9. Perhatian Juna

14.2K 1.4K 12
                                    

Nina

Demi apa pun di dunia ini, ini sakit sekali, aku berani bersumpah. Hari ini sepertinya hari yang sangat sial bagiku. Untuk pertama kalinya sepanjang sejarah kehidupan sekolahku, aku bangun kesiangan. Dan, tebak karena apa? Karena untuk pertama kalinya juga, sepanjang hidupku, aku memikirkan seorang lelaki sampai aku sulit tertidur.

            Dan yang memperparah adalah, lelaki itu Arjuna Adinegara.

            Aku bangun kesiangan, bersiap dengan super cepat, dan menyetop taksi dengan terburu-buru. Ayah menawari aku supaya dia saja yang mengantar, tapi tentu saja, aku menolak tawaran Ayah.

            Akhirnya, aku berangkat. Tapi rupanya kesialanku tidak sampai di situ saja, jalanan seolah mengamuk padaku dengan menyuguhkan kemacetannya. Perjalanan ke sekolah yang biasanya hanya memakan waktu lima belas sampai dua puluh menit dari rumahku, kini terpaksa baru berakhir di menit ke empat puluh. Tentu saja, aku masih memiliki dan yang lain karena kesialanku hari ini masih berlanjut. Ketika berbelok hendak memasuki jalanan yang akan membawaku ke sekolah, sebuah mobil pick up yang datang dari arah berlawanan melaju tak terkendali. Sepertinya karena rem blong atau semacamnya. Taksi yang kunaiki mencoba menghindar agar tidak menabrak pick up dan memilih menabrak sebuah pohon yang untung saja letaknya sudah tak jauh dari sekolah.

            Tabrakan dengan pohon itu membuat kaca depan dan samping mobil retak dan pecah sebagian, membuat serpihannya mengenai kening bagian atas dan leherku. Belum lagi karena tabrakan tersebut, bahuku terbentur pintu mobil dan dibanding terkena serpihan kaca, ini jauh lebih menyakitkan. Aku merasa harus segera pergi dari situ sebelum keadaan mulai ramai karena tidak mau ada yang tahu, pasti akan menyebabkan kehebohan jika salah satu siswa terlibat kecelakaan. Setelah membersihkan darah di keningku dan menutupi lukanya dengan poniku sebisa mungkin, aku segera membayar taksi—untungnya sopir taksi yang kunaiki ini juga tidak mendapat luka terlalu parah—kemudian aku segera turun dan berjalan ke arah sekolah yang letaknya hanya tinggal beberapa meter lagi. Dengan menahan rasa sakit yang amat sangat di bahuku, aku memasang headset dan berjalan seolah tidak terjadi apa-apa.

            Sampai lelaki itu muncul di hadapanku.

            Arjuna Adinegara, dengan napas terengah dan satu atau dua tetes peluh di keningnya, berdiri di hadapanku.

            "Lo nggak apa-apa?" dia bertanya, bahkan sebelum napasnya teratur.

            Aku mendengarnya, apa yang ia tanyakan, tapi aku pura-pura mengangkat alisku sebelum aku melepas headset di telingaku yang bahkan sebenarnya tidak aku pasang pada MP3 playerku. "Apa?" tanyaku, mencoba biasa aja.

            Tangannya terangkat, dia kemudian memijat keningnya pelan. "Gue tanya, lo nggak apa-apa?" dia mengulang pertanyaannya, kali ini deru napasnya sudah lebih teratur.

            "Emangnya ada yang bikin gue harus kenapa-kenapa?" aku bertanya dengan dingin.

            "Na—"

            "Hey," kataku menyela. "Jangan panggil gue gitu. Kita nggak sedeket itu."

            "Setop pakai alasan itu dan menghindari kepedulian gue dengan ngomonng kalau kita nggak deket!" dia menaikkan nada bicaranya, membuatku sedikit tersentak. Melihat ekpresiku, dia menghela napas, "Sori. Kata Ando, katanya Maman, ada kecelakaan taksi sama mobil pick up di depan dan lo datang telat. Nggak kayak biasanya. Jadi, gue khawatir kalau—"

            "Gue nggak apa-apa," jawabku cepat. Tanpa sadar, aku menggigit bibir bawahku. Menahan sakit di bahuku.

            "Jadi, itu bukan taksi yang lo naikin?" dia bertanya lagi.

Na!Where stories live. Discover now