10. Arjuna Sakit Parah

Start from the beginning
                                    

            Aku memang tidak memiliki bayangan tentang apa yang hendak Rangga katakan padaku saat ini, sama sekali. Yang pasti, aku yakin apapun yang akan dia katakan bukanlah hal yang baik. Dan keyakinan tersebut membuat jantungku berdegup beberapa kali lebih cepat.

            Aku mengangguk.

            Rangga berdeham. Seolah sedang membersihkan apapun yang menyumbat tenggorokannya yang membuat dia kesulitan untuk berbicara. Wajahnya terlihat seolah apa yang hendak ia katakan adalah sesuatu yang tidak mudah untuk diucapkan.

            "Sebenernya—" dia menggantung kalimatnya, membuatku mematung di tempat dengan luar biasa penasaran. "Lo beneran nggak akan bilang sama siapa-siapa, kan?" katanya lagi.

            Dia ini! Katakan saja padaku agar aku tahu dan bisa menilai sendiri apakah aku boleh atau tidak mengatakannya pada orang lain. Lagipula, memangnya dia tidak tahu aku, apa? Aku kan tidak memiliki satu orang teman pun di sini. Jadi, siapa gerangan yang dimaksud Rangga siapa-siapa-nya aku?

            Tapi, aku hanya mengangguk.

            Rangga ikut mengangguk. "Sebenernya Arjuna sakit," katanya. Kini wajahnya terlihat begitu murung.

            Sakit?

            Sakit apa?

            "Sakit?" tanyaku. Perasaanku kembali terasa tidak enak.

            Lelaki itu sakit?

            Yang benar saja.

            Dia mengangguk pasti, meskipun anggukannya begitu pelan. "Dan, lo bakal kaget kalau tau dia sakit apa."

            Aku menelan ludah.

            Memangnya sakit apa?

            Tidak mungkin seorang Arjuna Adinegara menderita penyakit-penyakit mematikan yang membuat waktu hidupnya bisa dihitung jari seperti dalam kisah-kisah tragedi, kan?

            Maksudku, jika orang seperti dia saja menderita penyakit kronis, orang yang sehatnya seperti apa?

            Tapi bukankah orang-orang yang memiliki penyakit seperti itu biasanya selalu seolah terlihat bahagia? Di novel-novel yang pernah aku baca biasanya begitu. Seseorang yang mengidap penyakit tersebut akan menjelma menjadi seseorang yang sangat ceria sampai-sampai orang-orang di sekitarnya tidak ada yang menyadari tentang penyakitnya hingga akhirnya dia pergi dan meninggalkan sebuah surat.

            Oh.

            Tidak.

            "Dia sakit parah," kata Rangga membuatku menahan napas. "Udah lama. Dan dia nyembunyiin itu dari semua orang. Kalau gue nggak bilang, lo juga pasti nggak bakal ngira kalau orang kayak dia punya penyakit, kan?" katanya sambil sesekali kembali melihat ke arah lapangan dengan pandangan menerawang.

            Sungguh?

            Ya Tuhan, benarkah?

            Saat ini, entah kenapa aku merasa dadaku sesak. Aku jadi merasa sangat bersalah. Jika saja aku tahu, jika saja sebelumnya aku sudah mengetahui tentang penyakitnya ini, mungkin aku akan bersikap sedikit lebih baik padanya.

            "Lo... serius?" tanyaku tidak percaya.

            Rangga mengangguk. "Dan, tiga hari kemaren, dia dirawat di rumah sakit karena penyakitnya kambuh."

            "Rumah sakit mana?" tanyaku cepat. Tiba-tiba merasa cemas. Bagaimana kalau penyakitnya kambuh karena aku membentaknya? Bisa saja, kan? Dia mungkin sakit jantung dan kaget begitu aku membentak.

            Tapi, sepertinya tidak. Karena, jika memang seperti itu, bukankah seharusnya dia langsung jatuh di tempat dan kambuh saat itu juga? Jadi, ini pasti bukan karena aku dan tidak ada hubungannya dengan bentakanku tempo hari. Masa bodoh. Pokoknya aku akan menganggapnya begitu.

            Rangga tersenyum kecil. "Hari ini, dia pulang dari rumah sakit. Mungkin sekarang udah di rumah."

            Aku menghela napas lega. Jika dia memang sudah tidak dirawat, itu artinya kondisinya tidak terlalu parah, bukan?

            "Gue—" aku berhenti, berdeham pelan sebelum melanjutkan, "Boleh minta alamat rumahnya?"

            Rangga mengangguk beberapa kali sebelum mengulurkan tangannya, sepertinya meminta tempat yang bisa dia gunakan untuk menulis alamatnya. Aku cepat-cepat merogoh isi tasku dan benda pertama yang aku sentuh adalah ponsel, aku mengambilnya dan membuka memo sebelum menyerahkannya pada Rangga. Rangga mengetik sesuatu di layar ponselku sebelum akhirnya mengembalikan benda itu.

            "Gue tetanggaan sama Juna. Lo mau nebeng?" tanya Rangga tiba-tiba.

            Aku menggaruk kepalaku yang sebenarnya tidak gatal. Ikut dengan Rangga tentu memiliki banyak keuntungan, tapi aku tidak mungkin datang dengan tangan kosong, kan? Jadi, aku harus mampir dulu ke supermarket dan aku tidak mungkin mengikutsertakan Rangga.

            Satu, kami tidak sedekat itu, ini adalah kali pertama kami berbicara satu sama lain.

            Dua, Arjuna mungkin akan salah paham jika melihat aku datang bersama Rangga.

            Tidak, itu tidak berarti aku tidak ingin Arjuna salah paham, hanya saja, yah, pokoknya tidak enak saja. Aku juga tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya.

            "Nggak usah, gue nanti mau pulang dulu," tolakku. Entahlah, tapi aku merasa sebaiknya aku pulang dulu dan meminta izin pada Ayah. Tadi aku sempat melihat sekilas alamat rumah Arjuna. Salah satu perumahan elit yang letaknya cukup jauh dari rumahku. Belum lagi, aku berisiko bertemu macet nanti. Jadi, aku tidak mau Ayah sampai khawatir.

            Akhirnya, setelah berterimakasih pada Rangga, aku berjalan ke gerbang, menyetop taksi yang kebetulan sekali sedang lewat dan pulang ke rumah untuk segera mandi, berganti pakaian dan meminta izin pada Ayah.

            Setelah melakukan hal-hal tadi, aku dengan cepat mengambil mobilku di dalam garasi dan mengeluarkannya. Bahkan tanpa memanaskannya, aku langsung keluar dari rumah dan mencari supermarket terdekat. Di sana, aku langsung membeli semua yang bisa aku lihat. Buah, roti, minuman bervitamin, dan segala macam. Aku tidak tahu kenapa aku sampai repot-repot mau melakukan hal seperti ini. Tapi, tubuhku seolah bergerak begitu saja tanpa aku perintahkan. Setelah selesai dengan belanjaan yang begitu banyak ini, aku kembali pada mobilku dan langsung menuju ke kediaman Arjuna. Aku sampai memikirkan kenapa dia jauh-jauh bersekolah di Pelita Nusantara. Yah, mungkin dia memang menginginkan salah satu sekolah yang bagus.

            Arjuna sebenarnya sakit apa? Penyakit macam apa yang Rangga bilang akan membuatku kaget jika aku mengetahuinya? Dia terlihat sangat sehat. Aku benar-benar tidak bisa memercayai kenyataan ini, sungguh.

            Aku menginjak pedal gas lebih dalam, membuat mobilku berjalan lebih cepat dari sebelumnya. Beruntung saat ini jalanan di hadapanku cukup lengang. Mungkin karena memang jam-jam pulang kerja sudah lewat. Syukurlah.

            Dalam hati, ada satu rasa yang benar-benar tidak bisa aku pungkiri keberadaannya saat ini. Rasa yang membuat aku begitu terburu-buru. Rasa yang membuat pikiranku sedikit terganggu kejernihannya. Rasa yang membuat aku rasanya ingin cepat sampai untuk melihat bagaimana keadaan Arjuna Adinegara saat ini.

            Dan, aku tahu betul rasa apa itu.

            Rasa khawatir.

            Untuk pertama kalinya, aku mengkhawatirkan keadaan seorang lelaki lain selain Ayah. Dan lagi-lagi, lelaki itu adalah Arjuna Adinegara.



[]

Na!Where stories live. Discover now