Axcel menatapku lekat. “Apa benar kau kekasih ... Raja Alex? Kau tadi menanyakan apa Ayahku punya saudara bukan? Lalu kujawab iya. Kau seperti sedang penasaran akan sesuatu yang berkaitan dengan pamanku. Apa itu benar?”

Aku memejamkan mata, dalam pikiranku Karin sudah tersenyum. Gambaran demi gambaran kembali berkelebat memberiku jawaban. Aku kembali membuka mata dan tersenyum.

“Jika iya, apa yang akan kau lakukan?”

Axcel menatapku tak percaya sambil meletakkan ke dua tangannya dipipiku. “Sungguh?”

Aku mengangguk. Jujur, untuk pertama kalinya aku merasa percaya diri dengan sempurna atas jawabanku kali ini. Sepertinya Karin mulai menguasai diriku sedikit demi sedikit dan itu membuatku lega.

“Syukurlah, akhirnya aku bertemu denganmu.” Axcel menggenggam tanganku. “Sebentar lagi kita sampai. Kita bisa bicara banyak hal di sana.”

Kami mempercepat langkah dan tak lama, kami sampai di sebuah taman bunga yang berbaris rapi. Tempat ini tidak terlalu ramai dan juga tidak terlalu sepi. Sangat mengagumkan dan membangkitkan suatu kenangan. Sejenak, aku seperti teringat pada pohon rindang di sudut taman dan gamban ingatan Karin kembali berkelebat.

“Bagaimana kalau kita duduk di bawah pohon sana,” ucapku mengusulkan. “Di sana pohonnya sangat rindang.”

“Ide yang bagus. Tapi ... dari mana kau tahu di sana ada pohon rindang?”

“Sudah kubilang aku pernah kemari bersama beberapa temanku.” Aku tersenyum kecil sambil berjalan dengan semangat mendekati pohon, sementara Axcel berjalan sejajar denganku.

Axcel menatapku tak percaya. “Benarkah? Aku tidak percaya kau punya teman. Siapa namanya?”

Aku memejamkan mata sejenak. “Mikha dan ... Azhra.”

Axcel mengangkat sebelah alisnya. “Aku baru tahu ada Una yang memakai nama itu. Apa mereka penduduk asli Harazh?”

Keningku berkerut seketika dan memejamkan mata lagi. Informasi yang kudapat, mereka juga bukan dari Loizh. Lalu dari mana mereka berasal? Seperti ada ingatan Karin yang hilang layaknya lembar kosong dalam buku novel yang salah cetak. Padahal aku seperti—sudah mengenal mereka dengan baik.

“Ririn, awas!”

Aku tersentak dan refleks membuka mata. Mataku terbelalak ketika mendapati dahan pohon kecil yang melintang. Satu langkah lagi dahiku pasti sudah terbentur.

“Kau hampir menabraknya.” Axcel menatapku nanar. “Apa yang kau lakukan? Kenapa kau sering sekali memejamkan mata seperti itu? Apa kau sedang memikirkan sesuatu?”

Aku merasa malu seketika dan tertawa dalam hati sambil mengutuk diri sendiri. “Tidak apa-apa. Aku hanya ... sedang mengingat sesuatu”

“Mengingat temanmu?”

Tebakan Axcel tepat, tapi sebenarnya yang kupikirkan lebih dari itu. “Ya ... begitulah. Aku sudah lama tidak bertemu mereka jadi aku tidak ingat asal usul mereka. Kami hanya ... kebetulan bertemu di tempat ini,” ucapku sedikit terbata, berharap Axcel akan percaya.

Axcel melipat tangan. “Ucapanmu benar-benar seperti Una yang sudah hidup ratusan tahun dan ... tua.”

Aku sedikit tersodok dengan kalimat Axcel. Kata-katanya sangat blak-blakan dalam bahasa yang sopan.

“Akhirnya kita sampai,” gumamnya.
Axcel duduk di bawah pohon dan aku meyusulnya. Kami duduk berhadapan. Axcel nampak tenang dan menungguku untuk memulai pembicaraan.

“Axcel, bisakah kau ceritakan padaku apa yang terjadi padamu?”

Axcel terdiam sejenak. “Cukup panjang sampai aku tidak tahu harus memulai dari mana.”

Loizh III : ReinkarnasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang