Chapter 12

9.8K 904 36
                                    

Aku terbaring di tempat tidur sambil menatap langir-langit kecoklatan dengan aroma daun dan pohon yang samar. Suasananya begitu tenang di antara kegundahan hatiku. Rumah ini begitu sunyi semenjak Kenzie pergi ke Istana. Entah apa yang akan dia lakukan di sana.

Aku mengamati kedua tangan. Kulitku benar-benar pucat seperti tidak ada darah yang mengalir di dalamnya. Jujur, aku sedikit penasaran dengan wajah dan penampilanku dalam rupa Una, tapi sayangnya tidak ada cermin di rumah ini. Aku pernah melihat bayangan diriku di air, tidak jauh berbeda dengan diriku dalam wujud Manusia—itu pun terlihat samar.

Aku tidak tahu harus berbuat apa, sampai saat ini aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Sungguh jenuh dan bosan, tapi Kenzie melarangku keluar rumah.

Aku bangun saat mendengar pintu diketuk. Terdiam sejenak, menunggu ada suara memanggil agar aku bisa tahu siapa yang mengetuk pintu. Kutajamkan pendengaran dan pintu kembali sunyi, tapi tak lama, aku mendengar suara pintu didobrak paksa.

Aku melonjak dan mengintip dari atas tangga untuk mengetahui siapa orang yang berani masuk dengan cara yang tidak sopan seperti itu. Aku terpaku saat mata kami bertemu.

“Axcel?” gumamku.

“Ririn Allyson.” Axcel tersenyum miring dan menatap tajam. “Akhirnya aku menemukanmu.”

Aku terpaku saat melihatnya dalam wujud Una. Dia—jauh lebih imut dari yang biasa kulihat. Aku terpesona, juga—takut. Peristiwa saat ia menghujamku melekat terlalu kuat dalam ingatanku.

Aku menuruni tangga dengan ragu, sementara ia memperhatikanku dengan intens. Aku tidak tahu apa yang ia pikirkan tentangku. Meski aku berniat ingin menolongnya, tapi saat ini aku harus waspada.

“Kau?” Axcel menyipitkan mata. “Kukira kau Manusia biasa seperti yang lain.”

“Aku tidak perduli dengan apa yang kau pikirkan tentangku. Tapi—“ Aku menginjak undakan terakhir. “Aku benar-benar ingin membantumu.”

“Apa itu tanda penyesalanmu setelah memberi tahu namaku pada Dendez?”

“Ya, aku menyesal.” Kini aku sudah berdiri di hadapanya. “Aku menyesal atas kebodohanku dan menyesal atas keputusanmu yang tidak memberitahuku tentang dirimu. Kau menyembunyikan semuanya dari siapa pun agar kau tetap aman. Aku mengerti itu.”

Axcel mendengkus dan tersenyum miring. “Memangnya apa yang bisa kau lakukan untuk membantuku? Haruskah aku mempercayaimu?”

“Mempercayaiku atau tidak itu terserah padamu. Yang jelas, aku tidak ingin melukai Ayahmu dengan membiarkan putrinya dilenyapkan.”

“Begitu?” Axcel melipat kedua tangannya.

“Bagaimana kau bisa tahu aku ada di sini?”

“Setelah kehadiranmu mengancam hidupku, kau pikir aku akan melepasmu begitu saja? Aku mengawasimu dan ternyata kau bekerja sama dengan putra Dendez. Itukah yang kau sebut dengan bantuan?”

Aku menyeringai. Sifat Karin mulai merambah pada diriku, karena menyeringai bukan lah gayaku. “Mungkin saat ini aku belum melakukan apa-apa untukmu. Tapi suatu saat nanti, kau akan berterimakasih padaku.”

“Begitukah?” Axcel melangkah satu kali lebih dekat. “Kalau begitu, buktikan ucapan sombongmu itu.”

“Baiklah. Ah, ngomong-nomong ada perlu apa kau kemari? Ingin menghujamku lagi?”

Axcel mendengkus tertawa. “Aku bahkan berniat lebih dari itu. Tapi sebelumnya, ada yang ingin kubicarakan denganmu.”

“Wah, kebetulan sekali. Aku juga ingin berbicara denganmu. Bisakah kita bicara sambil duduk?”

Loizh III : ReinkarnasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang