditemani Oma nya yang sudah tua juga para pembantu dan beberapa supir yang bekerja dirumahnya.

Mamanya menghampirinya dengan mata yang terlihat berkaca-kaca seperti menahan tangis. Dimas yakin, sekali saja mamanya berkedip air mata itu pasti akan jatuh.

"Dimas, kamu baik-baik ya dirumah. Jangan nakal, kalau udah pulang sekolah langsung pulang jangan keluyuran kemana-mana lagi ya. Kamu gak mau bikin mama sama papa cemas kan?" peringat mamanya diselingi sebuah pertanyaan sambil memeluknya erat.

Dimas merasa sedikit aneh, dengan sikap Mama nya. Tak biasanya mamanya bersifat se posesif ini, membuat Dimas sedikit menaruh rasa curiga.

"Dimas udah tau kali ma. Dimas kan udah gede dan udah bisa bedain mana yang bener dan mana yang salah. Jadi tanpa Mama kasih tau, Dimas pun udah tau. Dimas janji kok, Dimas bakal nurut sama Oma selagi Mama sama Papa gak ada. Mama sama Papa hati-hati ya disana, jangan terlalu capek dan stres. Dimas sayang sama Mama dan Papa" ucap Dimas dibarengi dengan senyuman manis yang selalu ia perlihatkan. Dimas tak ingin membuat orangtuanya khawatir.

"Iya nak, Mama percaya sama kamu. Mama sama Papa juga sayang sama Dimas. Kamu, juga harus sayangi Oma seperti kamu sayang sama Mama dan Papa. Dimas harus terus nurut apa kata Oma walaupun Mama sama Papa gak ada disamping kamu."

Mamanya mulai menangis terisak-isak, lalu mempererat pelukannya di tubuh Dimas.

"Mama kenapa jadi nangis, Dimas bikin Mama sedih ya? Mama jangan nangis ma, Dimas kan udah janji sama Mama buat nurutin semua perintah Mama. Mana mungkin Dimas berani ingkari janji Dimas. Dimas kan gak mau jadi anak durhaka." Dimas menghapus air mata yang membasahi pipi kanan dan kiri mamanya menggunakan kedua tangannya.

"Papa sama Mama pergi dulu ya Dim, ingat apa kata Mama kamu tadi!" ucap Papanya.

"Iya pa." jawab Dimas santun.

Dimas menyalami tangan Mama dan Papanya, kemudian melambaikan tangannya ke arah mobil yang mulai menjauh membawa kedua orangtuanya menuju bandara untuk berangkat ke Jepang untuk urusan pekerjaan.

Tapi rasanya kepergian Mama dan Papanya kali ini sangat berat dia terima, entah karena apa. Dimas juga tak tahu. Perasaannya juga tak enak.

Hingga tak terasa sudah tepat 2 minggu telah berlalu. Papa juga Mama nya Dimas tak kunjung kembali. Bahkan kabar mereka disana juga Dimas tidak tahu, sebab orangtuanya tak pernah menghubungi nya lagi, panggilan dan pesan yang selalu ia kirimkan bersama Oma nya juga tidak pernah direspon.

Biasanya kalau cuma pergi untuk menyelesaikan pekerjaan, orang tua nya akan kembali dalam waktu tujuh atau paling lama sepuluh. Tak pernah sampai berminggu-minggu seperti ini.

Dimas jadi gelisah, sudah dua jam lebih dia hanya sibuk mondar-mandir kesana kemari mencemaskan keadaan orangtuanya.

Omanya juga sibuk menelfon kesana-sini demi mendapatkan kabar yang jelas dari Papa dan Mama Dimas, namun nihil semua yang dilakukan tak ada hasilnya. Tetap tak ada yang mengetahui keadaan orangtuanya.

Hingga tiba-tiba handphonenya berdering sangat kuat, menandakan ada sebuah panggilan masuk. Dengan secepat kilat, Dimas meraih handphonenya dari atas nakas, berharap itu panggilan dari orang yang dicemaskannya.

Benar saja, itu merupakan panggilan dari Papa nya.

Dimas segera memgangkat panggilan itu penuh semangat lalu menggenggam nya si samping telinganya.

"Halo, Assalammualaikum" sapa Papa nya dengan suara serak.

"Papa, Papa sama Mama baik-baik aja kan disana? Kenapa Papa dan Mama belum pulang? Masih ada kerjaan ya?" tanya Dimas berturut-turut.

"Dimas.." Papa nya mengambangkan kalimatnya.

"Iya pa. Ada apa?"

"Mama kamu Dim, Mama kamu..."

flashback off

Sudahlah, Dimas sudah tak ingin lagi mengingat kisah yang berakhir menyedihkan itu. Miris rasanya, harus kehilangan orangtua dalam usia yang terbilang masih muda dan masih sangat membutuhkan hangat nya kasih sayang juga perhatian dari mereka.

Dimas menatap (Namakamu) cukup lama, guna membuat pikirannya sejenak melupakan memori masa lalu yang menyedihkan itu.

"Gue khawatir banget sama lo tadi, gue gak mau kejadian yang bikin lo masuk rumah sakit itu terulang lagi. Gue gak mau liat lo sakit lagi." Sarat kekhawatiran itu sangat jelas terlihat.

Ungkapan kekhawatiran Dimas membuat isak tangis (Namakamu) sejenak terhenti. Hatinya seakan cerah lagi. (Namakamu) senang sebab Dimas kembali bersikap baik seperti sedia kala. Sebab gadis itu sangat membenci sifat galak Dimas. Rasanya batin nya sakit sekali jika dibentak atsu dimarah-marahi seperti tadi.

"Lo mau maafin gue?" tanya Dimas lembut.

Senyuman yang merekah di bibir (Namakamu) cukup untuk menjadi isyarat bahwa (Namakamu) mau memaafkan nya.

Dimas sedikit bergidik, merasakan debaran hebat di jantungnya. Juga satu fakta yang terungkap bahwa senyuman manis (Namakamu) lah yang menjadi salah satu penyebabnya.




see you next part

29 April 2017

Akankah Dia? [√]Where stories live. Discover now