16. He's mine

9.3K 922 34
                                    

"Hirella udah. Jangan se-emosional begitu. Ingat anak-anak sayang." sudah lebih dari dua puluh menit Ardian memperingatkan Istrinya. Sejak Hirella menginjakkan Kakinya di Rumah, wanita itu terlihat emosional. Hirella sampai melempar Tas yang tergantung di Bahunya dengan kesal ke arah Sofa. Menyusul Tas, Hirella juga menghempaskan tubuhnya yang luar biasa lelah ke atas Sofa. Peristiwa hari ini sedikit banyak memutar ingatannya ke masa lalu, masa dimana menjadi titik awal kejadian yang dialami oleh Adiknya, Aldan.

"Aku gak tahu ya Mas, apa mau si b*jingan Gay sialan itu. Gak cukup dia menyakiti aku tapi dia juga menggebuki Aldan. Lihat aja muka nya Aldan ancur begitu. Bonyok dimana-mana." dipijatnya pelan kedua sisi kanan kiri pelipisnya sendiri menggunakan Ibu jari dan jari telunjuk. Rasanya Hirella benar-benar ingin membunuh pria bernama Jemmy tersebut.

"Sssht, ngomong apa kamu? Kenapa jadi kotor begitu bibirnya hm?" perlahan Ardian mendaratkan Telapak Tangannya ke atas Kepala Hirella, mengusapnya lembut penuh kasih berkali-kali sampai Hirella pun memutuskan untuk menjatuhkan tubuhnya masuk ke dalam pelukan sang Suami. Pelukan Suaminya adalah obat yang selalu mujarab untuk menyembuhkan kelelahan dan rasa sakit dalam tubuhnya.

"Aku capek Mas. Aku capek sekali," keluh Hirella disela Air Mata yang mulai mengalir dari kelopak matanya jatuh membasahi kemeja milik Ardian.

"Bukankah semua demi Mama dan Papa kamu?"

"Aku tahu. Tapi seharusnya di usianya yang sekarang Aldan tidak harus membutuhkan perlindunganku. Dia harus bisa mengurus hidupnya sendiri. Lagipula dia calon Ayah, Mas. Dia bukan anak lima tahun lagi yang ketika dia terlibat permusuhan, dia berteriak ingin meminta bantuanku dan Abang Dewa. Ya kan?" keluh Hirella saat sesak di dadanya semakin terasa. Dicengkramnya Kemeja Ardian seolah wanita itu sedang mencari sebuah pegangan untuk menahan dirinya agar tetap kuat dan tidak jatuh ke dalam lembah keburukan.

"Aku mengerti sayang. Aku mengerti. Mungkin Aldan masih membutuhkanmu. Jangan menyerah ya. Aku disini, di samping kamu untuk mendukung dan menemani kamu." cup. Satu kecupan lembut diberikan oleh Ardian di Kening Hirella. Kecupan itu terasa hangat sampai-sampai selama beberapa detik Hirella memejamkan sepasang Matanya untuk menikmati kecupan dari Suaminya.

Setelah mengecup, Ardian mengusap pelan Lengan Hirella agar Istrinya tidak perlu merisaukan masalah sang adik yang semakin lama semakin terlihat rumit. Ardian mengerti jika jauh di dalam lubuk hati seorang Hirella, banyak cinta seorang Kakak yang khusus dia berikan kepada Adik bungsunya yaitu Aldan. Ardian memahami hal itu karena Aldan memang paling bungsu diantara semua saudaranya.

"Mas jangan meninggalkan aku ya?"

"Iya Hirella. Mas tidak akan meninggalkan kamu. Kamu tenang saja ya. Semua akan baik-baik saja. Aldan dan Aliendia hanya butuh waktu untuk menyadari perasaan mereka masing-masing. Kalau kamu menyadari, keduanya sudah mulai sama-sama jatuh cinta. Kita hanya tinggal menunggu waktu dimana mereka berdua satu sama lain saling membutuhkan. Tidak simbiosis komensalisme lagi tapi akan berubah menjadi simbiosis mutualisme. Oleh karena itu bersabarlah ya. Semua yang kamu lakukan akan membuahkan hasil yang nyata. Jangan menyerah sayang!"

"Terima kasih sudah memberikan suntikan moral dan semangat untukku, Mas. Jikalau aku tidak kuat lagi, mungkin Aldan harus berjuang sendiri demi mendapatkan Aliendia."

***

"Mas..."Aliendia memanggil Suaminya yang sedang sibuk mengobati lukanya di ruang kerja. Aldan memang memutuskan untuk pulang dari kantor ke rumah lebih awal karena tubuhnya sudah tidak kuat lagi bekerja.

"Baru pulang lo Lien?" parau Aldan bertanya kepada Istrinya. Tidak ada nada sinis atau kemarahan sama sekali. Pria itu hanya membutukan waktu lebih banyak untuk beristirahat.

Let's Play (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang