Wedding #5

1.7K 111 16
                                    

Aku menatap raut wajahku sendiri didepan cermin. Aku memegang pipiku yang sedikit memerah karena polesan blush-on. Hari ini, hari Rabu, hari dimana pernikahan perjodohanku dilangsungkan. Hari dimana aku dan Junkai, akan sah menjadi seorang pasangan secara resmi dan akan tinggal, dan menjalani aktivitas bersama dalam satu atap. Ugh. Ini sama sekali tidak pernah ada dalam rancangan hidupku, benar benar tidak ada sama sekali yang terbesit di benakku untuk melakukan pernikahan muda ini diumurku yang masih dua puluh dua tahun.

Aku menghela nafas ku berat. Untuk menghilangkan segala rasa kegelisahan ku saat mengingat jika aku akan memulai kehidupan yang sangat baru.

"Ekhem..." ibu berdehem dari ambang pintu. Karena saking keasyikan melamun, aku sampai tidak menyadari jika pintu brideroom ini telah dibuka. Aku tersentak dan langsung bangkit. Aku menoleh kearah ibu dan tersenyum tipis.

"Aku sudah siap, bu." ucapku berusaha tenang. Ibu tersenyum simpul, ia berjalan mendekatiku.
"Tak usah gugup begitu, Minzi." ucap ibu berusaha menenangkanku. Ia mengelus pundakku pelan.

"Junkai adalah seseorang yang baik, dan tegas. Dia juga cerdas. Dia juga seorang dokter dengan peringkat nilai terbaik, diatasmu. Dia dokter yang telah mendapatkan peringkat sebagai dokter terbaik." jelas ibu menjelaskan segala tentang Junkai. Aku mendongakkan kepalaku, beralih menatap ibu. Aku mengernyit.

"Dia pasti akan bisa menjagamu, Minzi. Percayalah." ucap ibu lembut. Aku tertegun, dan lalu berdehem pelan. Aku mengangguk. Meskipun, pikiranku telah melayang-layang saat aku pertama kali mengenal Junkai. Dia itu aneh. Benar-benar aneh, seperti seseorang yang memiliki dua kepribadian sekaligus dalam satu waktu.

"Aku...aku mengerti..." jawabku sambil tersenyum sumringah untuk meyakinkan ibu. Ibu juga membalas senyumanku.

"Dimana veil mu, Minzi?" tanya ibu penasaran. Aku menolehkan kepalaku dan menunjuk meja rias tadi. Ibu berjalan kearah meja rias dan mengambil veil milikku. Ibu sedikit membersihkannya —padahal, veil ini terlihat sangat bersih. Ibu kembali berdiri dihadapanku. Aku memejamkan mataku sesaat saat ibu memasangkan veil ini diatas kepalaku.

"Ayo, pergi. Semua tamu termasuk Junkai telah menunggumu." ajak ibu. Aku membuka pejaman mataku. Jantungku berdebar semakin cepat, margaku sebentar lagi akan diubah. Aku tersenyum simpul dan mengangguk pelan. Aku menggenggam tangan ibu erat, sangat erat.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Aku menatap pendeta gugup. Karena perasaan gugupku, aku tak sengaja menggenggam dengan sangat erat tangan Junkai. Junkai melirik kearahku, ia tersenyum aneh saat melihat gelagatku. Untung saja, pendeta sudah menyuruh, dan bahkan, kami telah selesai mengucapkan 'ikrar'.

"Kalian boleh berciuman sekarang sebagai tanda kasih kalian." jelas pendeta sambil tersenyum simpul. Aku hampir saja melotot, namun, aku menyingkirkan niat ku itu. Junkai mulai membalikkan badannya menghadap kearahku. Aku terpaksa mengikuti alur permainannya.

Tenang, Minzi. Hanya untuk sementara. Hanya tempelkan bibirmu untuk beberapa detik, dan, selesai. Mudah sekali.

Come on.

Aku menatap Junkai dalam, dan mencoba untuk tenang. Namun, Junkai malah memberikan tatapan aneh kearahku. Seperti tatapan jahil, dan menggoda. Cukup membuatku sedikit terpesona dan terjebak dalam pandangan intens mata tajam Junkai.

Tatapan matanya benar benar seperti obat bius. Aku bisa mengerti sekarang perasaan seluruh gadis-gadis yang melihat Junkai akan menahan jeritan histerisnya, dan, menahan mimisannya karena melihat tatapan mematikan Junkai. Ugh.

My Coldest Doctor [TFBOYSWJK]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt