17. hingga di batas waktu

11.8K 804 10
                                    

***

Sepasang kaki berjalan beriringan menapaki anak tangga, kedua orang yang tengah berjalan bersama itu asyik bercerita dengan serunya di sepanjang koridor sekolah, mengabaikan beberapa pasang mata yang memperhatikan interaksi dua orang tersebut.

Hari ini Ayash mengantar Abiyan sekolah. Keponakannya itu nampak antusias karena baru kali ini ia di antar oleh om gantengnya, biasanya ia di antar oleh sang Ayah, namun mengingat Hikam sedang tidak di rumah, akhirnya Ayashlah yang bertugas mengantar jemput keponakannya.

"Gurunya lucu, Biyan suka."

"Oh ya, Biyan sering di marahi ngga?"

Bocah itu nyengir lucu, "ngga, kan kata om. Anak ganteng ga boleh nakal."

Ayash ketawa juga akhirnya. Asyik sendiri dengan keponakannya, Abyan baru berusia lima tahun, tapi dia anak yang cerdas. Ah, setidaknya dengan adanya bocah kecil itu ia jadi sedikit bisa melupakan rasa sakitnya. Ayash hanya sedang menyembuhkan kekecewaan, bukan lari dari takdirnya sendiri.

"Ibu guruuu …" Abyan berseru begitu melihat gurunya berjalan menuju kelas, melihat Abyan yang antusias Ayash ikut melihat arah pandang keponakannya.

"Eeh, ada Ab … yan.." suara gadis itu terpotong setelah beradu tatapan dengan lelaki di sebelah muridnya. Dia kembali merutuk dalam hati, dunia memang sempit.

"Afifah?" kata Ayash tak percaya, ternyata guru yang di bangga-banggakan keponakannya itu adalah gadis yang ia kenali. Gadis yang membuat Ayash seharian ini menertawakan lukanya.

Kedua orang itu berjalan menghampiri Afifah, Ayash tersenyum kecil kemudian berjongkok di depan Abyan, "masuk kelas dulu, ya. Belajar yang bener. Anak keren gak boleh nakal, anak shalih itu patuh sama guru."

"Iyaa, om …" seru Abyan, kemudian masuk ke dalam kelas setelah tos dengan Ayash.

Ayash kembali bangkit dari posisinya, gadis di hadapannya ini mematung saja sejak tadi. Tanpa ada sapa, senyum, atau setidaknya kalimat salam, ah, semuanya harus Ayash yang memulai lebih dulu.

"Fa?"

"Ah iya, maaf."

***

Kedua orang itu berjalan di koridor sekolah. Waktu pelajaran sudah usai dan sekarang waktunya istirahat, kedua orang itu memilih untuk berbicara sebentar. Dan Ayash bingung harus memulai dari mana.

"Selamat, ya …" kata Ayash akhirnya, alih-alih ingin mengungkapkan sesuatu, justru kalimat itu yang keluar lebih dulu dari mulutnya. Mungkinkah ia tak puas dengan kenyataan semalam? Apa ia begitu menikmati kekalahannya kini?

Afifah terhenyak dengan kalimat Ayash, namun ia berusaha tetap tenang, "untuk?"

"Lamaran Faiz untukmu."

Itu adalah rasa yang semakin hari semakin menyiksa. Kerinduan yang tidak terbalaskan. Perasaan yang tidak bisa di ungkapkan, dan Ayash adalah sosok pengecut, lihat saja. Meski ia tahu Afifah sudah dilamar oleh yang lain pemuda itu masih saja sibuk ongkang kaki dan bekerja.

"Tahu dari mana?" kata Afifah, setaunya ia belum pernah membahas perihal lamaran Faiz itu, tapi Ayash sudah mengetahuinya lebih dulu.

"Dari Faiz sendiri lah, oh ya. Dia ditugaskan ke luar kota katanya sih, berarti kamu harus nunggu, ya?"

Afifah mengangguk, "iya sih, tapi perasaanku tidak enak, seakan ada yang lain."

Ayash tidak mengerti dengan kalimat Afifah barusan. Ia mencium bau-bau keraguan di sana. Tapi Ayash tak mau ikut campur atas perasaan orang lain, yah, meski dia penasaran juga dengan maksud Afifah tadi.

ISTRI IMPIAN ( R E M A K E )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang