26. kehilangan tak berupa.

10.4K 697 8
                                    

"Menikahlah dengan orang yang bertaqwa. Sebab jika ia mencintaimu ia akan memuliakanmu. Dan jika ia tidak mencintaimu ia tidak akan pernah menghinakanmu"

-Hasan al-basri-

***

"Dia orang yang mau ta'aruf sama aku, ayah?!" Afifah membulatkan matanya mendengar perkataan sang ayah.

Sewaktu Afifah pulang tadi Husein mengajaknya berbicara empat mata, dan dengan tenangnya ia mengatakan bahwa ia akan menentukan calon menantu pilihanya.

"Siapa dia?" Afifah masih tak mampu melawan rasa keterkejutannya.

"Itu rahasia. Kau pasti suka padanya, Nak. Meski tak seshaleh para sahabat namun Ayah yakin, dia bisa menjadi pemimpin yang baik untukmu, nak."

Afifah menghela napas berat, ia tak menyangka akan secepat ini.
Lalu bagaiman dengan Ayash? Lelaki itu keduluan lagi, tak bosankah ia berupaya sebagai lelaki pengecut yang hanya bisa berlari dari kenyataan. Tak bosankah ia terus menerus menyakiti hatinya dan berakhir dengan rasa sakit yang sama, mengingat Ayash seakan menelan sebongkah duri baginya. Belum cukup Afifah berusaha menelan kenyataan menyakitkan tentang Ayash, sekarang ada kenyataan baru lagi yang harus ia telan secara pahit. Afifah tahu Ayash memang tak mungkin datang kembali padanya.

"Dengarkan ayah," Husein menatap Afifah serius. Ada binar harapan yang terpancar dimata lelaki paruh baya itu, "Ia mungkin tak sekaya Abdurrahman bin Auf, atau Abu bakar Ash-Shidiq. Tapi keimanannya dan keseriusannya mampu merobohkan keraguan-keraguan dalam diri Ayah, cintai dia nak. Meski rasamu menolak untuk menerimanya."

Ada sayatan luka yang mengiris hati Afifah seiring keluarnya kalimat sang ayah. Dadanya terasa sesak seperti di tenggelamkan dalam lautan kepedihan, sebilah pedang baru saja menohok ulu hatinya.

Inikah yang selama ini Afifah inginkan? Kebahagiaan sang ayah. Tapi kenapa menyakitkan sekali seperti ini, Ayash mungkin memang bukan jodohnya. Meskipun Afifah pernah mencintainya.

"Fi, kamu kenapa? Malah bengong. Kamu setuju tidak dengan pilihan Ayah?"

Afifah terhenyak mendengar tegurang Husein. Ia pun memaksakan tersenyum, ada luka yang tak kasat mata dibalik senyuman manis itu, "semoga Allah ridho akan itu, ayah," ucapnya pasrah.

Siapa saja, tolong sadarkan Ayash!
Kenapa dia tak pernah peka dengan perasaan Afifah? Tidakkah Ayash sadar bahwa ada rasa sakit yang tak berupa, tak berdarah, tak nampak lukanya di hatinya.
Mungkin dulu Afifah membenci lelaki itu, namun ia bisa apa ketika Allah telah membolak-balikan hatinya?

Bagaimana mungkin Ayash setega itu pada Afifah? Mana bisa ia membiarkan gadis itu bersedih semalaman karena memikirkan sikapnya. Sementara Ayash tidak acuh padanya. Setidaknya Ayash pernah sayang padanya.

Ya, memang itulah rumitnya jatuh cinta.
Dan cinta ada di wilayah rasa, bukan logika.
Siapapun tahu bahwa rasa selalu lebih mudah untuk mendominasi, menyabotase nurani.

Mungkin seperti itulah perasaan yang di alami Ayash saat ini. Benarkah Ayash mencintai afifah? Karena cinta berbeda dengan keinginan untuk memiliki. Hasrat untuk menguasai. Cinta adalah menerima segala sisi dari diri seseorang, termasuk menerima keputusannya untuk tidak memilih.

Bukankah begitu?

Afifah ingin sekali menangis. Kenapa semua ini sangat rumit sekali di matanya? Afifah yang tengah menyusun kembali kepingan hatinya yang sudah retak justru ia yang tertusuk kepingan itu sendiri.

"Kamu pulang awal, tumben," tanya Husein.

Afifah tersenyum lalu melepas sweaternya karena semenjak siang tadi hujan gerimis turun, karena itu ia berinisiatif membawa sweater, "murid gak masuk semua, hujan yah."

Husein yang mendengar hanya geleng-geleng kepala.

***

"Lif, aku pulang duluan ya?"
Gadis berjilbab putih dengan seragam putih abu-abu itu tersenyum sebentar ke arah Alif.
"Iya, aku juga mau pulang."

Syifa mengagguk lalu masuk ke dalam mobil jemputannya menyisakan Alif yang masih berdiri di gerbang sekolah sembari melambaikan tangannya.

"Kayaknya pulang sekolah naik angkot lagi. Tapi kok lama ya?" Gumamnya sendirian. Teman-temannya sudah pulang semua, dia sendiri saja yang sibuk menunggu angkot lewat. Ini sudah mau sore tapi masih belum ada satu angkot pun yang berhenti di depannya.

"Ck, Kayak cewek yang lagi nunggu di jemput jodoh aja gue di sini," dia terus berdecak kesal sejak tadi. Di sekolahnya hanya tinggal penjaga sekolah yang tengah menyapu halaman dan seorang satpam yang duduk membaca koran.

Afifah tak sempat menjemputnya karena tadi hujan turun deras sekali. Dan Alif hanya pasrah sembari menahan rasa lapar yang menyerang perutnya sejak tadi.

"Alif, ya?"

"Eh."

Alif terperangah begitu suara berat seorang lelaki menyapa gendang telinganya. Seorang pemuda tengah duduk di atas motor sportnya yang berwarna hitam sembari tersenyum ke arah Alif.

"Bang Ayash," Alif bergumam tak percaya, namun dia tersenyum juga.

"Kok belum pulang? Nunggu siapa, Lif?"

"Nunggu angkot, tapi lama. Si tukang ojek cantik itu juga nggak jemput. Lagi kasmaran kali."

Ayash tertawa mendengar kalimat Alif. Kemudian melambaikan tangannya, "ayo naiklah, biar aku yang mengantarmu pulang."

Alif yang sempat suntuk karena kelamaan menunggu itu akhirnya tersenyum cerah juga, penantiannya yang menyebalkan itu berbuah manis dan indah karena kesabarannya.

Lah, terus gerutuan tadi apaan, Lif?

"Siap bosku!" Alif bergegas naik dengan senyum cerah.

***

Alif baru saja turun dari atas motor setelah sampai di halaman rumahnya. Ayash menahan diri untuk tak menjejakkan kakinya di rerumputan rumah itu. Bukan karena apa, ia hanya takut sekali lagi dengan perasaan yang bercabang di hatinya.

"Bang Ayash gak mau ikut masuk? Ada ayah kok di dalam."

Ayash dirundung gelisah. Ia juga ingin bertamu ke rumah Husein, mengingat lelaki itu sudah seperti ayah kedua baginya, ia sendiri tak enak menolak ajakan Alif agar ikut kedalam rumah.

"Ayolah bang," Alif memelas.

***

ISTRI IMPIAN ( R E M A K E )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang