Pipi Stacy bersemu merah semakin tak keruan mendengar tantangan Henry. Bahkan bibirnya terkatup rapat, tak ada satu ide pun yang keluar untuk menjawab tantangan Henry.

Tapi kemudian ia teringat cerita Viviane tentang cinta tanpa nafsu, "Mungkin kita bisa meniru kisah cinta Freddie Mercury dan Mary Austin-"

"Aku bukan gay!" sela Henry cepat, "Seks adalah hal yang mutlak dibutuhkan oleh manusia normal. Berhubung aku masih sangat-sangat normal, aku tidak akan meniru kisah cinta legendaris itu." Kemudian ia menambahkan, "Lagi pula hubungan kita bukan cinta tapi bisnis, seks bisa jadi bisnis, tapi cinta tidak, setuju?"

Akhirnya Stacy tertawa menerima kekalahannya, "Ingatkan aku untuk tidak mendebat jenius berhati dingin sepertimu."

"Dengan senang hati."

Tawa hangat keduanya masih tersisa ketika langkah mereka mendekati pasangan paruh baya, Marilyn dan Ignasius. Stacy lebih dulu menyadari perubahan air muka Henry sebelum mengikuti arah pandangnya.

Seorang wanita berambut pendek dengan pipi berisi berdiri bersisian dengan pria tua tegap berkumis tipis. Sebagian rambut mereka telah dihiasi warna putih, tanda penuaan yang tidak repot-repot mereka tutupi.

Keduanya menatap Stacy secara spekulatif. Mungkin saja Henry membawa salah satu wanitanya untuk acara ini. Ketika pasangan muda itu semakin dekat dengan mereka, alis Marilyn bertaut heran, sekalipun demikian ia masih menilik gadis muda yang dibawa putra tunggalnya.

Pasangan muda itu berhenti kurang dari satu meter di hadapan pasangan tua. Stacy masih terlihat tidak mengerti, ia hanya mengulas senyum ramah seperlunya.

"Papa, Mama, dia Stacy Connor."

Papa? Mama? Astaga, aku tidak mengenali calon mertua palsuku, benar-benar payah.

"Oh, hai! Aku Stacy." Ia menyodorkan tangan menunjukan sopan santunnya yang disambut oleh Marilyn.

"Aku Marilyn dan ini suamiku, Ignasius." Wanita itu kehilangan keangkuhannya karena ia tidak dapat menyembunyikan kebahagiaan yang terpancar di wajahnya.

Ia meremas pelan tangan Stacy sambil melirik pada putranya, "Apakah aku boleh berharap pada yang satu ini sebagai calon menantuku?"

Henry tersenyum lebar sambil meremas tengkuknya sendiri sepolos bocah, "Aku berharap begitu. Tapi coba tanyakan sendiri padanya."

"Bolehkah?" wajah Marilyn terlihat begitu tulus dan penuh harap. Tuhan, maafkan aku karena mendustai wanita semulia ini. Stacy berdoa dalam hati.

Stacy tersenyum manis pada Marilyn lalu mengangguk malu. Ia bersyukur karena pipinya yang mudah merona cukup membantu kali ini.

Marilyn menangkup mulutnya sendiri, "Astaga! Dia tersipu malu. Aku menyukai pilihanmu kali ini, Nak!" ia menatap sayang pada putranya yang sudah dewasa.

"Sepertinya kau tidak mengenali kami sebelum tadi." Ignasius ikut menimpali.

Suara pria tua itu sangat berwibawa, sangat berbeda jauh dari putranya. Keduanya sama-sama berbadan tegap dan jangkung. Kali ini Stacy terintimidasi oleh sorot mata dan nada bicaranya, mengingatkannya pada Royce.

Stacy tersenyum menyesal, "Maafkan aku. Henry pernah beberapa kali menyinggung soal kalian tapi aku tidak menyangka jika wanita cantik ini adalah ibunya dan Anda...jauh lebih tampan darinya." Stacy memuji mereka dengan malu-malu.

Henry ingin sekali protes ketika ketampanannya diragukan tapi Ignasius menyela dengan tawanya yang spontan disusul tawa tak percaya dari Marilyn. Sudah lama ayahnya tidak tertawa seperti itu tapi hari ini Henry melihatnya lagi. Dan itu karena...Stacy.

What Makes You Fall In Love (#2 White Rose Series)Where stories live. Discover now