Bab 5

3.8K 321 58
                                    

"Aku suka sekali suara hujan. Setiap rintiknya mampu membentuk senyum dibibirku"

☔☔☔

Hujan.

Akhirnya setelah sekian lama, hujan kembali menampakan tetesnya. Membuat kaca jendela kamar Deandra basah dibuatnya. Dean tersenyum, lalu membuka jendela kamarnya. Ia mengulurkan tangannya, mengadah pada tetesan air hujan.

"Lo lagi ngapain? main sama air hujan?" Ucap suara yang kini sudah tak asing lagi bagi Dean, siapa lagi kalau bukan Ken. Ken melihat deandra dengan tatapan heran.

"harusnya gue yang tanya. Lo ngapain disini? Bukannya harusnya ketuk pintu dulu?"

"Gue kira lo belum bangun, lo kan kebo. jadi buang-buang waktu kalau harus ketuk pintu dulu" jawab Ken, lalu melihat kearah lantai kamar Dean yang basah.

"Dan ternyata lo lagi buat tsunami dikamar lo" lanjut Ken, lalu menggeleng-kan kepalanya, tak habis pikir.

"Eh?"

"Tutup jendelanya. Apa lo nggak liat lantai kamar lo?"

Dean langsung mengalihkan pandangannya pada lantai kamarnya yang kini telah basah oleh cipratan air hujan.

"Dasar ceroboh. Turun, gue udah bikin sarapan" Ken lalu menutup pintu kamar Dean, sementara Dean hanya mematung karena sepertinya Ken benar-benar ingin menjadi kakak sungguhan.

--

Kamis. Ya, hari ini hari kamis bukan hari libur seperti sabtu ataupun minggu. Tapi hari ini sekolah Dean dan Ken libur dikarenakan ada rapat guru yang akan membahas mengenai persiapan ujian kelas 12.

"udah lo lap lantai yang basah?" Tanya Ken, ketika Dean baru saja memasuki ruang makan.

"Belum. Gue nggak tau dimana biasanya mama nyimpen lap" jawab Dean malas, lalu mengambil beberapa lauk yang sudah terletak dimeja makan.

"Selama ini, apa sih yang lo lakuin?" Tanya Ken, menaruh garpunya.

"Maksudnya?"

"Kalau hari libur, apa yang lo kerjain dirumah?"

"Belajar. Emangnya apalagi?"

"Lo nggak bosen belajar terus? Nggak pergi main? Atau mungkin ngedate?,"

"Gue kurang suka ngabisin waktu buat hal nggak bermanfaat kayak gitu" jawab Dean bohong. Sebenarnya Ia sangat ingin menghabiskan waktu bersama teman-teman, pergi ke taman bermain, nonton film bersama, atau sekedar berbincang sepanjang malam. Namun, siapa yang bersedia melakukan itu dengannya? Bukankah Dean tidak memiliki satu teman pun?

"Lo yang cuci piring," ujar Ken setelah menyelesaikan kegiatan makannya

"Gue? Gimana kalau pecah kayak kemarin?" Tanya Dean, yang masih mengunyah makanannya.

"Apa harus banget gue ajarin kegiatan cuci piring?"

Dean menggeleng pelan, karena sepertinya 'kakak'nya sudah mulai kesal dengannya.

"Lo harus ngerjain segala seauatu pake hati. Pake perasaan seneng dan nggak terbebani. Sama halnya kayak nyuci piring, walaupun kelihatan spele, lo harus gunain hati lo pas nyuci setiap bagiannya. Cuci secara hati-hati, anggap itu adalah barang antik yang harganya mahal. Kalau lo udah hati-hati, gue jamin nggak bakalan pecah lagi kayak kemarin. Ngerti?" Ken tersenyum, lalu meninggalkan ruang makan.

"Cih. Kenapa dia harus ngejelasin kayak gitu? emangnya gue anak kecil apa" Gerutu Dean. Lalu membawa semua piring kotor, dan mencucinya. Tetap saja, Dean mengikuti perkataan Ken. Mencuci dengan hati-hati.

Hujan rupanya masih terus melampiaskan kesedihannya pada bumi, mungkin langit sedang merindukan tanah dan mengirimkan pesannya melalui hujan.

Sementara Ken daritadi hanya memetik gitarnya, memainkan lagu demi lagu. Bosan.

Ya, cowok itu bosan. biasanya saat hari libur seperti ini, Ken akan bermain bersama temannya. Nge-band, atau sekedar nongkrong di cafe. Tapi di Indonesia, dia belum memiliki teman. Bukankah sama saja seperti Deandra? Masalahnya, Ken tidak betah sendirian seperti orang yang kesepian.

Setelah lama berpikir, akhirnya Ken memilih untuk mengetuk pintu kamar Dean. Untuk apa lagi kalau bukan mengajak pergi gadis itu?

"Mau apa?" Tanya Dean, begitu membuka pintu kamarnya.

"Gue harus beli buku, lo tau kan gue udah kelas dua belas, banyak buku yang diperluin. Tapi gue nggak hafal jalan. Bisa nggak lo nemenin gue?" Tanya Ken

"Kenapa harus gue? Lo bisa minta temen lo"

"Lo tau, gue nggak punya teman disini"

"Kalau gitu, itu bukan urusan gue," jawab Dean tak peduli

Sial. Ken mengumpat dalam hati.
"Gue bakal beliin tiga buku buat lo, kalau lo mau nemenin gue. Lebih tepatnya sih, anterin"

"Apa gue keliatan kayak nggak mampu buat beli?"

Nggak mempan ya?

"Tapi tiga buku lumayan juga. Tunggu lima belas menit lagi gue turun," Dean lalu menutup pintu kamarnya sebelum ken sempat menunjukan ekspresi senangnya.

"Cih, dasar sok dingin,"

***

Toko buku.

"Gue udah milih tiga buku. Kenapa lo lama banget? emangnya lo cari buku apa sih?"

"Cerewet" jawab Ken, yang saat ini sedang berada didepan rak bertuliskan 'musik'

"Emangnya musik bakalan keluar di Ujian nasional?"

"Heish. Lo bisa berisik juga ya ternyata," Ken akhirnya menoleh lalu menatap Deandra yang langsung terdiam karena ucapan Ken. Dean sendiri juga baru sadar, kenapa dia bisa jadi sebawel itu?

"Tapi bagus, deh. Gue lebih suka denger lo banyak ngomong daripada diem aja kayak batu," ucap Ken, lalu kembali memilih beberapa buku.

"Gue tunggu didepan" jawab Dean pada akhirnya. Entahlah, Ia jadi merasa canggung setelah Ken mengatakan hal itu.

Dean pun berjalan melewati beberapa rak, dan tanpa disangka Ia harus bertemu dengan sosok Alex.

"Dean" Ucap Alex, Dean tak menanggapi hanya terus berjalan kearah depan. Sampai akhirnya langkahnya terhenti, Alex menahan lengannya.

"Tunggu. Ada yang mau gue omongin sama lo"

"Ngomong aja disini. Gue nggak punya waktu" jawab Dean malas

"Belakangan ini, gue denger lo lagi deket sama anak baru namanya Ken. Dia temen sebangku gue"

"Terus"

"bisa nggak lo nggak usah deket sama dia?"

"Lo cuma mau ngomongin ini? Setelah sekian lama lo nolak ngomong sama gue, terus lo akhirnya beraniin diri lo cuma buat bicara tentang hal spele ini?" Jawab Dean, tangannya sudah meremas buku yang dipeganya. Dean mulai kesal.

"Gue cuma nggak suka. dia nggak baik buat lo"

"Itu bukan urusan lo sama sekali, urus aja urusan lo sendiri,"

"Oke. Terserah, cewe kaya lo emang bakalan cocok sama dia"

"Untungnya lo adar,"

"murahan"

"Jaga ucapan lo. Lo udah bikin gue dibenci satu sekolah, Harusnya lo udah puas kan? Apa masih kurang?"

"Disini, gue yang jadi korban. Lo lupa?"

"Korban kata lo? Bukannya lo sendiri yang bikin pikiran lo berpikir kalau lo itu korban? Lo sendiri yang nggak mau dengerin penjelasan gue satu tahun lalu,"

"Itu karena emang nggak ada yang perlu didengerin dari satu tahun yang lalu,"

"Bodoh" ucap Dean, Ia berusaha menahan air matanya agar tak terjatuh.

"Dean, lo disini?"

-----

Hayoo siapa tuh kira-kira yang dateng?

Maaf yaa pendek, untuk bab selanjutnya bakalan panjang kok.

Hujan Di Langit NovemberWhere stories live. Discover now