11. Gara-gara Rangga

Start from the beginning
                                    

Ini gue nggak lagi mimpi, kan?

"Sana samperin. Udah Mami bikinin minum." Tepukan di bahu gue dan suara Nyonya Besar bikin gue sadar kalau ini bukan cuma mimpi.

Gue menelan ludah. Beresin rambut sebentar sebelum jalan ke arah Nina. Ini gue nggak belekan atau ileran, kan? Ah, gue mandi dulu boleh nggak? Biar gantengan dikit?

"Arjuna," katanya sambil berdiri pas dia lihat gue dateng.

Aduh, pake berdiri segala. Sopan banget sih. Makin cinta Dek, Abang jadinya.

"Duduk aja," kata gue sok kalem. Yah, semenjak dibentak Nina kemaren, gue jadi nggak mau lebay. Pokoknya jangan sampe Nina bilang gue keluar batas lagi.

Dia langsung mengangguk sebelum duduk lagi. Gue ikutan duduk di sofa lain di depan Nina. Pengennya sih langsung aja di samping Nina. Kalau bisa jangan di sofa, tapi di pelaminan.

Hehe.

Astagfirullah, Jono!

Buat beberapa detik pertama, kita sama-sama diem. Kalau gue diem karena lagi jaim alias jaga image—jaga gambar dong hehehe, maaf iklan—kalau dia kayaknya diem karena bingung mau ngomong apa.

Gue berdeham. Bikin Nina langsung kelihatan gelagapan. Dia ngambil sesuatu di bawah meja yang langsung dia simpen di atas meja.

Itu plastik yang gede banget, sumpah.

"Gue nggak tau lo suka buah apa, jadi gue beli macem-macem. Gue juga nggak tau lo suka roti rasa apa, jadi gue beli semua rasa. Terus, gue nggak tau lo suka minuman vitamin yang kayak gimana, jadi gue beli banyak. Makan aja yang lo suka. Kalau ada yang lo nggak suka, nggak apa-apa kok gue bawa lagi," katanya ngejelasin sambil nunjuk-nunjuk isi plastik.

Ini apaan sebenernya?

Gue masih bingung kenapa Nina bisa tiba-tiba ada di rumah gue dan sekarang dibikin tambah bingung sama isi plastik yang udah kayak isi pasar itu.

"Ini apaan, Na?" tanya gue bingung setengah mati.

"Buah, roti, sama minuman vitamin," katanya polos.

Aduh, emang ya, kalau soal jadi gemesin, si Nina ini jagonya. Aaak! Mau cubit. Dan dia nggak komen gue panggil Na, kemajuan banget ini Jono!

Gue ketawa pelan. "Bukan gitu maksudnya. Kenapa lo bawain ini buat gue?"

Nina berdeham beberapa kali, dia menatap gue dengan tatapan yang nggak bisa gue artikan. "Gue mau minta maaf. Soal kemaren itu. Gue minta maaf."

Pas ngomong gitu, mukanya malu-malu gitu. Kayak si Pororo kalau ketauan pup di celana. Tapi, sumpah, ini versi cantiknya! Sebenernya, pengen banget gue ngerjain dia pura-pura nggak maafin atau apa deh, tapi nggak tega banget lihat mukanya.

"Nggak apa-apa, Na," kata gue sambil senyum. Bawaannya pengen senyum terus kalau ke dia.

"Beneran?"

"Emang maunya bohongan?"

"Eh, enggak gitu."

Gue ketawa lagi. "Ini kenapa bawa ginian?" tanya gue lagi untuk ketiga kali. Harusnya dapet piring cantik, nggak sih? Berhubung di dapur banyak piring, dapet yang cantik aja boleh nggak?

Dia garuk tengkuk, kayak ragu-ragu buat ngomong. "Lo tiga hari nggak masuk. Dan... gue baru tau tentang penyakit lo dari Rangga. Kalau aja gue tau lebih awal, gue... ke elo.. gue pasti bakal lebih—"

Na!Where stories live. Discover now